17. Menjelang Malam

1481 Words
Zita masih saja menangis di dalam kamar mandi rumahnya. Dadanya masih sesak akan ucapan pedas dari Rio ketika di kantin tadi pagi. "Kenapa gue sakit? Harusnya gue kuat dong, ini kan pilihan gue." Zita mengusap air matanya yang terus mengalir dari tadi. Bahkan kedua matanya sudah bengkak karena saking lamanya menangis. Kepalanya pun sudah terasa pusing. "Gue harus kuat! Gue yakin kalau Kak Rio bakal jatuh cinta ke gue suatu saat nanti." Zita mencoba tersenyum di depan cermin kamar mandinya. "Gue harus bertahan sampai gue benar-benar merasa lelah." lagi-lagi Zita menghapus air matanya. Zita membasuh wajahnya menggunakan air keran sampai berkali-kali. Zita tak ingin kelihatan lemah di depan Rio. "Lo kuat, Zita!" sentak Zita pada dirinya sendiri. Zita kembali mencoba tersenyum lalu keluar dari kamar mandi kamarnya. Zita menatap pada ranjang yang selalu dijadikan tempat tidur Rio bersama wanita berbeda-beda setiap kali Rio pulang. Air mata Zita kembali turun lagi. Namun dengan cepat, Zita langsung menghapus air matanya dan kembali berusaha tersenyum. "Lebih baik gue bereskan kamar dan masak buat makan malam." putus Zita mencoba tersenyum. Sungguh buta lelaki itu, karena tak mampu melihat ketulusan cinta dari gadis yang memiliki paras secantik Zita. *** Devi berjalan gontai di sisi jalan sambil menundukkan kepalanya. Devi terus berjalan tak tahu arah. Bruk! Devi tersungkur ke belakang ketika merasa menabrak sesuatu. "Aw..." rintih Devi ketika pantatnya mencium aspal. Devi mencoba bangkit dari jatuhnya. "Hei... Nona manis." Devi mendongakkan kepalanya ke arah sumber suara. Tubuh Devi menegang ketika melihat siapa yang ditabraknya tadi. "Kenapa lo kaget begitu?" tanya lelaki di depannya. "Kak Nofal ngapain di situ?" tanya Devi tak mengerti dan cepat-cepat menghapus air matanya. "Gue mengikuti lo dari tadi. Lo mau ke mana? Dan kenapa lo nangis?" Nofal memegang kedua pundak Devi yang sedikit bergetar. "Gue tidak kenapa-napa kok, Kak." Devi mengalihkan pandangannya dari Nofal dan mencoba lepas dari tangan Nofal. "Tidak usah bohong deh." Nofal menarik Devi menuju mobilnya dan membukakan pintu penumpang untuk Devi. Nofal mengelilingi mobilnya lalu masuk ke kursi kemudi. "Lo kenapa? Cerita ke gue, Dev." Nofal menarik kedua tangan Devi, kini Nofal menggenggam jemari Devi seerat yang dia bisa. "Gue tidak kenapa-napa kok, Kak. Memangnya gue kenapa?" Devi mencoba tersenyum pada Nofal. "Jangan bohong Dev, lelaki tadi siapa?" tanya Nofal langsung ke intinya. "Bukan siapa-siapa kok, Kak." "Mantan?" Nofal menaikkan sebelah alisnya ke atas. "Bukan Kak, kan Kak Nofal pacar pertama gue." jawab Devi sambil tersenyum manis. "Benar? Tidak bohong?" tanya Nofal menggoda. "Iya, Kak.” mendengar Nofal menggodanya, mau tak mau Devi ikut tersenyum malu-malu. "Lo mau menemani gue tidak ke suatu tempat?" tanya Nofal membuat Devi mengerutkan keningnya. "Ke mana?" tanya Devi was-was. "Ke kelab." jawab Nofal membuat Devi memelototkan matanya. "Tidak! Tidak mau!" tolak Devi cepat sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Bentar doang Dev, gue tidak akan macem-macem kok." bujuk Nofal membuat Devi ragu. "Tapi gue takut lo macam-macam." "Gue sayang sama lo, Dev." Nofal semakin mengeratkan genggamannya pada tangan Devi. "Ya sudah, tapi bentar saja." putus Devi tak tega melihat wajah melas Nofal. "Iya bentar kok." Nofal mengacak-acak ubun-ubun Devi. *** Sinah membiarkan saja Ikbal terus menggenggam tangan kanannya. Toh, berontak pun Sinah tak mampu. Ikbal akan semakin mengeratkan genggamannya apabila Sinah mencoba melepaskan tangannya. "Kita mau ke mana sih, boy?" tanya Sinah bernada kesal. "Jangan disingkat dong, sayang. Kalau mau manggil boyfriend ya panggil saja." Ikbal menolehkan wajahnya menghadap ke Sinah yang berjalan di sampingnya. "Dih najis, siapa yang mau manggil lo boyfriend. Boy itu singkatan dari playboy." jawab Sinah sengit. "Terima kasih sayang, gue suka sama panggilannya." Sinah rasanya ingin muntah ketika Ikbal tersenyum sok manis di depannya. "Tidak usah sok-sokan manis deh." Sinah bergidik ngeri melihat senyuman Ikbal. "Gue kan memang manis, makanya lo mau jadi pacar gue." tangan kanan Ikbal menyempatkan sebentar untuk mencubit hidung Sinah. "Apaan sih." Sinah menangkis tangan Ikbal menggunakan tangan kirinya. Sinah pun secara refleks langsung menjauhkan kepalanya dari Ikbal. "Lo manis banget sih." goda Ikbal tak sedikit pun mempan untuk Sinah. "Ish... Harus gue bilang beberapa kali sih. Tidak usah sok-sokan manis di depan gue." "Hahaha... Ya sudah, duduk yuk." Ikbal menarik Sinah menuju salah satu tempat duduk di luar area pasar malam. "Kita mau ngapain sih ke sini, boy?" tanya Sinah lagi. Sungguh, rasa penasarannya sangat-sangat tinggi. "Naik wahana yang ada." jawab Ikbal seadanya. Mereka saat ini memang berada di sebuah pasar malam besar. Sinah sendiri bingung kenapa Ikbal mengajaknya ke tempat seperti ini. "Tidak nongkrong lo ke kelab sama teman-teman sedeng lo itu?" tanya Sinah menyiniskan suaranya dan memicingkan matanya melirik Ikbal. "Gue ingin jalan berdua sama cewek gue." jawab Ikbal membuat Sinah jengah dengan kata-kata cewek gue. "Ish... Najis gue mau jadi cewek lo." desis Sinah merasa jijik. "Buktinya lo sudah jadi cewek gue kan, jadi nikmati saja." Ikbal mencium punggung tangan Sinah. Sinah mencoba menjauhkan tangannya dari bibir Ikbal sekuat tenaga. Namun apalah daya seorang perempuan. Tenaga lelaki memang lebih kuat darinya. "Kita naik biang lala yuk." ajak Ikbal berdiri lalu menarik tangan Sinah menuju petugas penjual tiket. *** Ulfa merasakan perih ketika memakan makan malamnya. Bibirnya masih sangat perih karena tamparan Rio tadi pagi. Bahkan sudut bibirnya terlihat membiru. Ulfa tak bisa membayangkan bagaimana nasib Zita ketika di rumah. Ulfa merasa kasihan karena Rio sangat kasar pada Zita. "Gue masih lebih beruntung dari pada Zita. Setidaknya Kak Refi tidak pernah main fisik ke gue. Paling Kak Refi cuma bentak doang." ujar Ulfa sambil terus mengaduk-aduk makan malamnya. "Atau mungkin belum?" tanya Ulfa menatap piringnya hampa. Ulfa melihat nasi dalam piringnya tak ada niat sedikit pun untuk melanjutkan makannya. Nafsu makannya hilang seketika karena rasa perih di sudut bibirnya. Cklek! Ulfa membiarkan saja ketika ada orang yang membuka pintu rumah Refi. Ulfa yakin, itu pasti Refi. "Hahaha... Ini rumah siapa, Ref?" "Rumah gue." Ulfa samar-samar mendengar suara orang berbicara dari ruang tamu. Yang membuat Ulfa tambah heran, itu suara Refi dengan seorang wanita. Ulfa bangkit dari duduknya dan berjalan menuju di mana arah sumber suara itu. "Kak Refi." panggil Ulfa lirih. Ulfa dapat melihat jelas Refi membalikkan tubuhnya menghadap ke arah Ulfa. Wanita yang memakai dress super seksi berwarna merah dalam rangkulan Refi pun ikut membalikkan badannya. Wanita itu menatap heran ke arah Ulfa. "Siapa dia, Ref?" tanya wanita itu sambil menyandarkan kepalanya ke pundak Refi. "Cuma sepupu." jawab Refi terus mencium bibir wanita itu secara mesra. Hati Ulfa terasa teremas melihat pemandangan di depannya. Meskipun Ulfa belum mencintai Refi. Namun rasa sakit di hatinya tetap ada ketika melihat suaminya sedang b******u dengan wanita lain tepat di depan matanya. "Ke kamar yuk." ajak Refi setelah melepaskan pagutan bibirnya dengan bibir wanita itu. Hati Ulfa sakit melihat pemandangan yang tak sepantasnya dia lihat. Namun pandangan Ulfa tak mampu untuk beralih dari kegiatan Refi saat ini. Ulfa masih terus menatap ke larah Refi dan wanita itu. Air mata Ulfa sudah luruh seketika, dadanya terasa sesak. Ulfa mengusap air matanya cepat ketika Refi menolehkan kepalanya ke arah belakang. Lebih tepatnya ke arah Ulfa. Ulfa dapat melihat jelas, Refi mengangkat jari telunjuknya membentuk huruf satu. Ulfa mengingat-ingat apa arti dari jemari Refi. Ulfa masih memandang mereka sampai mereka masuk ke kamar milik Refi. "Ah, gue ingat. Satu, dilarang ikut campur dalam urusan pribadi dalam hal apa pun." ucap Ulfa mengingat perjanjiannya dengan Refi di sebuah kafe tepat sehari sebelum mereka menikah. "Yah, gue tidak boleh ikut campur." Ulfa menggeleng-gelengkan kepalanya sendiri sambil terus melangkah menuju kamarnya yang bersebelahan dengan kamar Refi. Ulfa menatap sekilas pintu kamar milik Refi. Kenapa hati Ulfa sakit ketika mengingat bahwa di dalam kamar suaminya bukan hanya ada Refi seorang. Melainkan ada wanita lain yang tadi dipeluk mesra oleh Refi. Ulfa menggeleng-gelengkan kepalanya sendiri, mencoba menepis semua kegundahan dalam hatinya tentang apa yang akan dilakukan oleh kedua insan beda jenis di dalam satu kamar seperti sekarang ini. "Jangan nangis, Ul." Ulfa menghapus air matanya sendiri lalu berjalan menuju kamarnya. Ulfa membaringkan tubuhnya pada ranjang miliknya. Ulfa menyibak gorden yang memang sengaja didesain menjadi pembatas ranjang. Ulfa menatap gelapnya malam dengan penuh kerinduan dan kepahitan. Ya rindu, Ulfa rindu suasana rumahnya yang selalu saja terjadi canda tawa setiap malam. Mereka akan berkumpul di ruang keluarga dan akan membicarakan hal-hal yang membuat mereka tertawa. Kepahitan, karena malam menjadi saksi pertunangannya dengan Refi yang dadakan dan karena paksaan. Malam pulalah yang membuat Ulfa menangis untuk pertama kalinya karena Refi di saat Refi melemparkan bantal ke arah wajahnya tepat pada malam pertama mereka menikah. Malam pulalah yang menjadi saksi bisu setiap Ulfa menangis meratapi takdir hidupnya. Dan kini adalah malam yang paling menyakitkan karena Ulfa harus merelakan suaminya tidur dengan wanita lain dan b******u di atas ranjang yang tidak boleh dinaiki oleh Ulfa. "Meski pun gue tidak cinta sama lo, Kak. Tapi gue sakit lihat lo bawa cewek lain ke kamar lo." Ulfa menekan-nekan dadanya yang terasa sesak. "Biarkanlah malam yang menjadi saksi atas sakitnya perasaan ini." Ulfa menutup gordennya dan langsung memejamkan matanya. Ulfa ingin berpikir masa bodoh atas apa yang diperbuat oleh Refi kali ini. *** Next...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD