Laksa 9

1506 Words
"Lo yakin mau pergi?" Fira yang sejak tadi sibuk membereskan pakaiannya berhenti sebentar, dia menoleh pada sahabatnya itu dengan senyum tipis menghiasi bibirnya, ini sudah kesekian kalinya Lika menanyakan prihal kepergiannya untuk mengusir pekerjaan, jika buka atasan yang menyuruh dirinya pergi dan melihat perkembangan pabrik yang ada di Palembang, Fira enggan rasanya untuk meninggalkan sahabatnya itu. "Mau gimana lagi, ka. Kalo gue nggak pergi alamat berhenti kerja gue, Lagian lo tau sendiri, ini satu-satunya kesempatan kalau gue pingin dipromosikan." Mendengar itu, Lika terdiam, dia menatap sendu kearah sahabatnya, ada rasa tak rela melihat seseorang yang selalu ada untuk dirinya pergi walau bukan dalam jangka waktu yang lama. Namun, satu minggu bagi Lika adalah waktu yang cukup lama, dia tidak tahu apakah bisa tanpa Fira di sisinya. "Emang nggak ada hari lain ya? Ini hari Sabtu Lo, kata orang tua pamali bepergian jauh di hari Sabtu!" Fira terkekeh pelan, pemikiran sahabatnya itu memang unik, entah dari mana Lika mendengar pernyataan konyol seperti itu, dan jelas itu hanyalah mitos belaka, tidak ada yang pasti dari sebuah mitos yang berbau tahayul seperti itu. "Jangan ngaco deh. Gue lebih baik percaya omongan Lo yang jelas terbukti nyata dari pada omongan mitos itu." Fira terbahak, lalu menutup tas yang sudah berisi beberapa potong pakaian yang akan dia kenakan nantinya. "Udeh ah, melow amat, gue nggak lama elah satu Minggu doang, dan nggak menutup kemungkinan bakal pulang lebih awal kalo kerjaan udah beres." Lika menunduk sejenak, dadanya berdebar dan perutnya seolah mulas, ini kali pertama Lika merasakan sesuatu yang membuat dia tidak nyaman, setelah pengusiran yang di lakukan orang tuanya dulu tentunya. Kini Lika merasakan perasaan aneh itu lagi, dan dia tidak yakin jika Fira akan pergi darinya. "Tapi perasaan gue nggak enak, Fir." Wanita dengan rambut sebahu itu terkekeh pelan, sebelum berjalan mendekat kearah Lika lalu memberikan pelukan hangat untuk sahabatnya itu. "Udah Lo tenang aja, gue nggak akan kenapa-kenapa kok, ada Panji juga di sisi gue, jadi Lo tenang aja." "Tapi tetep aja perasaan gue nggak, Fir, gue takut terjadi apa-apa sama Lo." Tenang Ika, gue nggak akan kenapa-kenapa, gue strong kalo Lo lupa!" "Te ...." "Kalo ada apa-apa Panji pasti bakal jagain gue!" Lika menatap sendu kearah Fira, dia tidak yakin dengan apa yang dia rasakan dan apa yang dia takutkan, tapi tetap saja, melepaskan sahabatnya begitu saja untuk perjalanan yang cukup jauh membuat Lika merasa tidak nyaman, ada rasa tak enak yang sejak tadi mengganjal, dan entah itu apa. Lika hanya menatap sendu, sembari meyakinkan diri, Panji pacar Fira tentu saja akan menjaga sahabatnya itu. Pria yang sudah memberikan sebuah cincin tanda cinta pada Fira itu jelas akan mempertahankan nyawanya sendiri untuk keselamatan kekasihnya, tapi entah kenapa Fira merasa ada yang salah dengan kepergian sahabatnya itu. Bahkan setelah hari berganti dan Lika sudah berada di halte depan gang kontrakan untuk mengantarkan sahabatnya pada Panji untuk pergi, dia tetap merasakan tak nyaman di dalam dadanya. Lika mencoba menekan rasa itu dalam-dalam, dia meyakinkan diri, tidak akan terjadi sesuatu pada sahabatnya, dan Lika selalu berdoa untuk keselamatan sang sahabat. Semoga saja tidak terjadi apa-apa dengan sahabatnya, semoga.    Laksa untuk Lika. "Lika, kamu ngelamun?" Lika mengerjap kaget saat suara Airin menyapa telinganya, dia terlalu larut dalam lamunan hingga tidak menyadari bosnya itu datang dan mengucapkan sesuatu. Dan entah apa yang dikatakan oleh Airin, perasaanya masih tidak enak selepas kepergian sahabatnya pagi tadi. "Maaf, kak...." "Jangan ngelamun ah, siang-siang gini nggak baik ngelamun, apalagi masih hamil muda!" Lika tersenyum kecil sembari menunduk untuk menyembunyikan gurat malu saat mendapat teguran dari bosnya. "Jangan dibiasakan!" Ujar Airin sembari merapihkan buku yang ada di hadapannya. "oh ya, hari ini aku nggak sampe sore layak biasanya, ada acara sama anak-anak, kamu bisa jaga toko kan?" Lika tersenyum lebar, melarikan tatapannya pada Airin yang juga menatap kearahnya "Bisa mbak!" Wanita yang sudah menginjak kelapa tiga itu masih terlihat anggun dan cantik. Tidak ada keriputan digaris matanya, sosok yang masih terlihat begitu bersinar di mata Lika. Wajar saja, saat Lika mengetahui jika suami bosnya adalah orang yang memiliki pendapatan lebih, dan bisa dibayangkan oleh Lika bagaimana mahalnya perawatan kecantikan Airin. Membayangkannya saja Lika sudah merasa iri. Andai dia bisa memiliki pria yang sebaik dan setampan suami bosnya itu. Walau nyatanya hayalan itu hanya bagai angin lalu bagi Lika. Orang kaya mana yang mau menikahi dirinya yang jelas-jelas memiliki anak dari hubungan terlarang. Melihat dirinya saja mungkin mereka sudah merasa jijik. Lika pun tidak terlalu berharap untuk mendapatnya pria kaya mapan dan tampan, dia tidak ingin menjalin hubungan terlebih dahulu, hatinya masih terasa hancur bahkan serpihan hatinya belum dia pungut untuk disatukan kembali. Terlalu dalam luka yang dia rasakan hingga membuatnya enggan untuk beranjak. Lika ingin membenahi hidupnya terlebih dahulu sebelum membiasakan hati untuk merasakan sakit yang teramat dalam. Cukup pahatan luka dari seroang Deon saja yang berbekas, dia tidak ingin merasakan luka lain lagi. Itu yang dia harapkan, tapi semua tentu bukan dia yang memutuskan, Lika hanya bisa berusaha dan berdoa, dia tidak ingin jauh terlalu berharap, karena nyatanya jika apa yang kita dapat tidak sesuai dengan yang kita harapkan akan membuat dia kecewa dan merasakan sakit lagi. "Kan ngelamun lagi!" "Ehh!" Lika tersentak untuk kedua kalinya, setelahnya dia meringis kecil karena malu, tangannya bergerak untuk menggaruk bagian tengkuk yang tidak terasa gatal. "Mikirin apa sih dari tadi, dalem banget kayaknya?" "Eh ... Enggak kok mbak, lagi sedikit kepikiran soal sesuatu aja." "Suami?" Tanya Airin seketika. Lika membisu, terlebih saat Airin mengatakan tentang suami. Bosnya itu yang mang tidak tahu tentang setatus Airin yang masih lajang. Dia memang sengaja membuat sebuah alasan dan mengatakan sudah menikah walau di KTP yang dia miliki masih berstatus lajang. Lika hanya memberi alasan jika dia belum sempat memperbarui tanda pengenalnya. Beruntung Airin masih mau menerima dirinya bekerja walau itu terlihat mencurigakan. Dan sekarang, Lika bingung harus berkata apa. Apakah dia harus menciptakan sebuah kebohongan lagi untuk menutup kebohongan yang lain? Terdiam sebentar, Lika jadi sadar betapa buruknya pengaruh sebuah kebohongan. Kebohongan kecil yang dia ciptakan akan menciptakan kebohongan lain, dan Lika akan selalu berkubang di dalamnya, sebuah alur semu yang dia ciptakan melalui lisan. Sesuatu yang tidak nyata yang terkadang membuat Lika merasa nyaman dan juga lupa dengan keadaan. Dia tidak ingin menjawab, tapi bisa saja hal itu malah akan membuat Airin merasa curiga, dan mengorek informasi lebih tentang dirinya. Jujur Lika masih butuh pekerjaannya, tapi dia juga takut untuk menciptakan sebuah kebohongan yang baru. Lika merasa terjebak oleh lisannya sendiri. "Eh... Iya mbak, suami. Lagi kepikiran suami udah makan apa belum ...." Lika tersenyum kecut, kembali sebuah kata semu terucap dari mulutnya, dan entah kebohongan itu akan berakhir sampai kapan. Terlebih sebuah kata suami yang jelas tidak nyata untuk Lika akan sulit dia hilangkan dari kebohongan selanjutnya. Tanpa sadar Lika akan mencoba merangkai sebuah kebohongan untuk menutup kebohongan yang lain. "Astaga, cuma itu toh. Aku kira mikirin apa!" Airin tertawa pelan dengan telapak tangan buang dia gunakan untuk menutup mulutnya. "Dasar ya pengantin baru, perhatiannya terlalu banget! Jadi inget suami aku di rumah. Udah minum obat belum ya dia?" Setelahnya Airin meraih ponsel di dalam tas lusuhnya. Menekan beberapa kali sebelum terkekeh pelan. "Ternyata dia malah yang hubingi aku duluan." Ucap Airin pelan. Lika tersenyum kecut. Sekali lagi dia merasa iri, dan seolah kebohongan yang tadi dia ucapkan ingin terus dia lanjutkan agar bisa mengikis rasa iri saat melihat wanita di hadapannya itu terlihat begitu bahagia dengan kehdupannya. Hal ini lah yang terkadang membuat Lika merasa dunia ini seolah tidak adil, kebahagian yang dia rasakan sejak dulu hanya sebuah banyang semu yang tak kasat mata, bahkan dia hanya bisa merasakan setitik kebahagiaan yang di ciptakan oleh Deon, walau akhirnya dia di campakan. Penyakit manusia yang bernama iri hati memang sulit untuk di hindari, dan Lika sangat sering merasakan, bahkan kalah oleh kendali bisikan hati yang seolah meronta dengan memberikan rasa tak nyaman tiap kali melihat kebahagiaan orang di sekitarnya. Dulu dia selalu iri dengan teman di sekolahnya yang selalu diperhatikan oleh orangtuanya, sedangkan dirinya sama sekali tidak di pedulikan. Hingga dia bertemu dengan Fira, gadis yang nasibnya tidak kalah jauh dari dirinya. Dan adanya Fira merasa bukan hanya dirinya saja yang merasa tidak beruntung hidup di dunia yang begitu kelam ini. Andai Lika bisa memilih, maka tidak perlu diragukan lagi, Lika akan dengan senang hati memilih berada di posisi mereka. Hingga satu hal penting yang dia lupakan Lika hampir saja lupa dengan kata bersyukur, nyatanya masih banyak di luaran sana yang hidupnya jauh lebih buruk dari Lika. Dan dari sanalah Lika belajar untuk mengendalikan hatinya lagi agar tidak terhasut oleh sebuah kata iri dengki. "Ya udah kalo gitu, kakak tinggal dulu ya, Lik. Jemputan udah Dateng." Lika mengangguk tanpa menjawab, dia masih berusaha sekuat tenaga untuk mengendalikan hatinya agar tidak terhasut oleh kata iri yang bisa merusak moodnya. Lika mengantarkan Airin hingga di depan pintu toko, melihat bosnya itu masuk kedalam mobil dengan senyum tipis tercetak di kedua sudut bibirnya. "Hati-hati kak!" "Iya, kamu yang baik-baik di toko, jangan banyakan ngelamun Kesambet nanti,"  ucap Airin dengan kekehan kecil sebelum masuk kedalam mobil meninggalkan Lika yang masih berdiri mematung menatap kepergian Airin.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD