3. Bukan Pacar Tapi Suami

1610 Words
Serra menyembunyikan wajahnya untuk menstabilkan ekspresi. Meski tahu itu hanya karangan, tapi rangkaian kejadian sangat mirip dengan kisahnya dengan Max. Bersama dengan itu pelayan datang membawa pesanan. Semua tampak bersemangat dan hampir meneteskan liur melihat menu makanan yang menggugah selera. Serra sudah memegang sendok dan garpu bersiap makan, tapi ponselnya berdering memperlihatkan satu kontak yang akrab. "Umm ... Kalian makan dulu saja, aku ke belakang sebentar." Serra menatap layar ponselnya kemudian segera beranjak dari kursinya menuju ke toilet. "Halo Dokter Carl! Apa ada masalah dengan Reina?" Begitu masuk ke salah satu bilik Serra langsung mengunci pintu dan duduk di atas toilet. Wajahnya tampak khawatir memikirkan Reina. "Nona Reina tidak ada masalah. Kami selalu melakukan pengecekan setiap dua jam dan memantau situasinya. Nona Serra tidak perlu khawatir." Suara Dokter Carl membuat Serra bernafas lega. "Setelah ini saya akan mentransfer biaya perawatan Reina." "Baik, terima kasih Nona Serra." "Seharusnya saya yang berterima kasih kepada Anda, Dokter Carl." Begitu sambungan telepon berakhir Serra langsung mentransfer uang seratus juta yang baru dikasih Max semalam untuk biaya pengobatan. Dia keluar dari bilik kemudian berdiri di depan wastafel. Dia melepas syal yang membalut lehernya dan menatap pantulan dirinya di cermin besar. Serra menggosok lehernya yang ada bercak-bercak merah sembari membasuhnya dengan air, tapi tanda merah itu tidak mau hilang. Bahkan pagi tadi sudah mencoba menutupinya dengan foundation tapi masih belum menyamarkannya. "Dia keterlaluan!" Dalam posisi ini Serra tidak bisa marah. Hanya bisa menarik nafas dalam-dalam. "Kak Serra, kami menunggumu di luar sangat lama. Sebenarnya apa yang kau ...." Cindy berjalan masuk tanpa permisi. Ketika melihat Serra dengan tampilannya saat ini dia segera menutup mulutnya dengan kedua tangan. "Ya ampun. Kak Serra, ada apa dengan lehermu? Apa ini digigit serangga?" Cindy mendekat lalu menyentuh cap merah di leher Serra dengan penuh pertanyaan. "Be-benar. Itu adalah serangga," jawab Serra sangat gugup. Tapi Cindy terlihat ragu dengan kesimpulan ini. Dia mengelus dagunya sembari terus menatap bercak merah tersebut. "Ah, sepertinya itu bukan serangga. Mana ada serangga sebesar itu." Mata Serra membulat sempurna mendengar gumaman Cindy. Dia segera memakai syal untuk menutupi lehernya. "Ayo kita kembali. Bukankah yang lain sudah menunggu?" Serra menarik bahu Cindy dan mengajaknya keluar agar melupakan rasa penasarannya. "Itu mereka!" Lilya dan anak-anak kantor menunjuk ke arah Serra dan Cindy yang baru saja kembali. "Kak Serra, kau sangat lama di toilet. Apa telah terjadi sesuatu?" "Kau tidak berpikir untuk kabur dan memaksa kami membayarnya sendiri kan?" celetuk Lilya yang seketika membuat Serra mengerucutkan bibir. "Tentu saja tidak. Aku sudah membayarnya. Kalian tidak perlu memikirkan biayanya." Jawaban Serra langsung disambut seruan rekan-rekan kerja. "Terima kasih Kak Serra!" "Terima kasih Serra-ku yang baik," Lilya membentuk simbol hati dengan jarinya lalu menunjukkannya pada Serra. Serra hanya mendengus pelan. "Cepat habiskan makan siangnya. Setelah ini kita kembali ke kantor untuk bekerja." Mereka menikmati makanan barat yang mewah itu dengan penuh kebahagiaan. Saat jam makan siang berakhir mereka sudah sampai di kantor dan kembali ke kubikel masing-masing. "Kak Serra, apa kau punya pacar?" tanya Cindy dengan suara lirih. Dia mengintip dari kubikel nya yang kebetulan berada tepat di samping tempat kerja Serra. Ketika mendengar pertanyaan ini Serra seketika menghentikan jarinya yang bekerja. Bibirnya berkedut lalu secara bertahap menatap Cindy dengan rumit. "Kenapa kau berpikir begitu?" Cindy lantas menunjuk syal di leher Serra. Lebih tepatnya bercak merah di baliknya. "Aku teringat sesuatu. Aku pernah menontonnya dalam sebuah drama. Itu bukan bekas gigitan serangga, tapi ...." Cindy menyatukan tangannya seperti tanda dua orang yang sedang berciuman. Mata Serra membulat sempurna dan segera menurunkan tangan Cindy. Tepat waktu itu Lilya datang. "Kalian bergosip tidak mengajak ajak. Ayo, katakan padaku apa yang kalian bicarakan?" "Kak Lilya ...." "Tidak ada. Tidak ada yang bergosip. Kami sedang membicarakan tugas. Benar kan Cindy?" Serra segera memotong kalimat Cindy sambil menahan tangannya. Cindy yang berniat membicarakan hal ini pun hanya bisa pasrah menutup mulutnya. "Benar benar. Ini hanya masalah tugas. Jika kami ingin bergosip tentu saja Kak Lilya adalah orang yang tak boleh dilewatkan. Hehe-he." Lilya menatap dua orang ini dengan curiga. Dia menahan nafas ingin mengatakan sesuatu, tapi pada akhirnya menyimpannya sendiri dan pergi. Serra bernafas lega melihat situasi tidak menjadi lebih lebih kacau. "Beruntung kau tidak mengatakannya," Cindy tersenyum sungkan mendapati tatapan dari Serra. Dia bertanya, "Kak Serra, jadi benar kan kau punya pacar?" "Bukan pacar tapi suami." Cindy manggut-manggut. "Aku sudah menebaknya jika kau memang sudah punya pac- ... Eh, Suami?!" "Kak Serra kau ...." "Aduh, kenapa kau berteriak! Tutup mulutmu atau semua orang di sini akan mendengarnya." Serra menutup mulut Cindy dengan paksa karena terlalu berisik. Cindy yang menyadari kecerobohannya segera berdiri dan mengedarkan pandangan ke sekitar memastikan tidak ada yang mendengar ucapannya. "Kak Serra, sepertinya aman. Semua orang fokus dengan pekerjaan masing-masing. Tidak terlalu memperhatikan kita." Serra ikut melihat ke sekitar, memastikan ruangan tetap tenang dan semua orang duduk di tempat masing-masing membuatnya lega. "Ya, syukurlah karena tidak ada yang memperhatikan. Jika tidak kau harus bertanggung jawab." Cindy yang baru saja tersenyum langsung mengubah raut wajahnya. Dia kembali meminta maaf. "Kak Serra aku benar-benar tidak sengaja. Tapi apa benar kau sudah menikah?" tanyanya penasaran. "Ya benar. Aku sudah menikah." "Dengan siapa? Kenapa tidak memperkenalkannya pada kami?" tanya Cindy lirih tapi penuh dengan harapan. Namun Serra hanya menggelengkan kepala yang membuat Cindy tidak puas. "Kak Serra, sampai kapan kau akan menyembunyikan suamimu dari kami? Biarkan aku mengenalnya. Jika tidak tunjukkan saja fotonya." "Aku tidak menyimpan fotonya," jawab Serra singkat. Akan tetapi bagaimana mungkin Cindy akan percaya. Pasangan suami istri tidak menyimpan foto satu sama lain? Paling tidak harusnya ada foto pernikahan, bukan? "Aih.. Karena Kak Serra tidak mau mengatakannya aku tidak lagi memaksa." Serra dapat melihat kekesalan di mata Cindy. Tapi Serra tidak bisa melakukan sesuatu karena itulah kenyataannya. Jangankan mengabadikan foto. Bertemu saja mereka sangat jarang dan jikapun bertemu pasti itu di vila seperti kemarin malam. "Serra, Pak Denny memanggilmu datang ke ruangannya." Serra mengangkat wajahnya menatap Lilya yang berdiri di depan kubikel nya. "Pak Denny? Kenapa dia memanggilku lagi?" Lilya mengedikkan bahu. "Tidak tahu. Mungkin dia menyesal karena tidak menghukummu jadi sekarang meminta datang lagi untuk memberi hukuman." Serra langsung menjitak kepala Lilya membuat gadis itu meringis. "Ah... Sakit tahu!" "Orang bertanya serius malah bercanda. Rasakan!" Serra menjulur lidahnya lalu berlari keluar secepat kilat. Lilya mengerucutkan bibir dengan kesal. "Benar-benar keterlaluan!" ... "Permisi, Pak Denny memanggil saya?" Bos Denny menutup laptopnya lalu melambaikan tangan pada Serra. "Ya. Ada yang ingin saya bicarakan. Duduklah," suruhnya sambil menunjuk kursi di depan mejanya. Dari sini perasaan Serra tidak enak. Memperhatikan raut wajah Bos Denny yang sangat serius, menunjukkan ada situasi di luar kendalinya. Serra duduk dengan tenang di sana. Setelah diam beberapa saat Bos Denny mengeluarkan sebuah informasi tender. "Serra, aku minta bantuanmu untuk membuat proposal. Ini adalah informasi tentang tendernya." Ketika membaca beberapa kalimat awal Serra merasa tidak ada yang salah dengan hal itu. Tapi begitu melihat nama perusahaan raut wajahnya dengan segera membeku. "Blue Diamond? Ini adalah perusahaan Max." Serra membatin dengan gelisah. Tapi Bos Denny yang tidak bisa mengetahui isi hati Serra hanya berpikir telah setuju untuk menerima tugas tersebut karena sikap diamnya. "Kamu harus menyelesaikan proposalnya malam ini karena besok sudah harus diserahkan." Serra tercengang. "Pak Denny, bukankah ini terlalu mendadak? Bagaimana saya bisa menyelesaikan proposalnya malam ini?" "Ayolah Serra, saya yakin kamu pasti bisa melakukannya. Kamu adalah salah satu karyawan yang paling dapat diandalkan. Jika bukan kamu, saya harus mencari siapa?" "Terlebih ini adalah kesempatan karena Starlight karena bisa berpartisipasi dalam tender Blue Diamond. Ini sangat langka, jika kita bisa berhasil, atau setidaknya memberi kesan yang bagus mungkin akan membuka jalan bagi kita untuk bekerja sama kedepannya dalam proyek yang lebih kecil." Serra tak bisa membantah dengan ucapan Bos Denny. Jelas dia tahu betapa berkuasanya Blue Diamond di Kota A. Ini memang momentum yang sangat bagus untuk Starlight membangun nama. "Baiklah Pak. Saya akan berusaha." Bos Denny sangat puas dengan jawaban Serra. Dia menjanjikan bonus yang cukup besar jika Serra melakukan pekerjaan dengan baik. Tentu ini membuat Serra bersemangat. Tapi Serra harus mulai membuat proposalnya setelah kembali ke tempat kerjanya. Bahkan ketika jam pulang dia masih fokus di kubikel nya tanpa menghiraukan rekan-rekan yang sudah mengemasi barang. "Kak Serra, aku dengar kau sedang membuat proposal untuk tender di Blue Diamond. Apa itu benar?" Ketika bertanya mata Cindy berbinar penuh semangat. Dia berdiri sambil menyandarkan tubuhnya di sekat dan menunggu jawaban Serra. "Benar. Memangnya kenapa?" Serra menjawab dengan lesu. Cindy kembali berkata, "Itu adalah perusahaan Presdir Max. Pastinya kau akan bertemu dengannya saat menghadiri tender. Ini sungguh merupakan keberuntungan." "Jika kamu mau, aku akan melapor pada Pak Denny agar kau yang datang menggantikanku. Bagaimana?" Cindy berdecak. "Jika aku sepintar dirimu mungkin itu bukan masalah untuk pergi ke sana. Bertemu dengan pria tampan seperti Presdir Max aku rela bahkan jika harus melajang sepuluh tahun." Serra tidak mengatakan apapun untuk ekspresi Cindy yang begitu mengagumi Max. Dia tidak tahu pria yang begitu dipuja olehnya adalah suami orang di depannya. Entah bagaimana reaksinya jika tahu kebenarannya. … Di sisi lain. "Tuan, Ini adalah daftar perusahaan yang akan berpartisipasi dalam tender besok." Max yang duduk sambil melihat keluar perlahan memutar kursi kebesarannya mendengar suara sekretarisnya. Matanya yang hitam legam menatap berkas di meja dan memperhatikan daftar perusahaan yang dimaksud. "Dari dua puluh perusahaan kami menyeleksi lagi dan hanya tersisa sepuluh nama terakhir yang memiliki kredibilitas tinggi," tambah sekretaris bernama Stefan itu memperjelas laporannya. Max melihat satu persatu dari kesepuluh perusahaan itu. Tapi hanya satu yang cukup menarik perhatiannya. "Apa ini Starlight yang sama?" Dia menatap Stefan. "Benar Tuan. Itu adalah Starlight tempat Nona Serra bekerja." Stefan sejenak menghentikan kalimatnya, setelah itu dengan ragu-ragu bertanya pada tuannya. "Tuan, apa Anda ingin …." Sebelum menyelesaikan kalimatnya, satu tatapan tajam membuatnya berhenti seketika. "Lakukan saja seperti biasa." "Baik Tuan,"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD