19. Pilu

1679 Words
Zita terkapar lemas di lantai kamar mandi. Tubuhnya terlihat menggigil, bibirnya sudah membiru, wajahnya pun pucat pasi. Cklek! Rio membuka pintu kamar mandi. Matanya masih setengah terpejam saat ini. Bahkan jalannya pun masih sempoyongan dan belum sadar betul. Dugh! Rio terdiam ketika kakinya tak sengaja menendang sesuatu di bawah sana. Rio menundukkan kepalanya menghadap ke bawah. "Ish.... Cewek ayam ini lagi." gerutu Rio kesal. "Heh... Ayam!" Rio menendang-nendang tubuh Zita menggunakan kaki kanannya. "Heh bangun! Lo sudah mati apa bagaimana?!" teriak Rio tepat di dekat telinga Zita. Zita terbangun dan gelagapan melihat Rio berada di sampingnya. Zita langsung berdiri, namun baru juga berdiri tubuh Zita langsung ambruk lagi. "Keluar lo! Gue mau mandi." titah Rio tak berperasaan. "I-iya... Kak..." jawab Zita lirih. Zita merangkak perlahan untuk bisa keluar dari kamar mandi. "Ish... Lama banget sih lo, ayam" geram Rio kesal. "Aw... Kak Rio sakit." rintih Zita ketika Rio menarik paksa rambut Zita sampai depan pintu kamar mandi. "Lama banget sih lo!" bentak Rio menghempaskan tubuh Zita kasar. "Menyusahkan saja." umpat Rio tajam dan kembali memasuki kamar mandi. Zita menangis lagi dan lagi. Tidak adakah hari tanpa tangisan untuknya? Rasanya sangat sakit jika mengingat bahwa dirinya tak bisa membenci lelaki yang sudah membencinya. Lelaki yang masih sangat dia cintai. Zita berusaha berdiri untuk sampai ke lemari dan mengambil pakaian bersihnya. Zita akan berusaha sekuat mungkin untuk membersihkan diri di kamar mandi bawah. "Gue harus kuat." ucap Zita tegas pada dirinya sendiri. Zita berusaha sekuat mungkin untuk sampai ke lantai dasar. Tubuhnya masih sempoyongan untuk diajak berjalan. "Gue yakin kalau Kak Rio bakal cinta ke gue suatu saat nanti. Gue cuma butuh bersabar." lagi-lagi Zita hanya bisa meyakinkan dirinya sendiri dan berusaha tersenyum meski sakit melanda hati dan tubuhnya. Menurut Zita, semuanya butuh pengorbanan. Tak ada yang instan, begitu juga dengan sebuah rasa. Hati manusia tak bisa dipaksa. Maka dari itu, Zita butuh kesabaran ekstra untuk membuat Rio bisa melihatnya sebagai seorang wanita. Ya, benar-benar wanita yang nantinya akan dicintai oleh Rio. Bukan lagi wanita rendahan yang selalu diucapkan oleh Rio. "Lo harus kuat, Ta. Demi Kakek Hans, Kakek sudah berharap banyak ke lo. Dan yang paling penting, buat hati lo sendiri. Lo sudah terlalu jauh melangkah. Lo sudah merelakan tubuh lo penuh dengan luka siksaan. Lo sudah berkorban dengan hati lo yang apa kabar sakitnya. Jadi lo tidak boleh menyerah sampai di sini!" tekat Zita kuat menyemangati dirinya sendiri. Zita masih terus berusaha tersenyum di sela-sela tangisan pada pagi harinya ini. Zita tak ingin ada kesedihan lagi di hari-harinya bersama Rio. Maka dari itu, Zita harus kuat menghadapi cobaan ini. Bukankah Tuhan selalu memberi cobaan setara dengan kemampuan hambanya? Jadi kenapa Zita harus menyerah jika Zita yakin kalau di ujung sana akan ada kebahagiaan untuknya? "Lo cantik, Ta. Tidak ada cowok yang tidak suka sama lo. Begitu juga dengan Kak Rio. Semua ini hanya masalah waktu. Biarkanlah waktu yang menjawab semuanya." Zita tersenyum di depan cermin toilet rumahnya. Zita merasa tenaga dan semangatnya kembali pulih setelah berhasil menyemangati dirinya sendiri. Meski kedua pelipisnya masih sakit karena sobekan kecil gara-gara terkena lemari dan bathup semalam. Ditambah kedua sudut bibir Zita yang sobek karena tamparan keras dari Rio. Zita akan mengobatinya sendiri setelah melakukan ritual mandinya di pagi hari ini. *** Rio selesai dengan acara mandinya. Pagi ini tujuan Rio hanya satu sebelum berangkat ke kampus, ke tempat di mana detektif Ruck itu bekerja. "Awas saja kalau tidak becus." dumel Rio sambil memakai kemeja kotak-kotak warna merah hitamnya. "Gue pecat semuanya." Rio masih mendumel sendiri di dalam kamarnya. Tak ingin berlama-lama, Rio langsung merapikan rambutnya dan menatanya sedemikian apik. Rio menyambar kunci motor, jaket, ponsel, dompet dan terakhir jam tangannya. Rio menuruni tangga sambil memakai jam tangannya. Jaketnya masih tersampir di pundaknya. Tak sengaja ketika sampai di tangga paling bawah, Rio berpapasan dengan Zita. "Kak Rio mau berangkat? Tidak sarapan dulu? Biar aku buatkan, Kak." tanya sekaligus tawar Zita yang membuat Rio semakin geram. Rio melangkah ingin meninggalkan Zita dan tak menghiraukan gadis itu. "Kak, tidak bawa mobil?" tanya Zita ketika melihat Rio menyambar helmnya. "Kak Rio." panggil Zita membuat Rio menghentikan langkahnya. "Lo bisa diam tidak sih hah? Budek tahu tidak ini telinga gue dengar ocehan lo di pagi hari." sembur Rio tak berperasaan. Rio berlalu meninggalkan Zita yang mematung di tempatnya sambil menekan-nekan dadanya yang terasa sakit. Lagi-lagi lelaki itu membuat goresan baru di hatinya. Tapi tak apa, Zita yakin kalau lelaki itulah yang nantinya akan mengobati luka demi luka di hatinya. Zita berusaha tersenyum sambil menaiki tangga. Zita akan berangkat ke kampus hari ini untuk bertemu dengan ketiga sahabatnya. Hanya dengan merekalah Zita bisa tertawa. *** Sinah semakin dibuat kesal oleh Ikbal karena pagi ini Ikbal kembali datang ke rumahnya di saat adzan subuh sedang berkumandang. Sungguh mengganggu kenyamanan seorang Sinah. Pagi ini Ikbal ikut sarapan bersama kedua orang tua Sinah di meja makan. Kedua orang tua Sinah sangatlah welcome dengan Ikbal. "Heh kadal, ngapain sih lo sudah ada di sini?" tanya Sinah menggebu-gebu. Bahkan tak tanggung-tanggung. "Sayang, tidak boleh ngomong kasar dong sama Ikbal. Tidak sopan." tegur mamanya membuat Sinah menggeram kesal. "Kan aku mau jemput kamu, Nah. Kaki kamu masih sakit kan habis terkilir semalam?" jawab Ikbal bersikap manis. Ya, Ikbal memang selalu menggunakan aku-kamu jika di hadapan kedua orang tua Sinah. Berbeda jika sedang di tempat umum atau berdua. Ikbal akan menggunakan lo-gue khas gaya bicaranya. "Ya sudah sih, Nah. Ikbal kan sudah baik, sudah perhatian. Mending sekarang kamu sarapan biar ke kampusnya tidak telat." titah papanya semakin membuat Sinah kesal. "Iya-iya." jawab Sinah lalu menyendokkan tiga centong nasi goreng buatan mamanya. Ikbal sampai melotot ketika melihat porsi makan Sinah yang tak kira-kira luasnya, eh banyaknya. "Biar tahu rasa, biar ilfeel dia sama gue. Biar tidak gangguin hidup gue lagi lo, Bal." Batin Sinah puas karena melihat tampang cengo dari Ikbal. "Tumben kamu makannya banyak, Nah?" "Lagi menghadapi kecoak got, Ma. Jadi butuh tenaga ekstra." jawab Sinah asal. Ikbal hanya bisa menahan emosinya ketika mendengar Sinah mengatainya kecoak got. *** Ulfa memakan sarapannya sendiri di meja makannya. Pagi ini Ulfa hanya membuat dua piring salad buah dan dua gelas s**u putih. "Thank ya untuk semalam." Ulfa bisa mendengar jelas suara Refi yang berbicara pada wanita yang dibawa Refi ke kamarnya semalam. Namun, sebisa mungkin Ulfa menahan dirinya untuk tidak menengok ke belakang. Ulfa masih berpura-pura menikmati salad buahnya. Meski nafsu makannya sudah hilang entah ke mana saat mendengar suara Refi barusan. "Sama-sama, Ref. Kalau butuh lagi, tinggal contact saja." balas wanita itu. "Bisa diatur." Kini Refi dan wanita itu sudah sampai di depan pintu utama. Refi masih menggamit mesra pinggang wanita itu. Ulfa memainkan ponselnya sambil terus mengunyah. Ulfa tak ingin terlihat lemah di depan Refi. Krit... Terdengar suara kursi yang digeser. Ulfa dapat mencium aroma maskulin dari tubuh Refi yang duduk di sebelahnya. "Lo tidak mau tanya siapa wanita tadi dan ngapain saja gue semalam sama dia di dalam kamar berdua?" Refi mengangkat kepalanya. Ulfa kaget ketika melihat kepala Refi tepat berada di samping wajahnya. Ulfa memundurkan wajahnya sedikit demi sedikit. "Bukan urusan gue." jawab Ulfa mencoba biasa saja. Refi memundurkan tubuhnya ke tempat semula dan mulai meneguk air putihnya. Tangan Refi kini sedang mengaduk-aduk salad dalam mangkuknya dan mulai memakannya. "Eh..." Ulfa kaget ketika merasakan tangan Refi menarik dagunya dan mendekatkan wajahnya ke wajah Refi. "Lo ma..." "Diam." titah Refi ketika mendengar Ulfa akan bertanya. "Masih sakit?" tanya Refi sambil melepaskan tangannya dari dagu Ulfa. "Apaan?" tanya Ulfa sedikit gugup. "Bibir lo-lah." sahut Refi dengan nada sinisnya. "Mendingan." jawab Ulfa mencoba mengontrol kesaltingannya karena Refi tadi memegang dagunya dan menatap wajahnya begitu intens. "Gue kasih obatnya mau?" tawar Refi membuat Ulfa menghentikan acara mengunyahnya sebentar. "Apaan?" tanya Ulfa kepo. Bibirnya memang masih terasa sakit. "Nih." Mulut Ulfa menganga tak percaya akan jawaban Refi. Lelaki itu menunjuk bibirnya sendiri sambil menaik turunkan alisnya berulang kali. "Bagaimana? Mumpung lagi baik hati nih gue." tanya Refi lagi dengan senyum mesumnya. Plak! "Otak lo geser, Kak." Ulfa memukul lengan Refi lumayan kencang. "Sakit oon!" ringis Refi kesal. "Lo sih mesum." dumel Ulfa kembali menyendokkan salad ke dalam mulutnya. "Wajar kan gue m***m ke bini gue sendiri." Refi pun menyibukkan dirinya menggeluti salad buatan Ulfa yang terasa nikmat. "Apaan? Siapa bini lo? Sorry ya gue tidak sudi lo bilang gue bini lo." sembur Ulfa memelototi Refi garang. "Alah mengaku saja, lo senang kan bisa jadi istri seorang Refi. Lelaki tampan dengan sejuta pesona ini." goda Refi. "Najis." ujar Ulfa tajam. Bahkan Ulfa mendesiskan di akhir kata. "Ul." panggil Refi. "Apaan?" tanya Ulfa sinis. "Ada yang kelupaan, Ul." ucap Refi tiba-tiba. Ulfa menengokkan wajahnya menghadap Refi dan menaikkan sebelah alis kanannya. "Gue belum dapat morning kiss dari cewek tadi." ucap Refi membuat Ulfa harus mengusap-usap dadanya untuk ke berapa kalinya. "Berhubung lo istri gue. Gue mau minta morning kiss dari lo." "Hah?!" kaget Ulfa refleks dengan wajah cengonya menatap Refi yang sudah menaik turunkan alisnya. "Bentar kok, paling cuma semenit." ucap Refi lagi. "Hah? Semenit?!" kaget Ulfa lagi masih dengan tampang bloonnya. "Lagian tidak dosa ini, Ul. Ibadah malah." Refi mendekatkan wajahnya ke wajah Ulfa yang kini sudah mulai gugup. "Re... Ref... Lo... Lo... Mau apa?" tanya Ulfa gelagapan sendiri sambil memundurkan tubuhnya.  "Mau semenit." jawab Refi semakin gencar mengerjai Ulfa. Ulfa menarik napasnya dalam-dalam dan memejamkan matanya sebentar. Ulfa mengumpulkan seluruh keberaniannya kali ini. Ulfa berusaha untuk tidak takut. Refi sudah tersenyum menang karena melihat Ulfa yang memejamkan matanya rapat-rapat. Refi sudah ingin tertawa kali ini, tapi masih diam dan ingin mengerjai Ulfa lebih jauh. "Siap-siap ya, Ul. Satu... Dua... Tig..." Bruk! "Aw..." "Mampus! m***m sih lo jadi orang." teriak Ulfa puas karena bisa memukul kepala Refi menggunakan tas selempangnya. "Sakit oon!" umpat Refi kesal sambil mengusap-usap kepalanya yang nyut-nyutan. "Buahaha... Rasakan!" tawa Ulfa menggelegar di setiap penjuru ruangan. Ulfa meraih tas selempangnya dan berjalan meninggalkan Refi menuju pintu utama. Ulfa akan berangkat ke kampus pagi ini menggunakan mobilnya sendiri. Kemarin Ulfa merengek meminta mobilnya diantarkan ke rumah Refi. "Sialan tuh cewek." umpat Refi masih di meja makannya. "Awas kalau sampai lo beneran jatuh cinta ke gue. Gue siksa batin lo seumur hidup." Refi mengepalkan tangannya kuat-kuat. *** Next...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD