Laksa 14

1409 Words
Firasat, banyak orang yang menyepelekan sesuatu hal sepele yang entah kebenarannya nyata atau tidak. Tapi bagi Lika, apa yang dia rasakan ada kemungkinan besar akan terjadi. Walau memang tidak selamanya nyata. Namun, kini semua terjadi, setelah turun dari mobil Laksa yang mengantarkan dirinya ke rumah samit. Kini lima berlarian di sepanjang koridor rumah sakit dengan perasaan tak karuan, tidak peduli dengan tatapan orang, dan teguran dari suster saat melihatnya berlari. Dia hanya ingin segera sampai di ruang IGD setelah beberapa saat lalu dia mendapat sebuah kabar yang begitu mengejutkan. Tepat saat dirinya tengah asik menyantap ria apa yang di berikan olek laksa, dan merasakan bagaimana kehangatan yang di berikan oleh Agnes yang juga Cila. Lika seolah lupa akan perasaan yang selalu membayangi akhir-akhir ini, dan saat ada sebuah telpon dari nomor yang begitu dia kenali, nomor Fira terpampang jelas di layar ponsel miliknya. Tanpa membuang waktu, Lika kangsung menjawab. Seketika dia langsung terkejut saat itu. Sesuatu yang membuat Laksa dan juga Agnes ikut terkejut karenanya. "Ada apa, Lika?" Tanya Laksa saat Lika mengakhiri panggilan telpon dan langsung berdiri dari duduknya dengan raut yang serat akan rasa khawatir. Lika menatap sebentar Laksa, lalu berlalu meninggalkan mereka begitu saja. Abaikan sopan santun yang harus dia terapkan saat berada di hadapan orang tua Laksa, dia tidak peduli, karena baginya, nasib dari sahabatnya lebih penting dari apapun jika. Lika mendapatkan kabar yang mengatakan jika Fira mengalami tabrak lari hingga membuat sahabatnya itu harus dilarikan ke rumah sakit, ada sesuatu yang menghantam dadanya saat mendengar kabar itu, bahkan dia tidak peduli pada acara yang tengah berlangsung saat itu, yang Lika pikirkan hanya Fira dan Fira. Dia takut terjadi sesuatu yang buruk pada sahabatnya. Dunianya akan berhenti jika sampai dia kehilangan sosok yang selalu mendukung dan menerimanya. Mulutnya merapal serangkaian doa dan kalimat memohon atas keselamatan Fira. Lika melambatkan langkah kakinya. Berjalan tertatih dengan tatapan berkabut, dia menatap nanar pintu ruang IGD yang ada di hadapannya, Fira ada di sana, di dalam sana dengan mempertaruhkan hidupnya. Lika tidak menyangka, dan merasa semua tidak adil. Kenapa harus Fira, kenapa harus sahabatnya yang selalu ada untuk dirinya. Kenapa bukan mereka yang tidak pernah peduli dengan keberadaan dirinya. Rasanya seperti separuh dari dirinya direnggut dengan paksa, dan Lika benci perasaan ini. Tubuhnya merosot, terduduk di atas lantai dengan tubuh yang bergetar, suara Isak tangis terdengar begitu pilu. Lika tidak peduli dengan mereka yang melihat aneh kearahnya, yang Lika pikirkan hanyalah nasib sahabatnya. Dia tidak pernah menyangka perasaan yang selama ingin dia takutnya terjadi juga, rasa tidak nyaman itu berakhir dengan sebuah luka yang begitu dalam di hatinya. Fira, sosok yang menerima dirinya tanpa peduli dengan apa yang sudah dia alami. Lalu kenapa orang sebaik Fira harus mengalami hal seperti ini. Dan siapa pelaku yang sudah tega meninggalkan Fira dan lepas dari tanggung jawab? Lika tidak akan memaafkan orang itu sampai kapanpun juga. Laksa yang sejak tadi melihat Lika tergugu, hanya diam, dia tidak tahu harus melakukan apa, tapi satu hal yang pasti, ada sesuatu yang begitu menyayat di dadanya saat melihat bagaimana Lika hancur seperti itu. Dua kali sudah, Laksa melihat bagaimana seorang Lika seolah kehilangan harapan, dulu saat di mana dia di campakan oleh Deon, dan sekarang saat Fira sahabatnya mengalami kecelakaan. Nasib seolah tak pernah berpihak kepada Lika. Laksa mendekat, memangkas jarak yang membentang, lalu ikut berlutut. Menyelaraskan tinggi tubuh dengan Lika yang sejak tadi menunduk. Sedikit ragu, Laksa membawa tubuh itu dalam dekapannya, memeluk dengan erat walau dia tahu apa yang dia lakukan salah. Laksa tidak seharusnya menyentuh wanita itu, hanya saja dia merasa harus melakukannya. Dia berharap Lika bersedia untuk berbagi kesedihannnya dengan dirinya. Laksa tidak ingin Lika terlalu larut dalam sebuah luka yang begitu menganga. Matanya terpejam, saat isakan yang keluar dari mulut Lika terdengar begitu pilu. "Kenapa...." Suara lirih itu beradu pilu dengan suara tangisannya. Bergetar dan penuh dengan kesedihan. Lika tergugu di dalam pelukan Laksa. Tangannya mencengkram erat kemeja hitam yang kini sudah basah di bagian karena air matanya. Lika tidak peduli, hanya hanya ingin meluruhkan semua perasaanya. "Kenapa harus orang terdekat aku yang ngalamin ini...?" suara Lika tercekat, ada nada sendu di sana. "Kenapa bukan mereka yang mengalami hal ini, kenapa harus Fira, kak?" Laksa tidak tau harus berkata apa, dia hanya bisa berusaha untuk menenangkan Lika, perlahan laksa membawa tubuh lemah itu berdiri, lalu menuntunnya dan mengajak lika untuk duduk di kursi tunggu yang tak jauh dari ruang IGD, membiarkan Lika menangis sepuasnya dalam diam. Bahkan Lika meracau di dalam pelukan Laksa. Pria itu masih saja dengan setia mengelus punggung Lika, memberi sedikit kekuatan agar wanita itu tegar. "Aku merasa Tuhan lagi hukum aku, aku udah berdosa Banget, tapi kenapa bukan aku saja, kenapa harus orang terdekat aku. Kenapa, kak?!" Laksa memejamkan matanya, dia mendongak, untuk mengatur emosinya. "Sstt.... Jangan pernah berkata seperti itu. Ini semua bukan salah kamu, Lika. Jangan pernah menyalahkan kamu atas kejadian yang menimpa orang lain." "Tapi dia bukan orang lain untuk aku, dia sahabat dan orang yang masih mau menerima aku walau betapa kotornya aku, kak. Dia sahabat aku, keluarga aku satu-satunya!" Laksa tidak bisa berkata lagi, nyatanya apa yang dia lihat dan apa yang dia ketahui selama ini memang seperti itu adanya. Laksa merasa bersalah sekarang, jika saja Deon, adik laknatnya itu tidak seenaknya dan berbuah hal yang mekampaui batas, mungkin Lika tidak akan merasakan hal ini. Jika saja Laksa lebih peduli pada adiknya dan lebih mengawasi Deon, hal ini tidak akan pernah terjadi, semua hanya karena kesalahannya yang terlalu percaya dengan Deon. Laksa masih memilih diam, dia membiarkan Lika larut dalam kesedihannya, ada hal yang begitu perih terasa di dalam hatinya. Lika yang malang, andai dia bisa berbuat sesuatu untuk kebahagiaan tanpa harus ada penolakan dari Lika, maka Laksa tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu. Hanya saja, Lika selalu berpegang teguh pada pendiriannya, dan Laksa begitu sulit untuk masuk kedalam kehidupan Lika. "Kak ...." Perlahan Lika mengangkat wajahnya, bola indah yang memancarkan kesedihan itu jelas terlihat, Laksa ingin menghapus bulir yang membasahi wajah Lika, hanya sja dia tidak ingin bertindak terlalu jauh, Laksa tidak ingin membuat Lika merasa tidak nyaman, dan yang laksa lakukan hanya membalas tatapan Lika dengan tenang. "Kalo seandainya aku nggak ada? Apa mungkin Fira nggak akan mengalami hal ini? Apa mungkin Fira akan baik-baik saja? Aku ngerasa, aku cuma beban untuk Fira." Laksa tertegun, setelahnya dia menggeleng, dadanya begitu sesak melihat Lika terlihat begitu hancur di hadapannya. "Kamu nggak boleh ngomong kayak gitu, ini semua udah takdir, tuhan udah menyiapkan kisah umatnya, jadi kita nggak bisa menyalahkan siapapun di sini. Siapa saja bisa mengalami hal yang tidak kita inginkan. Percayalah Fira tidak akan pernah menyalahkan kamu." Laksa menjeda kalimatnya, dia menatap dua manik indah yang selalu menarik perhatiannya itu. "Kita harusnya berdoa, meminta keselamatan untuk Fira, berdoa agar Allah ngasih yang terbaik untuk Fira." Lika menunduk, menyembunyikan wajahnya dari Laksa, apa yang pria itu katakan memang benar, Lika tidak seharusnya larut dalam kesedihan dan menyalahkan dirinya atas apa yang menimpa sahabatnya. "Lagian, Fira nggak akan suka liat kamu nangis kayak gini, dia bakal sedih dan marah sampai tau kamu menyiksa diri dan nyiksa bayi di dalam kandungan mu." Lika mengangguk kecil, apa yang di katakan Laksa memang benar, Fira akan marah dan memaki dirinya jika saja tahu apa yang di lakukan Lika saat ini, Fira tidak pernah ingin melihat Lika bersedih karenanya. setelahnya dia menghapus air mata dengan kasar dan memilih menenggelamkan wajahnya di dalam pelukan Laksa. Ada sesuatu yang aneh saat Laksa memeluknya tadi, buih nyaman, dan aroma yang begitu menenangkan membuat Lika seolah enggan untuk menjauh. Biarkan, setidaknya bukan Lika yang memeluk, tapi Laksa yang lebih dahulu membawa dia dalam dekapannya. Jadi jangan salahkan Lika jika dia memilih tempat nyaman itu untuk meluruhlan kesedihannya. Meratapi nasib yang seolah tidak pernah berpihak kepadanya. Lika benci dan ingin berteriak saat merasa nasib buruk seolah tertawa di setiap kesedihannya. Hanya saja sekarang bukan waktu yang pas untuk melakukan itu, ini rumah sakit dan Lika tidak pantas untuk membuat kegaduhan. Laksa menumpukan dagunya di atas kepala Lika, matanya terpejam mendengan semua isakan pilu yang keluar dari muluk Lika, dia hanya bisa terdiam dan membiarkan Lika meluruhkan segalanya. Hingga Lika berhenti, walau ada isakan kecil yang keluar, tapi dari napas yang teratur menandakan jika wanita itu terlelap di dalam pelukannya. Laksa tahu, Lika mungkin saja lelah dengan semua berita yang dia terima hari ini, belum lagi tadi dia mengunjungi acara di kafe milik tante Laksa, dan jelas untuk ibu hamil seperti Lika, hal itu membuat dia merasa kelelahan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD