• TUJUH *

1021 Words
 Kantor Kepolisian Kota Seattle. Di dalam ruangan seluas tiga kali tiga meter, Noel Simons duduk sendirian di depan meja kerjanya. Pandangannya lurus menghadap sofa panjang berwarna hitam yang berada tepat di sebrang meja kerjanya. Terdapat meja berbahan kaca berukuran persegi dengan taplak putih bermotif garis yang miring di antara kedua sofa yang saling berhadapan di sana. Mengingatkannya pada sebuah ruangan di masa lalunya saat ia berada di kota New York. Mata cokelatnya yang lebih gelap daripada batang pepohonan itu kemudian beralih ke dinding. Ia mendapati beberapa piagam penghargaan miliknya terpajang di sana. Tersusun dengan rapih dan penuh kebanggaan. Kebanyakan adalah penghargaan yang ia terima ketika sudah bergabung dengan satuan khusus kepolisian, sisanya kemenangan dari beberapa lomba yang detektif muda itu pernah ikuti sebelum menjadi seorang detektif. Ruangan berdominan putih dengan furnitur serba modern itu baru saja menyambutnya pekan lalu. Jika bukan karena prestasi dan loyalitasnya pada negara, ia tak akan sesukses sekarang dan dipindahkan ke Seattle. Namun perjuangannya pun tidak main-main. Noel banyak belajar dari seniornya yang bernama Nicholas ketika ia masih di kepolisian kota New York dan kini usahanya tersebut berbuah manis. Posisi chief--yang dianggap paling tertinggi di jajaran kepolisian kota Seattle--mungkin dapat diraihnya dengan mudah hanya dalam satu lompatan lagi. Noel hanya perlu sedikit berusaha lebih keras untuk mendapatkannya sekarang. Namun wanita muda yang ditemuinya di rumah sakit pagi ini, benar-benar mengusik kedamaian otak dan jiwanya. Setiap detil dari wanita bernama Alexandra itu selalu melintas di pikirannya seperti potongan adegan dalam film. Cepat dan berulang, membuat Noel muak dan bersemangat di waktu yang bersamaan. Sungguh menyebalkan. Alexandra, apa yang telah kamu lakukan? Setiap hal kecil yang dimiliki oleh model cantik itu melesat cepat dalam benak Noel. Tatapannya, aroma tubuhnya, gaya bicaranya dan bahkan sampai gaya berjalannya pun seolah terekam jelas dalam ingatan Noel yang sejatinya sungguh pemilih. Namun yang terparah adalah saat Alexandra memandangnya lurus-lurus lalu melarang Noel untuk tidak jatuh cinta pada wanita itu. "Jatuh cinta? Ck! Dia pasti sudah gila," batin Noel. Tidak lama setelahnya, suara ketukan pintu disertai seruan Smith terdengar dari arah luar. Membuat Noel tersadar dari lamunannya tentang Alexandra dan segera berdiri. Ia lalu membukakan pintu untuk Smith dan mempersilakan rekan barunya itu untuk masuk ke ruangan. Jika dipikir-pikir lagi, Noel belum terlalu mengenal rekannya itu. Selain pria dengan tubuh atletis yang sangat cerewet dan mudah gugup. "Apa aku mengganggumu, Detektif?" tanya Noel penasaran. "Kau belum keluar ruangan sejak kita kembali dari kedai kopi tadi. Kupikir kau mungkin butuh bantuan atau semacamnya." "Tidak, aku hanya sedang memikirkan beberapa hal." Smith menggumam pendek dan mengikuti Noel yang duduk di sofa. "Begitu rupanya." "Omong-omong, apa sudah ada perkembangan?" Pria yang usianya hanya terpaut satu tahun di bawah Noel itu pun menggeleng cepat. "Kami belum berhasil melacak alamat IP pelaku penyebaran berita di internet karena sistem keamanannya yang sulit ditembus," ungkapnya. "Juga berlaku pada nomor pelapor anonim yang menghubungi kita tadi malam, Detektif." "Kau ingat, 'kan? Kau bisa santai dan memanggil namaku saat kita sedang tidak bertugas. Lagipula kita hanya beda satu tahun dan berada di angkatan yang sama ketika bersekolah. Noel tersenyum tipis sebelum melanjutkan, "Jadi menurutmu, pelapor misterius dan penyebar berita di internet ini memiliki kemungkinan besar merupakan orang yang sama?" "Mungkin iya, mungkin tidak. Selama kami belum menemukan apa-apa, kita juga tidak dapat banyak berspekulasi." Smith mengedikkan kedua bahunya dan melanjutkan, "Tapi yang pasti, insiden ini pastilah sudah disusun secara detil dan terstruktur. Terutama kecelakaannya. Dia seperti sudah siap menyabotase semuanya." "Namun kejahatan selalu meninggalkan jejak, bukan?" Noel mengangkat satu alisnya penuh percaya diri. "Di dunia ini, tidaka ada kejahatan yang benar-benar sempurna." Smith mengangguk setuju. "Mungkin kita bisa menemukan sesuatu jika sudah berbicara dengan beberapa orang." "Apa ada informasi lain?" "Kami menemukan waktu terakhir ponsel pelapor aktif adalah tiga puluh menit sebelum kita tiba di lokasi." Kedua alis Noel berkerut curiga. "Ponsel ditemukan aktif di sekitaran Menara Space Needle, Broad St, Seattle, radius 20 M dari TKP. Tidak jauh." Noel mengusap brewok tipis yang memenuhi dagu hingga rahangnya dengan perlahan. "Artinya, dia masih berada di sekitar lokasi saat insiden berlangsung. Tiga puluh menit pasti cukup untuk melakukan aksinya malam itu." Noel mendesah dan menggeleng tak habis pikir. "Bagaimana dia bisa dengan tega meninggalkan korban dan melimpahkannya pada polisi yang membutuhkan waktu lebih lama untuk sampai ke lokasi alih-alih turun dari kendaraan dan membantunya? Ini benar-benar pembunuhan yang kejam. Lalu bagaimana dengan kamera cctvnya? Kau berhasil mendapatkan sesuatu, bukan? Saksi mata, misalnya?" "Kami tidak menemukan adanya cctv di sekitar TKP. Kamera pengaman terdekat berada sekitar 20 M sebelum terowongan Metro dan 10 M sesudah terowongan," Smith menegaskan. "Pelaku melakukan aksinya pada titik yang buta cctv. Dia pasti sudah memahami medan dengan sangat baik. Ditambah, tidak adanya kendaraan lain yang melintas setelah atau sebelum mobil Louis mengalami kecelakaan." "Sial! Berapa lama dia menyiapkan insiden ini?!" pungkas Noel kesal. Smith mengangguk setuju dan menatap lawan bicaranya serius. "Proses pencarian akan terus kami lakukan, tapi bagaimana jika kita menerima tawaran nona Morran untuk bergabung?" Noel mengangkat satu alisnya heran saat tiba-tiba nama Alexandra disebut. Ia tidak suka, tidak tertarik pula. Namun hanya dengan mendengar nama wanita itu dengan sebegitu jelas, ia langsung merasa sesuatu di dalam hatinya bergejolak. Sepertinya Noel benar-benar kesal. "Kurasa bukan ide yang buruk untuk membiarkannya masuk dalam penyelidikan ini, N-Noel. Iya, 'kan?" Netra cokelat Noel yang gelap langsung mengintimidasi mata sang lawan bicara. Ia menghunus tajam ke sasaran hingga membuat Smith tak nyaman hanya dengan saling berpandangan seperti itu. "Apa alasanmu mengatakan bahwa membiarkannya bergabung merupakan ide yang tidak buruk, Smith?" Smith meneguk salivanya susah payah sebelum akhirnya berani melanjutkan ucapannya. "Karena kurasa hanya wanita itu yang berpihak pada kita. Sebagai seorang tunangan, Alexandra pasti tahu banyak. Perasaannya yang sedih karena ditinggalkan kekasih juga membuatku berempati padanya. Tidak ada salahnya membiarkan dia bergabung dan membantu, bukan?" Noel memandang Smith sebelum mengalihkan wajahnya ke arah lain. Apa yang dikatakan rekannya tersebut mungkin benar, tapi apa yang harus ia lakukan sekarang? Haruskah ia menerima bantuan wanita itu? "Omong-omong, aku menyukainya, Noel." Noel menoleh dengan cepat dan mengerutkan kedua alisnya dalam-dalam. "Apa? Siapa yang kau sukai?" Smith tersenyum malu-malu dan menggaruk tengkuk lehernya dengan canggung sebelum berkata, "Alexandra." Perasaan aneh di dalam d**a Noel semakin terasa sekarang. Namun, apa penyebabnya? Mungkinkah dia kesal karena rekannya menyukai Alexandra atau karena ada orang lain yang menyukai wanita itu selain dirinya? Tunggu, "Aku tidak menyukainya," kata Noel tiba-tiba. "Apanya?" "Keduanya," kata Noel yang justru membuat Smith kebingungan. "Aku tidak menyukai keduanya, Smith." []
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD