• LIMA *

1007 Words
First Step Hospital, Seattle. "Alex, ini minumannya," kata Charlie sembari memberikan sekaleng soda untuk Alexandra. "Kau tampak sedikit terguncang dan kurasa datang ke sini bukan sesuatu yang baik." Agaknya pria itu bingung karena wanita di hadapannya kini memiliki mata yang sembab dengan rambut yang sudah berantakan dan tidak tampak lagi menggunakan fascinator hat kesayangannya. Charlie juga mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut koridor rumah sakit untuk memastikan keadaan, tapi tidak ada siapapun di sana selain mereka berdua. Jadi, setelah Alexandra membuka minumannya dan meneguknya sekali, pria yang merupakan paman sekaligus manajer Alexandra itupun memberanikan diri untuk bertanya. "Alexandra, apa telah terjadi sesuatu ketika aku pergi tadi? Dimana Tuan Harisson dan dua pria tadi?" cecar Charlie penasaran. "Mereka tidak mengatakan hal-hal yang mengerikan atau memperlakukanmu dengan buruk, bukan?" Wanita itu tersenyum tipis, "Tidak." lalu kembali minum. "Tapi sepertinya Louis tidak benar-benar tewas karena kecelakaan, Charlie." Mata Charlie melotot seketika. Ia buru-buru mendekatkan wajahnya pada Alexandra dan menatapnya penuh selidik. Charlie kemudian berbisik, "Apa maksudmu mungkin Louis dibunuh oleh seseorang?" Alexandra menggumam mengiyakan dan memberikan kaleng yang telah kosong kepada Charlie. "Kedua pria tadi adalah detektif yang menangani kasus ini. Setelah menemukan kejanggalan dalam hasil autopsi Louis, mereka sangat bersikukuh untuk menangkap pelakunya," tutur Alexandra memberi tahu. Charlie hanya mengangguk- anggukan kepalanya paham. "Tampaknya kedua pria tadi cukup gigih, jadi aku berusaha membantu." Charlie kembali melebarkan matanya tak percaya. "Membantu?" agaknya kalimat itu sulit diartikan oleh pria bertubuh kurus itu, mengingat seorang Alexandra adalah model yang tidak pernah bersimpati pada orang lain. "Bagaimana caramu membantu?" Netra biru Alexandra menatap Charlie canggung. "Itu--aku akan bergabung dalam penyelidikan, Charlie." Kali ini bukan hanya matanya saja yang seperti akan melompat dari tempatnya, tapi rasanya jantung Charlie juga akan lepas begitu saja dan ia akan tewas seketika. Pria itu sangat syok hingga ia tiba-tiba berdiri dan menunjuk wajah Alexandra dengan tangan yang masih memegang kaleng soda kosong milik wanita itu. "Kau? Bagaimana bisa?!" Alexandra melihat ke kiri dan ke kanan, memastikan pekikan manajernya itu tidak menganggu siapapun di rumah sakit. "Charlie, tenanglah," pintanya pelan-pelan. Ia kemudian menarik tubuh sang manajer hingga ia kembali duduk meski ekspresi syok belum juga meninggalkan wajah Charlie. "Aku akan menjelaskannya." Charlie mengangguk cepat dan melipat kedua tangannya di d**a. "Ya, tentu. Jelaskan. Sekarang!" "Paman Matthew akan melakukan konferensi pers dan mengatakan bahwa Louis meninggal karena kecelakaan demi melindungi bisnisnya. Jadi, penyelidikan ini bisa dibilang sangat rahasia dan tidak boleh diketahui oleh siapapun," kata Alexandra. "Bagaimana dengan direktur? Apa yang harus kukatakan padanya nanti, hm?" Alexandra memandang Charlie tak enak dan mengusap lengan sang manajer sembari memohon. "Kau bisa mengatakan bahwa aku memiliki kesibukan sendiri. Dia tidak akan memarahimu karena itu adalah kelalaianku." Charlie menghela napas frustrasi dan menatap Alexandra heran. "Aku rasa kau benar-benar sudah gila, Alex. Tapi bagaimanapun juga, aku akan berada di pihakmu. Kau harus berhati-hati." Merasa tersentuh, Alexandra lantas memeluk Charlie. "Terima kasih, Charlie. Kau memang paman terbaik yang aku miliki." Tanpa disadari, Charlie pun menyunggingkan senyum bangga dan membalas pelukan Alexandra. "Kau sudah tidak sedih?" Alexandra kemudian menggeleng dan merenggangkan pelukan. "Paman Matthew akan segera melakukan konferensi pers, sebaiknya kita hadir di sana." "Baiklah." Aula rumah sakit yang disewa dadakan oleh sang pendiri New Diamond Group, Matthew Harrison kini tampak ramai. Kegaduhan pun sempat terjadi tatkala awak wartawan saling berebut masuk ke dalam aula hanya demi mendapatkan kursi di jajaran terdepan sebelum konferensi pers dimulai. Setelah dibantu oleh pihak keamanan rumah sakit, situasi akhirnya kembali terkendali. Pria bertubuh tambun dengan jas mahal berwarna hitam yang melapisi tubuhnya itu pun duduk pada kursi yang sudah disiapkan. Ada panggung kecil dan podium yang terlihat di depan ruangan. Sementara pendingin ruangan yang berada di sudut langit-langit, dirasa belum mampu mendinginkan isu panas tentang kematian Louis di laman sosial media yang bahkan masih berlangsung hingga kini. Dilihat dari luasnya aula sendiri, rasanya menjadi pilihan tepat bagi Matthew Harrison melakukan konferensi pers tersebut di sana. Alexandra kemudian ikut duduk bersama Charlie tepat di sebelah Matthew dan dua bodyguard yang selalu bersiaga di sisi mereka. Wanita berambut brunette itu hanya menatap lantai di bawah kakinya tanpa ekspresi. Ia menundukkan kepalanya sedih dan sesekali berbisik pada sang manajer karena wartawan terus memotret ke arahnya. Setelah beberapa menit berlalu dan situasi di dalam aula dirasa sudah kondusif, Matthew pun beranjak dari kursi dan berjalan menuju podium di atas panggung. Ia berdeham keras dan mengetuk-ngetuk permukaan microphone sebelum memulai konferensi persnya. "Selamat pagi semuanya," sapa Matthew sopan. "Aku sangat berterima kasih atas simpati kalian terhadap kematian putraku, Louis Harrison. Mungkin berita yang telah tersebar di laman daring kini menggiring banyak opini yang tidak sepenuhnya benar. Tapi saya ingin mengatakan bahwa putra kebanggaan kami memang telah meninggal dunia akibat insiden kecelakaan yang terjadi pada dini hari. Jadi, tolong berhenti membicarakan kematiannya." Ia menarik napas dalam-dalam ketika riuh rendah di hadapannya mulai menyeruak ke telinga. "Saya ingin mewakili Louis, sebagai sosok yang pernah hidup di hati kita semua agar semua kesalahannya bisa dimaafkan, juga dalam konferensi pers ini, saya akan mengumumkan bahwa pernikahan yang seharusnya terjadi esok hari antara Louis dan Alexandra, dengan sangat berat hati maka saya nyatakan batal." Keributan lagi-lagi terjadi saat awak media mulai melemparkan pertanyaan yang saling bertumpang tindih di ruangan berdominan putih tersebut. Sorot lampu flash dari kamera wartawan pun saling bersahut-sahutan seperti kilat yang menyambar di tengah hujan deras. Matthew lalu melirik Alexandra yang terisak di tempatnya dan berkata, "Tapi bagiku dan Paula, Alexandra sudah menjadi bagian dari keluarga kami sejak awal entah dia menikah dengan Louis atau tidak. Alexandra sudah seperti anakku sendiri, jadi kuharap kalian tidak menyakitinya dengan berita-berita buruk diluar sana. Kuharap kalian bisa mengerti dengan situasinya dan memahami kami. Sekali lagi, terima kasih." Matthew pun turun dari podium dan menghampiri Alexandra. Ia memeluk wanita muda itu seperti memeluk anaknya sendiri sebelum keduanya pergi menerobos kerumunan wartawan yang terus mengerubungi seperti lalat. Alexandra bahkan tidak peduli dan pura-pura tidak mendengarkan orang-orang yang terus mencecarnya dengan berbagai pertanyaan tentang kematian Louis. Bahkan tidak sedikit dari awak media yang datang di konferensi pers pada hari itu juga berusaha menodongkan microphone dan kamera mereka secara paksa kepada Alexandra, berusaha mengorek informasi lebih dalam lagi tentang perasaannya karena pernikahan impiannya dibatalkan. Namun, Alexandra sendiri tidak bisa menjelaskan perasaannya sekarang pada siapapun. Ia hanya merasa ada lubang besar jauh di dalam hatinya yang terasa hampa dan benar-benar kosong karena sesuatu berarti telah menghilang untuk selama-lamanya. []
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD