Laksa 5

1909 Words
Lika 5 "lo yakin?" tanya Fira saat melihat sahabatnya itu akan bersiap untuk mencari pekerjaan, mengingat bagaimana kondisi Lika dia tidak yakin, terlebih dia cemas dengan kandungan Lika yang tergolong masih muda, dia takut jika calon keponakannya itu kenapa-kenapa. lika menoleh kearah sahabatnya dengan memasang senyum kecil, dia paham jika sahabatnya itu cemas, tapi lika tidak bisa tinggal diam dan menumpang hidup pada sang sahabat, dia harus berjuang sendiri dengan hidupnya dan juga buah hatinya, Lika sama sekali tidak ingin melihat sahabatnya kerepotan karena dirinya. "iya gue nggak papa kok. gue nggak bisa tinggal diem aja, ongkang kaki di rumah lo. Rasanya beban amat gue." "ya nggak gitu lah, gue nggak tega aja harus liat lo kerja, apalagi kandungan lo masih muda banget, gue nggak mau terjadi apa-apa sama calon keponakan gue." Lika tersenyum kecil, dia sangat tahu dengan sifat Fira yang selalu peduli pada dirinya sendiri, tapi tetap saja dia akan hanya menjadi beban jika berdiam diri di rumah. "nggak papa, fir, gue nggak papa, lagian kandungan gue nggak papa, gue yakin dia kuat." "dari mana lo tau, bahkan lo aja belum periksa kan?' gue yakin nggak papa. lo percaya deh sama gue!" sekali lagi Lika tersenyum, mencoba meyakinkan sahabatnya itu. "lo yakin?" "iya, percaya deh sama gue!" Fira menghela napas, Lika dengan segala sifat keras kepalanya tidak akan bisa di laramg ataupun di sangkal, biarkan dia melakukan apa yang menurutnya benar, dan jika nanti terjadi sesuatu pada dirinya maka Fira akan dengan senang hati menceramahinya. "jadi lo mau cari kerja dimana sekarang?" Lika terdiam sesaat, dia belum tahu akan mencari pekerjaan dimana, terlebih jaman sekarang mencari pekerjaan tidak semudah mencari sampah pelastik yang bertebaran di setiap sudut jalanan kota. "gue belum tahu, yang pasti dimanapun ada pekerjaan bakal gue samber. Apapun itu." "cari kerja nggak semudah yang lo bayangkan, apalagi sekarang." "Gue tahu, tapi nggak ada salahnya mencoba kan?" "Terserah di elo deh, gue nggak tau lagi harus ngomong apa!" Fira melipat tangannya di depan d**a, menatap jwngah pada sahabatnya itu. Melihat reaksi Fira, Lika hanya terkekeh kecil, lalu dia bergerak mendekat, memeluk sahabatnya itu erat. "makasih, lo emang sahabat gue yang terbaik!" LIka bersyukur memiliki sahabat seperti Fira, apapun masalah yang di hadapi Lika akan senantiasa ada di sisinya. Entah sudah berapa kali Fira selalu menemani dirinya dan menjadi tempat dia bercurah.       Laksa untuk Lika matahari sudah terbenam, menampilkan corak jingga keemasan, beberapa orang terlihat hilir mudik untuk menuju kediamannya masing-masing, begitupun dengan lika, dia terlihat lesu berjalan menyusuri trotoar jalanan, lelah dia rasakan, banyak tempat sudah dia kunjungi dan menanyakan banyak pekerjaan, tapi sayang, nasib sepertinya tak berpihak kepadanya, sebanyak lamaran yang dia berikan nyatanya memang benar mencari pekerjaan tak semudah yang dia bayangkan. Apalagi izasahnya yang hanya lulusan D3 marketing, banyak perusahaan yang menolaknya karena itu. Helaan napas keluar begitu saja dari mulut lika, dia mengedarkan pandangannya menilik sekitar, hari sudah mulai gelap, perutnya pun terasa lapar, seharian memang dia tidak sempat makan sekalipun, dia bahkan lupa dengan keadaan perut kosongnya. perut kosong membuat pandangannya kabur, dia berhenti sebentar di sisi jalan, melihat kendaraan umum yang dia harap segera datang dan dirinya bisa cepat sampai rumah. Menahan sedikit saja rasa laparnya hingga dia sampai di rumah nanti. Lika bisa bernapas lega saat kendaraan umum menghampiri dirinya tak lama setelahnya, bahkan selama perjalanan dia memejamkan matanya untuk mengusir rasa lapar yang membuat perutnya bunyi beberapa kali.  "kiri, bang!" teriak Lika saat dirinya melihat simpang gang menuju kontrakan Fira. Cukup dengan uang lima ribu rupiah Lika bisa menghemat sedikit saja pengeluarannya hari ini, tabungannya tak lagi banyak, dan dia harus segera mencari tambahan pemasukan untuk bertahan beberapa bulan kedepan. Belum lagi dia harus memberi sedikit uang kepada Fira sebagai uang tambahan biaya kontrakan dan juga keperluan lainnya. Lika menghela napas pelan, dengan tertatih dia melangkah masuk, menyusuri gang sempit dan beberapa kali dia berpapasan dengan penduduk sekitar, dengan senyum ramah Lika menyapa mereka yang beberapa dari mereka seolah asing dengan sosok Lika. Kontrakan kecil yang terlihat sepi karena memang pemiliknya jarang di rumah, masih saja sunyi, menandakan jika Fira sahabatnya belum pulang dari bekerja. Lika melangkah masuk, sunyi menyambut dirinya, setelah meletakan tas di atas meja, dia langsung beramjak ke dapur, mencoba melihat apakah ada sesuatu yang bisa dia masak untuk mengisi perut keroncongannya. Hanya ada beberapa bungkus mie instan yang ada di lemari, Lika mendengkus sesaat sebelum meraih satu bungkus mie instan dan membawanya untuk dia masak. beberapa saat setelah berkutat dengan wajan dan juga air panas, satu porsi mie dengan kuah rasa kari membuat perutnya keroncongan dan seolah memberontak untuk minta di isi. Lika segera duduk dan melahap makanan yang ada di hadapannya, hingga suara mobil terparkir di halaman rumahnya membuat perhatiannya teralihkan, Lika mengintip sedikit melalui celah pintu yang terbuka cukup lebar. Lika mematung sesaat saat melihat sosok Laska berjalan kearah pintu, tanpa sengaja tatapan mereka bertemu, Laska memasang semyum manis di sana sebelum mencucap salam. "Assalamualaikum," sapa Laska dengan senyum yang masih mengambang di sana. Lika berdiri sebelum menghampiri Laska dengan tatapan pemuh tanya, apa lagi yang membuat pria itu datang siang ini, bukankah kemarin dia sudah mengatakan jika dia tidak ingin memperpanjang masalah ini lagi, lalu untuk apa pria itu datang lagi hari ini? "Waalaikumsalam." jawab Lika dengan raut datar. Dia memandang Laksa dengan tatapan datar, bahkan dia tidak mempersilahkan pria itu masuk terlebih dahulu dan lebih memilih berdiri di depan pintu. "Kenapa lagi kak?" tanya Lika dengan sorot yang tak henti menatap Laksa. "Boleh aku masuk dulu? Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan sama kamu." "Di sini aja cukup." "Tapi nggak enak di lihat sama orang lewat." Lika menatap sebentar sebelum mendengkus dan mempersilahkan Laksa untuk masuk. Lika lupa jika dia belum membereskan mie instan yang akan dia lahap tadi, dan tanpa dia sadari Laksa melihat mangkuk benin di ata meja itu. Dia menatap Lika setelahnya dengan tatapan aneh, apakah Lika memang biasa mengkonsumsi makanan instan seperti ini, bahkan saat dirinya tengah mengandung. "Jadi?" tanya Lika setelah mereka berdua duduk. Lika masih belum sadar jika laksa menatap aneh pada dirinya dan juga mangkuk di hadapannya. "Aku kesini hanya ingin mem...." Belum sempat deon melanjutkan kalimatnya, Lika sudah memotong perkataan Laksa dengan tatapan tak suka. "Kalo kakak masih mau membahas masalah kemarin, aku duah bilang kan, nggak usah perpanjang lagi masalah ini, aku nggak papa, aku bisa sendiri tanpa belas kasihan dari kakak." "Bukan gitu maksudku, aku cuma ingin bertanggung jawab atas semua yang udah Deon lakukan. aku nggak bisa lepas gitu aja, mau bagaimanapun anak yang ada di dalam kandunganmu masih memiliki darah yang sama dengan keluargaku, dan dia berhak mendapatkan sesuatu yang layak untuk hidupnya." Lika menatap nanar pada Laksa, mulutnya tebuka sedikit sebelum dia memilih untuk memutuskan tatapan mereka, Lika tak percaya jika Laksa akan mengatakan itu. "Percayalah kak, aku dan bayiku nggak butuh belas kasihan dari keluarga kakak, terlebih setelah Deon membuangku, aku tidak memiliki niat untuk meminta pertanggungjawaban dari keluarga kalian!" Laksa terlihat menghela napas sebentar, lalu menatap tepat di kedua bola mata Lika yang sejak tadi menatapnya nyalang. "Setidaknya biarkan aku memberi sesuatu yang layak untuk keponakanku," ucap Laksa sembari melarikan tatapannya pada mie instan yang ada di atas meja, Lika mengikuti tatapan Laksa hingga dia merasa malu sendiri, mungkin memang dirinya lah yang ceroboh hingga membuat Laksa berpikir jika dirinya tidah hidup dengan layak. "Apapun itu aku tetap nggak berniat sedikit pun untuk meminta sesuatu dari kakak, aku nggak mau di cap sebagai w************n yang menginginkan sesuatu dari bayi yang aku kandung ini. Semua murni karena kesalahanku sendiri, jadi sebisa mungkin aku tetap nggak berhak mendapat bantuan dari kakak!" tegas Lika dengan suara yang sedikit meninggi, dia masih memegang teguh dengan pendiriannya, sekali tidak selamanya akan tidak. Laksa menghela napas untuk kesekian kalinya, dia tidak menyangka jika Lika begitu keras kepala, dia tidak tahu harus berbuat seperti apa, pertahanan wanita di hadapannya itu begitu kokoh. "Aku mohon, sekali ini saja." Ucap Laksa dengan suara parau. Sesuatu yang membuat Lika terdiam sesaat, dia menatap kakak dari mantan kekasihnya itu sebentar sebelum menghela napas kasar, dia beranjak membawa mangkuk mie instan yang belum sempat dia sentuh tadi dan meletakkannya di dapur. "Hanya kali ini!" Ucap Lika yang memilih duduk di hadapan Laksa, tempat tadi yang dia duduki. Laksa mengangguk mantap, tidak apa walau hanya satu kali ini saja, dia akan berusaha untuk hari esok agar bisa masuk kedalam kehidupan Lika, dia merasa harus melakukan itu untuk menanggung semua dosa yang Deon tinggalkan. Lika berdiri dan berjalan untuk masuk kedalam kamar, dia perlu ganti baju dengan baju yang bersih, seharian berkutat dengan debu dan keringat tentu saja akan membuat dirinya terlihat kusam dan aneh, Lika tidak ingin itu terjadi, maka yang dia lakukan hanyalah berganti baju, lalu menyemprotkan sedikit parfum kesukaannya sebelum beranjak keluar. Tidak usah menggunakan make-up, karena Lika memang g tidak suka dengan bahan kimia yang menempel di wajahnya itu. Lika selalu terganggu dengan segala jenis make-up yang terlalu bayang di wajahnya. Tanpa kata, Lika berjalan melewati Laksa yang sejak tadi duduk menunggu dirnya selesai, di tatapnya Lika yang berlalu tanpa ekspresi itu hingga membuat senyum tipis muncul di kedua sudut bibirnya. Laksa segera beranjak untuk mengikuti langkah Lika. Setelah mengunci pintu, Lika berlalu melewati mobil mewah milik Laksa yang terparkir di halaman kontrakan sempit milik Fira, dia mengeluarkan gawai miliknya, mengirim pesan pada sahabatnya dan mengatakan jika sore ini dia akan makan di luar, tentu saja agar Fira tidak perlu repot membawakannya makanan. "Kita mau kemana?" Tanya Laksa bingung saat Lika masih saja diam dan memandu jalan, pria itu mengikuti langkah Lika yang entah akan kemana. "Kenapa nggak pake mobil aja?" Lika berhenti sejenak untuk menghela napas pendek, lalu seolah enggan untuk menjawab, Lika melanjutkan langkahnya dan membuat Laksa menatap tak percaya. Pria itu memilih diam dan mengikuti kemana Lika membawa dirinya pergi, menurut beberapa orang rekan yang sudah memiliki istri, mood wanita hamil memang sudah untuk dikendalikan, dan mungkin Lika masih di dalam tahap ini. Hingga Lika berhenti di sebuah tenda warung makan di pinggir jalan, wanita itu menoleh sebentar untuk melihat Laksa, "kita makan di sini nggak papa kan?" Tanya Lika. Laksa menatap sekilas pada tenda makan yang terlihat sangat sederhana itu lagi menatap Lika seolah tak percaya. "Kami yakin?" Tanya Laksa, dia merasa tak yakin dengan kondisi sekitar tenda makan itu yang terlihat kurang meyakinkan dan tidak higienis, apalagi untuk kondisi Lika yang saat ini tengah mengandung, bukankah wanita hamil harus mengkonsumsi makanan yang bergizi dan tidak sembarangan seperti ini. Lika mengangguk kecil, "kebetulan lagi pengen makan bebek goreng." Ucapnya santai sebelum masuk kedalam tenda warung makan itu, meninggalkan Laksa yang menatap tak percaya pada Lika. Menghela napas pelan, Laksa menyusul Lika masuk dan memesan makanan pada pemilik warung, Lika masih saja diam sembari mengikuti wanita yang memilih meja paling belakang. Hingga pesanan mereka datang, Lika terlihat dengan santainya makan bebek goreng pesannya yang terlihat digeprek bersama dengan sambal tomat yang menurut Laksa pedas. Bahkan dengan santainya Lika melahap makanannya dengan tangan kosong yang sudah dia cuci di dalam sebuah mangkuk yang berisi airi bersih dan potongan jeruk nipis di dalamnya. Laksa menatap lekat wanita itu, terlihat bahagia dan riang saat melahap makanan sederhana yang ada di hadapannya kini. Sesederhana itulah Lika di matanya, dan entah kenapa Deon bisa mencampakkan wanita sebaik dan seunik Lika. Jika di banding dengan wanita lain, mungkin mereka tidak akan menyia-nyiakan peluang untuk mendapat apa yang mereka inginkan. Mubgkin mereka akan meminta lebih pada seorang Laksa yang kekayaanya tak terhitung jumlahnya, karena itu tentu saja kesempatan emas, tapi Lika? Wanita itu berbeda, Laksa percaya itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD