Refi sampai di rumah kediaman Immanuel. Refi sebenarnya heran, kenapa Airin memintanya untuk datang ke rumah.
"Ada apa, Oma?" tanya Refi bingung.
"Eh, Refi sudah datang." Refi bertambah bingung kenapa ada Naira di rumah kediaman Immanuel.
"Kok ada di sini, Ma?" tanya Refi menyalami tangan Naira sopan.
"Kita akan mengadakan kejutan buat Ulfa, Ref." jawab Airin membuat Refi bingung.
"Iya Ref, besok Ulfa ulang tahun yang ke delapan belas tahun. Makanya kami kumpul di sini buat bikin brownies kesukaan Ulfa. Pasti akan lebih indah dan berkesan kalau yang mengucapkan pertama kalinya itu kamu, Ref. Suaminya." jelas Naira membuat Refi manggut-manggut saja.
"Oh, iya mengerti. Terus rencananya apa?" tanya Refi kepada kedua wanita beda usia di depannya ini.
"Nanti malam kita ke rumah kalian bareng-bareng dan kita ucapkan selamat ulang tahun buat Ulfa." sahut Airin.
"Wah... Ide yang bagus, Oma." sahut Refi dengan wajah berbinar.
"Kamu sudah menyiapkan kado buat Ulfa, Ref?" tanya Airin.
"Kado dari aku kan pernikahan kami berdua, Oma. Refi rasa itu kado terindah buat Ulfa." jawab Refi membuat hati Naira terenyuh.
"Terima kasih ya, Ref. Sudah sayang sama putri, Mama yang manja itu." Naira memeluk Refi layaknya putranya sendiri.
"Iya Ma, terima kasih juga sudah percaya sama aku untuk menjaga putri Mama." balas Refi dalam pelukan Naira.
"Sama-sama sayang." Naira melepaskan pelukannya dan mengusap lembut pelipis Refi.
"Aku mau ke kamar bentar deh." pamit Refi menuju kamarnya di rumah keluarga Immanuel.
"Iya, istirahat sana." Airin mengusap lembut puncak kepala Refi.
***
Ulfa terus melemparkan makanan ikan pada kolam ikan yang memang dibuat di samping rumah milik Refi.
"Bosan gue, ingin main sama Zita, Devi sama Sinah juga." Ulfa menumpukan dagunya pada lutut. Tangannya masih sibuk melempar-lempar makan ikan ke kolam.
Drt... Drt... Drt...
Ulfa menengokkan kepalanya ke arah ponselnya yang bergetar. Ulfa sedikit heran kenapa lelaki itu menelponnya. Dengan ogah-ogahan Ulfa menerima sambungan telefon dari Refi untuknya.
"Hallo." ucap Ulfa seperti biasa.
"Lo ultah?"
Ulfa mengernyit mendengar pertanyaan dari Refi.
"Memang kenapa?" tanya Ulfa penasaran.
"Tidak usah GR, gue cuma mau tanya doang. Keluarga gue sama keluarga lo lagi merencanakan sesuatu." ucap Refi memberi tahu.
"Merencanakan sesuatu? Apaan?" tanya Ulfa bingung.
"Mereka bakal bikin kejutan ultah buat lo nanti malam. Jadi, lo tidur di kamar gue dan di atas ranjang gue. Biar nanti kalau pada datang tidak curiga." terdengar suara Refi yang memerintah dari seberang.
"Terus?"
"Ya lo harus ikutan aktinglah."
"Sudah? Itu doang?"
"Satu lagi, nanti gue bakal tanya lo mau kado apa dari gue. Terus lo jawab kado paling indah ya pernikahan kita. Mengerti kan lo cewek manja?"
"Hem, mengerti." jawab Ulfa ogah-ogahan.
Bep!
Sambungan telefon antara mereka pun akhirnya terputus. Ulfa mendesah pasrah ketika meletakkan batang ponsel ke lantai dekat badannya.
"Tidak jadi kejutannya, gue sudah tahu." Ulfa menatap kosong ke arah air ikan di depannya.
"Tapi setidaknya gue tahu, mereka peduli sama gue." Ulfa tersenyum kecil mengingat keluarganya yang selalu hangat ditambah sekarang keluarga Refi yang menyayanginya.
"Hah, sudahlah. Gue tidak perlu meratapi nasib. Ini sudah takdir dari Tuhan." Ulfa mengembuskan napas beratnya.
***
Devi menatap tangan kanannya yang terus digenggam oleh Nofal selama mereka berjalan-jalan ke mall.
"Kamu mau apa, Dev?" tanya Nofal membuat Devi beralih menatapnya.
"Maksudnya?" ranya Devi tak mengerti.
Nofal tersenyum menatap Devi yang tampak kebingungan atas pertanyaannya.
"Kamu mau belanja apa?" tanya Nofal lebih memperjelas.
"Oh... Hehehe... Tidak mau apa-apa." jawab Devi hanya nyengir kuda.
"Sudah bilang saja, biar aku yang bayar." Nofal menepuk dadanya sendiri seolah-olah dirinya adalah pahlawan untuk Devi.
"Beneran, Kak Nofal. Aku tidak mau apa-apa. Lagi pula kalau aku ingin belanja, pasti sama Mama." jawab Devi manis nan lembut.
"Yakin?" tanya Nofal memastikan.
"Iya yakin. Kak Nofal sendiri ngapain ngajak jalan-jalan ke mall?" tanya Devi bingung.
"Kirain kamu mau belanja barang branded. Tapi tidak, ya sudah deh kita makan saja." Nofal menarik Devi menuju ke salah satu restaurants di mall itu.
"Kak." panggil Devi pelan.
"Ya, apa?" Nofal menengokkan kepalanya mengarah ke Devi.
"Boleh tidak manggilnya lo-gue saja. Takutnya entar malah keceplosan aku-kamu di depan yang lainnya." pinta Devi penuh harap.
Terlihat Nofal sedang menimang-nimang permintaan Devi.
"Ya sudah deh, lo-gue juga tidak apa-apa." jawab Nofal membuat Devi tersenyum lega.
"Terima kasih ya, Kak."
"Iya cantik."
Devi terpaku ketika Nofal mengacak-acak rambutnya. Jantung Devi berdetak dua kali lebih cepat.
Bruk!
"Aw..." Devi terjatuh ketika ada seseorang tak sengaja menabraknya dari arah seberang.
"Devi!" pekik Nofal kaget lalu berlutut di depan Devi.
"Maaf, maaf Mbak. Saya tidak sengaja." ucap orang itu disertai wajah bersalahnya.
"Kalau jalan pakai mata dong. Pacar saya jadi sakit kan!" bentak Nofal kepada orang itu.
"Iya Mas maaf, maaf saya tidak sengaja Mbak." ucap orang itu lagi.
"Sini gue bantu berdiri, Dev." Nofal memegang kedua tangan Devi dan membantunya untuk berdiri.
"Mbak tidak apa-apa kan?" tanya orang itu ketika Devi sudah berhasil berdiri.
"Terima kasih, Kak." ucap Devi menatap Nofal.
"Saya tidak apa-apa kok." jawab Devi menatap orang yang sudah menabraknya.
"Maaf ya." ucapnya lagi.
"Iya." Devi hanya bisa tersenyum menatap wajah orang itu.
"Terima kasih, kalau begitu saya permisi. Sekali lagi maaf." orang itu langsung meninggalkan Devi dan Nofal begitu saja.
"Aw..." rintih Devi ketika orang yang menabraknya sudah pergi.
"Kenapa, Dev?" tanya Nofal berpura-pura khawatir.
"Kaki gue terkilir deh kayaknya, Kak. Sakit banget." jawab Devi merasakan pergelangan kakinya sakit luar biasa.
"Tuh kan, lagian lo kenapa sih malah memaafkan itu orang? Dibiarkan pergi lagi." omel Nofal.
"Sudah, jangan dendam jadi orang."
"Ya sudah ayo gue gendong."
"Eh... Kak Nofal." Devi kaget ketika dengan tiba-tiba Nofal menggendongnya begitu saja di depan umum.
"Kak Nofal turunin, malu dilihatin orang." rengek Devi dengan wajah merah seperti tomat menahan malu. Pasalnya sudah banyak pasang mata yang menatap mereka saat ini.
"Sudah diam, kaki lo lagi keseleo. Nanti kalau dipaksa buat jalan malah yang ada tambah sakit." Nofal masih dengan santainya menggendong Devi ala bridal style menuju di mana mobilnya diparkirkan.
Devi tersipu mendengar jawaban Nofal. Andaikan Devi tahu kalau selama ini Nofal hanyalah mempermainkannya dan berpura-pura, maka hancurlah hatinya saat itu juga. Sayangnya, Nofal terlalu pintar untuk menutupi semua sandiwaranya.
***
"Bagaimana? Penawaran yang menggiurkan bukan?" tanya Ikbal menatap remeh Sinah yang kesal.
"Gue tidak mau." tolak Sinah mentah-mentah.
"Ok, berarti lo lebih memilih semuanya tahu." Ikbal memutar-mutar flashdisk di tangannya seolah-olah sedang mengancam Sinah.
"Bisa tidak sih lo tidak menindas gue?" tanya Sinah dengan kekesalannya.
"Siapa yang menindas? Gue cuma kasih penawaran. Dan lo harus tahu, penawaran gue sangat menguntungkan." Ikbal mencondongkan wajahnya mendekat ke Sinah.
"Apaan sih lo." Sinah menjauh dari Ikbal.
"Semua keputusan ada di lo. Kalau lo mau rahasia ini aman, ya lo harus mau jadi pacar gue. Tapi kalau lo menolak gue buat jadi pacar lo, itu artinya lo ingin gue menyebarkan fakta-fakta ini ke semua orang." Ikbal memainkan gantungan flashdisk ke depan wajah Sinah.
Lagi-lagi Sinah menggeram kesal karena Ikbal terus saja mengancamnya.
"Eits... Tidak bisa." Ikbal menjauhkan flashdisk itu ketika Sinah akan merebutnya.
"Please, jangan lo sebarkan semuanya." mohon Sinah.
"Jadi pacar gue."
"Pura-pura saja." ucap Sinah mengajak bernegosiasi.
"Terserah lo mau menganggap serius atau pura-pura gue tidak peduli. Yang gue mau kita pa.ca.ran." ucap Ikbal sambil menekankan kata pacaran.
"Ya ok, tapi awas kalau sampai rahasia itu bocor. Gue tidak akan segan-segan buat menghancurkan hidup lo." Sinah menunjuk wajah Ikbal menggunakan jari telunjuknya.
"Sabar dong baby, tidak usah emosi begitu." Ikbal mencolek dagu Sinah.
"Apa-apaan sih lo." Ikbal menepis kasar tangan Ikbal.
"Wo... Pacar gue galak banget." Ikbal melihat tangannya yang ditepis oleh Sinah.
"Sarap tahu tidak lo jadi cowok." ucap Sinah lalu meninggalkan Ikbal sendirian di taman.
***
Refi sudah siap membawa sebuah brownies yang sudah dihias menggunakan krim penuh dan ada tulisan Happy Birthday Ulfa dengan lilin angka 18. Di belakang Refi sudah ada Naira, Ryzal, Airin dan Nathan. Semuanya ikut memberikan kejutan untuk Ulfa.
Cklek!
Refi berhasil membuka pintu kamarnya. Terlihat Ulfa yang sedang tertidur pulas di atas ranjangnya.
Happy birthday Ulfa
Happy birthday Ulfa
Happy birthday
Happy birthday
Happy birthday Ulfa
Semua menyanyikan lagu ulang tahun untuk Ulfa.
Ulfa mengerjapkan matanya ketika mendengar orang sedang bernyanyi. Meski pun Ulfa sudah tahu bahwa ini akan terjadi, tapi tetap membuatnya kaget. Ulfa bangun dari tidurnya dan melihat orang-orang yang menyanyikan lagu ulang tahun untuknya.
"Happy birthday ya sayang, semoga panjang umur, sehat selalu, makin cantik dan makin sayang sama aku." ucap Refi penuh kelembutan sambil membawa brownies di kedua tangannya.
Ulfa yang tepat berdiri di depan Refi pun sempat terpesona akan ucapan Refi barusan. Namun sedetik kemudian Ulfa sadar kalau semua ini hanyalah kepura-puraan Refi supaya keluarga mereka tidak curiga.
"Make a wiss dulu, baru nanti tiup lilinnya." ucap Refi lagi.
Ulfa memejamkan matanya mengikuti perintah dari Refi. Tak selang lama, Ulfa kembali membuka matanya.
"Sudah? Sekarang tiup lilinya." Refi menyodorkan brownies itu lalu dengan cepat Ulfa meniup lilinnya.
"Oma, maaf." Refi memberikan brownies itu kepada Ariana.
"Sini, biar sama Mama." Naira mengambil alih brownies di tangan Refi.
Refi menatap Ulfa lalu mengusap puncak kepalanya secara perlahan dan akhirnya Refi mengecup puncak kepala Ulfa sekilas.
"Sekali lagi selamat ulang tahun ya sayang. Makin dewasa dan makin sayang sama aku." Refi menarik Ulfa ke dalam pelukannya.
"Balas pelukan gue." ucap Refi berbisik tepat di dekat telinga Ulfa.
Ulfa langsung mengikuti apa yang diucapkan oleh Refi barusan. Tak selang lama, Refi melepaskan pelukannya.
"Kamu mau kado apa dari aku? Bilang saja, Ulfa." tanya Refi sambil mengedipkan sebelah matanya.
"Aku tidak mau apa-apa kok, Kak. Pernikahan kita itu kan kado yang paling indah. Tetap jadi suami yang paling baik, pengertian, romantis dan paling ganteng ya." ucap Ulfa mengikuti permainan dari Refi untuk lebih meyakinkan kedua orang tua mereka.
"Tentu sayang." lagi-lagi Refi mengecup puncak kepala Ulfa.
Terlalu bodohkah mereka karena terlalu percaya akan drama dari kedua insan di depan mereka atau terlalu pintarkah kedua anak manusia itu dalam memainkan perannya?
"Happy birthday ya sayang." ucap Ryzal menatap Ulfa.
"Iya Pa, makasih ya." Ulfa balik menghambur ke pelukan Ryzal.
"Tetap jadi putri Papa yang lucu dan imut." Ryzal mengecup kedua pipi Ulfa.
"Iya, Pa."
"Selamat ulang tahun sayang. Mama selalu berdoa untuk kebahagiaan kamu dan kalian." Naira ganti mengecup kedua pipi Ulfa.
"Makasih, Mama."
"Happy birthday ya cucu menantu, Oma." kini giliran Airin yang mengecup kedua pipi Ulfa.
"Iya, Oma. Terima kasih banyak."
"Selamat panjang umur ya, Ul. Harus lebih ekstra sabar menghadapi Refi yang manja." ucap Nathan menggoda.
"Wajar kan, Pa. Manja sama istri sendiri." ucap Refi sambil menggamit pinggang Ulfa agar menempel pada tubuh Refi.
"Iya, wajar kok." sahut Airin.
Gelak tawa terdengar di antara mereka semua. Ulfa hanya bisa tersenyum perih ketika dirinya terus-terusan membohongi kedua orang tuanya oleh kepura-puraannya.
***
Zita masih menunggu Rio pulang malam ini. Zita sangat khawatir akan keadaan Rio, apalagi ketika Zita menemukan bercak darah di atas seprai tadi ketika membersihkan kamar.
Cklek!
Zita menolehkan wajahnya ke arah pintu. Benar sekali, itu adalah Rio yang datang. Zita cepat-cepat bangun dari duduknya.
"Kak Rio." panggil Zita mendekat ke arah Rio.
"Ngapain lo?" tanya Rio menautkan kedua alisnya menjadi satu.
"Kak Rio tidak kenapa-napa kan?" tanya Zita dengan raut khawatirnya.
"Memang lo kira gue kenapa? Ya iyalah gue baik-baik saja." jawab Rio sewot.
Rio membuka jaketnya dan sepatunya terlebih dahulu sebelum membaringkan tubuhnya ke atas tempat tidur.
"Bagus deh lo ganti seprainya." ucap Rio yang sudah membaringkan seluruh badannya.
"Iya aku ganti, Kak. Soalnya tadi ada bercak darah, Kak Rio beneran tidak kenapa-napa?" tanya Zita lagi.
"Berisik banget sih lo. Gue mau tidur." omel Rio menatap geram ke arah Zita.
"Aku khawatir, Kak. Soalnya tadi ada bercak darah di atas seprainya." ucap Zita memperjelas.
"Oh, gue tadi bawa gadis ke sini." cukup singkat, padat nan jelas jawaban dari Rio.
Zita melihat Rio sudah memejamkan matanya. Air mata Zita luruh seketika mendengar jawaban kejujuran dari Rio kali ini. Rasanya sangat-sangat menyakitkan sekali. Bahkan tak bisa diungkapkan dengan kata-kata atau sebuah perandaian. Zita terduduk begitu saja. Semua persendian kakinya terasa sangat lemas tak bertenaga. Zita membekap mulutnya agar tak bersuara sedikit pun.
"Kenapa Kak Rio tega?" tanya Zita entah pada siapa.
"Kenapa rasanya sakit sekali, Tuhan?" Zita membaringkan tubuhnya di atas selimut yang digelar di bawah untuk menghalau dinginnya lantai dan meraih bantalnya. Zita menenggelamkan wajahnya ke atas bantal supaya tangisannya tak mengganggu tidur nyenyaknya Rio.
"Sakit..." pekik Zita menekan-nekan dadanya.
Zita meringkuk di atas lantai yang hanya beralaskan selimut dan ditemani oleh bantalnya. Dinginnya lantai dan suhu AC tidak terasa lagi ke tubuhnya. Rasanya begitu sesak dan panas mendengar jawaban Rio tadi.
Zita terus saja menangis mengingat jawaban Rio yang terlewat enteng menurutnya sampai pada Zita tertidur sendiri.
***
Next...