Laksa 4

1471 Words
Lika 4 "Ika, bangun dulu, sarapan!" Lika mengerjap matanya perlahan, pagi menjelang saat dia menyadari bias matahari menyorot masuk melalui fentilasi jendela yang saat ini tertutup tirai, dia baru sadar saat dirinya tidak lagi di atas lantai melainkan berbaring di atas kasur, seingatnya terakhir kali dia sadar, dia tengah duduk meringkuk di atas lantai pojok ruangan, lalu siapa yang memindahkan dirinya keatas ranjang. Lika menoleh. Menatap sahabatnya yang saat ini tengah melangkah kearah jendela setelah meletakan nampan berisi mangkuk dan juga satu gelas air putih di atas meja rias. Tirai gorden di buka, bias cahaya masuk kedalam kamar membuat silau di kedua mata Lika, dia terpejam sesaat sebelum mengerjap untuk menyesuaikan cahaya yang terlihat begitu cerah pagi itu. Setelah semalaman hujan mengguyur, kini kicau burung dan hangat sinar matahari membuat siapa saja begitu nyaman untuk merasakannya. "Lo sarapan dulu nih, kasian itu perut, dari kemarin kayaknya nggak keisi makanan!" Fira mendekat, lalu mengulurkan nampan yang dia bawa tadi pada Lika. "Jam berapa sekarang?" Suara serak Lika mengalun di barengi rasa perih yang dia rasakan di tenggorokannya. Lika menerima nampan bubur lalu meletakan di atas pangkuannya, tatapannya masih tertuju pada Fira yang juga menatap kearahnya. "Jam 10, Lo tidur kebo juga ya ternyata." Lika menunduk, menatap bubur ayam kesukaanya yang terlihat masih mengepulkan asap, dia tak berselera pagi itu, biasanya tanpa diminta pun Lika akan melahap habis bubur yang ada di hadapannya itu yang terlihat menggugah selera jika di perhatikan lagi. Sayang mood Lika tidak sebaik biasanya dan membuat dia enggan untuk melihat bibir di hadapannya kini. "Sorry...," Bisik Lika. Fira berdecak pelan, lalu memilih duduk di sisi ranjang sebelah Lika. "Lo kenapa? Ada masalah?" Tanya Fira pelan, tangannya merayap, memberi pijatan kecol di kedua bitis Lika. Lika menunduk diam, dia tak tahu harus berkata apa, dan harus memulainya dari mana. Mungkin Fira akan menertawakan dirinya jika wanita itu tahu apa yang sekarang terjadi, tentu saja karena kebodohan dirinya yang dengan rela menyerahkan kehormatannya hanya karena sebuah kata cinta dan kenyamanan semu. Sekali lagi Lika seolah tertampar oleh kenyataan. Nyaman yang dia harap bisa menjadi tempat sasaran terakhir, nyatanya mencampakkan dirinya. Sungguh, betapa bodohnya dia. "Coba cerita dulu, biar gue nggak terlalu penasaran sama hal yang udah ngebuat Lo kayak bocah yang rela ujan-ujanan malem hari!" Lika menggeleng pelan, dia masih menatap bubur di hadapannya, hingga aroma itu masuk kedalam penciumannya, aroma gurih santan dan juga kuah bubur yang biasanya terasa menggugah selera entah kenapa pagi itu berhasil mengaduk perutnya. Lika menyingkirkan nampan itu ke sisi kanannya, lalu secepat itu juga dia berlari keluar kamar dan menuju kamar mandi yang ada di dekat dapur. "Hoek...!" Lika tertunduk pada saluran pembuangan air, memuntahkan segala isi perutnya yang hanya berupa cairan putih. "Hooeek...!" Fira menatap nanar sahabatnya yang saat ini tertunduk lesu di dalam toilet, dia melangkah pelan, lalu ikut tertunduk untuk memijit tengkuk Lika. Di perhatikan sahabatnya yang terlihat kurang enak badan pagi itu, mungkin Lika masuk angin karena hujan-hujanan semalam, itu yang Fira pikirkan hingga dia mengetahui sebuah fakta. "Lo serius!" Pekik Fira saat Cila menjelaskan semua masalahnya dari awal hingga akhirnya dia berakhir di jalanan malam tadi. Setelah rasa mual di perutnya mereda, Lika dan Fira memilih duduk di ruang tamu yang terlihat sempit dan sesak karena perabotan yang sudah menggunung. Lika menceritakan semuanya, bahkan pada bagian intim yang sering dia lakukan bersama mantan kekasihnya dulu, Deon. "Kenapa Lo t***l banget sih, udah pernah gue bilang berapa kali, Deon itu cuma manfaatin Lo doang, dia jelas-jelas nggak ada rasa sama Lo, tapi dasar Lo nya aja yang kek orang t***l! luluh gitu aja sama kata manis penuh tipu muslihat dari mulut b******n itu!" Sentak Fira dengan kekesalan yang sudah memuncak, dia merasa kesal dengan sifat polos sahabatnya itu, bahkan sangking polosnya sampai dia buta karena cinta. "Gue tahu gue salah, tapi...." "Nggak ada tapi, sekarang gimana urusannya? gue nggak terima sahabat gue dicampakan gitu aja! Dia kira lo permen karet apa, habis manis sepah di buang, sialan!" Fira menoleh, menatap sahabatnya dengan tatapan nyalang, dia beranjak setelahnya. "Anter gue ke rumah itu orang, biar gue hajar b******n tengik macam dia!" Lika menahan lengan Fira, dia menggeleng pelan lalu menarik pelan hingga sahabatnya itu kembali duduk. Lika menunduk, memainkan buku jari dengan pikiran kalut. "Dia jelas udah nolak gue, dan gue nggak sanggup untuk mendengar penolakan yang ketiga kalinya, cukup udah, gue aja yang terlalu bodoh karena udah terlalu percaya sama Deon." "Nggak bisa gitu lah, enak dia apes di Lo ini mah! Dia bisa hidup lenggang tanpa beban, sedangkan Lo?" Fira mengangkat telunjuknya ke udara dan mengarahkannya pada Lika. "Lo harus nanggung beban yang berat, harus siap mental dengan nyinyiran banyak orang yang ngecap Lo cewek murahan, belum lagi Lo harus tanggung semua biaya, yang Lo tahu? nggak sedikit Ka, setelah ini. Apalagi Lo udah diusir sama keluarga lo!" Lika semakin menunduk, apa yang di katakan sahabatnya itu benar adanya, harus bagaimana dia membiayai kehidupannya sekarang? Belum lagi dia tidak memiliki pekerjaan, lalu dari mana dia bisa mendapatkan uang? "Lo pikir mudah ngejalanin hidup sendiri? gue yang dari kecil udah sendiri aja nggak sanggup, apalagi elo yang harus nanggung beban seorang diri!" Lika mengangkat wajahnya hingga tatapannya bertemu langsung dengan tatapan Fira. Dia tersenyum tipis di sela mata berkabut. "Makanya pliss, cuma Lo yang gue punya sekarang, jadi bantu gue...," Ucap Lika dengan suara parau. Dia tak tahu lagi harus meminta bantuan kepada siapa selain pada Fira sahabatnya itu. Satu-satunya orang yang saat ini bisa Lika andalkan. Fira menghela napas pelan, dia memilih duduk lalu menoleh pada sahabatnya, menatap nanar pada wanita cantik dengan mata memerah dan kantung mata menggelap di sana. "Gue bisa aja bantu Lo, tapi apa Lo yakin Lo bakalan sanggunp dengan apa yang bakal Lo hadapi nanti? Nggak mudah, Ka. Apalagi jaman sekarang! Bukan fisik yang bakal Lo terima, tapi batin." Lika tersenyum manis, mengusap air mata yang mengalir membasahi wajahnya, Fira memang selalu peduli pada dirinya, bahkan sahabatnya itu sering kali melarang dia agar tidak terlalu percaya pada Deon, karena pria itu bukanlah pria yang baik di mata Fira, tapi Lika seolah tuli dan buta, dia tidak peduli. Baginya Deon adalah segalanya dulu, tapi sekarang. "Gue yakin bakal siap, apapun urusannya nanti, gue bakal cari ke-" "Untuk Malasah biaya biar aku yang tanggung!" Mereka berdua menoleh serempak kearah pintu utama yang sejak tadi terbuka, memperlihatkan seorang pria dengan penampilan acak-acakan, dia berdiri menatap Lika dengan tatapan penuh penyesalan. Lika terdiam untuk sesaat, terlebih saat tatapan mer ia bertemu dan Lika bisa merasakan  sorot penyesalan dari tatapan itu, hingga Lika menoleh, memutuskan tatapan mereka. Lika tak sanggup jika harus beradu tatap untuk sekian waktu dengan pria itu. "Lo!" Erang Fira, dia beranjak dari tempatnya lalu menerjang pria yang sejak tadi berdiri dan menguping pembicaraan mereka. Dengan kasar Fira menarik kerah baju pria itu dan menatap nyalang. "Brengs...." "Fira udah!" Tangan Fira yang sudah siap memberi pukulan pada pria di hadapannya terhenti, dia melarikan tatapannya pada Lika menatap, dengan penuh tanya. Tak tahu lagi harus berkata apa, Lika selalu menjadi wanita yang berhati emas, seberapapun terlukanya dia karena perbuatan pria itu, tetap saja dia selalu memaafkan. Entah terbuat dari apa hati sahabatnya itu. "Dia bukan Deon," ujar Lika dengan suara parau. Pria itu memang bukan Deon, tapi Laksa. Fira memang belum pernah bertemu dengan Deon ataupun Laksa, dia hanya mendengar semua dari cerita lika, bagi Fira dia tidak sudi melihat wujud dari pria yang sudah berkali-kali melukai hati sahabatnya itu. "Lo...!" Fira menjeda kalimatnya. Dia memekik lalu melepaskan cengkraman tangannya dengan kasar. Lalu memilih untuk kembali duduk di sebelah Lika, dia merasa muak dengan masalah ini, kepalanya seolah akan pecah hanya karena memikirkan masalah sahabat itu. "Untuk apa kakak kesini?" Satu pertanyaan lirih dengan wajah tertunduk membuat Laksa melangkah mendekat, dia berlutut tepat di hadapan Lika dengan tatapan sendu. Laksa meraih tangan Lika, menggenggam telapak tangan mungil yang begitu pas digenggaman tangannya, dia mengangkat kepalanya, mencoba mencari tatapan Lika yang sedari tadi selalu menghindarinya. "Aku kesini untuk minta maaf dan mempertanggungjawabkan apa yang sudah di buat oleh Deon." Laksa menjeda, dia menunggu reaksi dari Lika, hingga tubuh Lika bergetar kecil lalu disusul suara sesenggukan yang membuat Laksa kebingungan. "Aku tahu apa yang dilakukan Deon memang di luar kendaliku. Tapi aku ingin menanggung semua beban yang kamu rasakan, aku  ingin kamu berbagi beban bersamaku." Lika menggeleng kecil, dia menarik tangannya dari genggaman tangan Laksa, satu hal yang paling di benci Lika sejak dulu, dia paling tidak suka di kasihani, apalagi menyangkut hidupnya. Dia merasa masih mampu untuk jalan sendiri, tidak perlu belas kasihan dari orang lain, apalagi Laksa yang sejatinya tidak ada urusannya dengan masalah yang dia hadapi, dan harusnya Deon yang mendatanginya, bukan Laksa. "Pulanglah kak. Aku ingin sendiri." bisik Lika sendu. "Tap...." "Aku mohon...." Lika menatap Laksa dengan tatapan terluka, wanita itu terluka begitu dalam, dan Laksa hanya bisa termagu menatap semua yang ada di hadapannya kini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD