CHAPTER 5 – Silver Stone

1788 Words
Setelah berlatih selama berbulan-bulan dengan Dandelion, aku dan Daisy memulai perjalanan kami. Menurut Ratu Silversword, kami harus melewati tanah bangsa Dwarf untuk menemui seorang Elf dengan kekuatan melihat kenangan dari sebuah benda. Beliau tinggal di Gunung batu yang mengelilingi Silver Stone (tanah bangsa Dwarf). Aku mengerutkan alisku, mengangkat tinggi-tinggi sebuah kalung bermata batu giok yang diberikan oleh Ratu Silversword sebelum kami berangkat. Benda yang katanya merupakan satu-satunya petunjuk untuk menemukan Tuan Putri. “Ini hanya kalung biasa, bagaimana cara kerjanya sih?” Aku bertanya pada Daisy, masih tidak paham bagaimana sebuah benda bisa membantu kami. “Sihir tak punya batas, Kiran. Pada umumnya semua Elf memiliki kekuatan yang serupa, tapi di kasus tertentu, terkadang ada yang lahir dengan kekuatan istimewa dan orang yang akan kita temui adalah salah satunya. Beliau adalah Elf yang terlahir dengan kekuatan unik, Elf yang pernah menjadi Familiar keluarga Kairo di masa lalu.” Dan itulah balasan Daisy, sebuah cerita yang tak ingin kuketahui. Siapa yang peduli pada hubungannya dengan leluhurku? Aku hanya ingin tahu apa yang bisa dia lakukan hanya dengan melihat kenangan benda ini. “Tetap saja, ini hanya kalung biasa.” Kakiku sakit. Harus jalan kaki dari hutan, masuk ke padang bunga luar biasa luasnya dan kami bahkan masih belum sampai ke kaki gunung yang menjadi tujuan. Rasanya pasti akan kesal sekali, bila ternyata nantinya kalung ini tak akan menghasilkan apa pun yang bisa menolong kami. “Salah! Ini kalung milik Putri Edelweis. Tuan Putri selalu mengenakannya dan hanya inilah yang tertinggal di kamarnya ketika beliau menghilang. Jika kenangan kalung ini bisa dibaca, maka kita akan punya petunjuk siapa yang membawa pergi Tuan Putri dari istana.” Aku menoleh ke samping, bingung mendengar penuturan Daisy. “Bukannya bangsa Pixie yang menculiknya? Kalian sudah tahu.” Bukankah lebih baik kami langsung pergi ke wilayah bangsa Pixie dan mencarinya di sana? “Itu benar, tapi mereka tidak melakukannya sendiri. Bangsa Pixie tidak bisa melewati pelindung sihir di Moon Drop (tanah bangsa Elf). Mereka pastilah menyuruh bangsa lain untuk menculik dan menyembunyikan Tuan Putri. Sebaliknya, Tuan Putri juga tidak bisa memasuki Night Cave (tanah bangsa Pixie) karena beliau akan tewas. Itu karena perlindungan sihir kedua wilayah diciptakan untuk menghancurkan sumber kehidupan tertentu.” Sekarang aku dibuat terkejut, seakan terlalu banyak misteri yang terus bermunculan. Daripada fakta kalau kedua ras Peri beda bentuk itu bukan hanya saling membenci, melainkan memang terlahir dengan elemen yang berbeda ... kenyataan bila musuh kami tidak berniat membunuh Putri Edelweis setelah menculiknya lebih membuatku tak mengerti. “Bukannya lebih mudah bila mereka membawa Tuan Putri ke Night Cave atau membunuhnya langsung?” Sampai memilih menggunakan bangsa lain dan menyembunyikannya segala, kenapa harus serepot itu. “Mereka tidak bisa. Bila Tuan Putri tewas, beliau akan terlahir kembali di Moon Drop. Ingatan dan kekuatan para Elf akan tetap sama tak peduli terlahir berapa kali pun. Membunuh Tuan Putri tidak ada gunanya. Satu-satunya pilihan adalah menyegel kekuatan dan menjauhkannya dari Moon Drop. Maka kerajaan kami akan jatuh. Ratu bangsa kami bisa terus berganti, lahir dan mati mengikuti ramalan Putri Edelweis, tapi Tuan Putri hanya ada satu.” “Aku tidak mengerti, Tuan Putri dilahirkan oleh Ratu, iya, kan?” Daisy menggeleng. Dia berpindah ke atas pundakku. “Tidak. Kami bangsa Elf lahir dari bunga, aku sudah pernah mengatakannya padamu. Kami tidak bereproduksi seperti manusia. Jumlah bangsa Elf akan tetap sama, hanya siklus hidup yang berbeda.” Tangan kecil itu menepuk kepalaku, seakan mencoba menangkan. “Bukannya kalau begitu, kalian tidak perlu takut mati? Bangsa Pixie tidak akan pernah bisa menghancurkan kalian.” Bahkan jika Moon Drop diratakan dengan tanah, harusnya mereka bisa hidup kembali seperti Tuan Putri. Lalu apa yang mereka takutkan? Sampai begini cemasnya ingin menemukan Tuan Putri. “Mereka bisa. Keabadian kami ada karena kekuatan Putri Edelweis. Kekuatan beliau adalah keabadian seluruh bangsa Elf. Bila Minerva, Ratu bangsa Pixie bisa menemukan cara untuk menghancurkan kekuatan Putri Edelweis, maka seluruh Elf yang ada akan mati selamanya.” Aku menelan ludah, berhenti bertanya karena tidak mau mendengar lebih banyak lagi hal-hal mengerikan lainnya. Semua itu terdengar tidak masuk akal. Bagaimana bisa kehidupan sebuah ras, ditentukan hanya dengan kekuatan seorang Elf saja. Kalau begini ceritanya, aku bisa paham kenapa Daisy begini bersikeras ingin menemukan Putri Edelweis. Kami berjalan dalam diam, hingga akhirnya kami sampai di tanah yang sedikit gersang. Di sini agak gelap dibandingkan dengan padang bunga yang kami lewati tadi. Lebih panas dengan beberapa keretakan di tanah yang tidak rata. Ketika aku mendongkakkan kepalaku, aku tidak bisa menemukan ujung dari bebatuan di depan mata kami. Bila aku melihat ke arah depan, terlihat jalan-jalan kecil yang begitu bercabang disekat oleh dinding-dinding batu tak terhitung banyaknya. Tempat ini bukanlah sebuah gunung seperti dalam pikiranku. Lebih seperti tebing-tebing kecil yang tersusun begitu banyaknya hingga menjadi raksasa. Kata Daisy, batu-batu ini dibuat oleh bangsa Dwarf untuk membentengi wilayah mereka. “Ini jalan yang benar. Kita tidak perlu masuk ke dalam gerbang Silver Stone. Cukup mengelilingi bebatuan di sekitar wilayah mereka. Harusnya rumah Lotus ada di sekitar batu-batu ini,” jelas Daisy. Aku tidak percaya, kata ‘harusnya’ itu terlalu mencurigakan. Jadi aku menurunkan tas ranselku, mencari sebuah peta yang diberikan oleh Dandelion sebelum kami berangkat. “Kalau begitu, kau bisa tunjukkan di mana lokasi kita saat ini?” Kulebarkan peta itu di atas tanah, menyuruh Daisy membacanya karena aku belum begitu lancar membaca tulisan dalam bahasa Amon. Kalau hanya berkomunikasi aku sudah cukup lancar, tapi memahaminya tulisannya masih terlalu sulit bagiku. Daisy beterbangan di atas peta itu. Dia berhenti di tengah-tengah gambar gunung yang mengeliling Silver Stone. Dia menggaruk kepalanya terlihat bingung. Ingin menunjuk sebuah tempat, tapi ragu-ragu. “Tadi kita lewat padang bunga, terus ke selatan ... lalu ... kayaknya kita di sini!” Akhirnya jarinya berhenti di sebuah titik bergambar gunung batu. Lebih tepatnya di sebelah timur. Aku langsung menatapnya takjub. “Hebat sekali, kita jalan menuju arah selatan dan ajaibnya posisi kita di sebelah timur.” Tertawa kering, lalu menangkap Daisy dengan tanganku. “Kalau tidak bisa baca peta, jangan sok tahu. Kita bakal tersesat, Daisy.” Kucubit pipinya gemas. Kesal, tapi karena Daisy kecil dan lucu, aku maafkan. “Cerewet! Yang penting kita sudah di sekitar gunung batu wilayah Dwarf!” Elf ini terus meronta-ronta, meloloskan diri dan bersedekap di depan mukaku tak mau disalahkan. Karena aku sendiri buta akan wilayah-wilayah yang terdapat di Kerajaan Amon ini, aku juga tidak bisa menyalahkan Daisy sepenuhnya. Mungkin ucapannya ada benarnya juga. Setidaknya bila kami mengelilingi gunung batu ini, menemukan Lotus hanyalah tinggal menunggu waktu. “Oke, oke. Jadi ayo jalan.” “Ke sebelah sini!” Daisy tiba-tiba saja jadi bersemangat, dia menunjuk ke arah timur. Terlihat yakin untuk orang yang baru saja terlihat bodoh saat membaca peta. “Yakin?” Aku mengikutinya dengan malas, sudah agak pasrah melihat keadaan di sekeliling kami. Semuanya hanya batu yang bertumpuk-tumpuk, jalan yang sepertinya saling menyambung dan beberapa binatang merayap kecil yang terlihat beracun. “Aku merasakan keberadaan mata air dari sebelah sini. Elf tidak bisa hidup tanpa tanaman dan tanaman tak bisa tumbuh tanpa air. Ini pasti arah yang tepat.” Karena alasannya masuk akal, aku berhenti bertanya. Hanya terus jalan berharap kami cepat sampai. Matahari sudah mulai turun ke ufuk barat, ditambah gelapnya bayang-bayang batu membuatku merasa waswas. Hutan Moon Drop selalu terang, tak peduli berapa dalam dan tingginya pohon-pohon di sana. Maka dari itu, aku masih belum terbiasa pada malam hari di dunia ini. Kupikir ada hampir setengah tahun aku tinggal di rumah Dandelion, tapi sekalipun aku tidak pernah melihat malam. Pembagian waktu tiap wilayah berbeda, termasuk di dalamnya keadaan geografis dan sifat ras yang tinggal di sana. Dandelion memperingatkan ku sebelumnya, bila kelima wilayah saling mengisolasi diri dari ras lain, tak peduli jika mereka berada di dalam satu kerajaan. Ini cukup aneh bagiku, tapi memangnya ada yang lebih aneh lagi dari hidupku sendiri? “Lihat itu, Kiran! Ada air dari celah batu! Kita pasti sudah dekat!” Daisy memanggilku, menunjukkan sebuah mata air yang dia temukan. Tanpa sadar aku tersenyum, merasa lebih baik hanya karena hal kecil ini. Setelah perjalanan panjang di bawah terik matahari, aliran air gunung yang sejuk terdengar seperti surga bagiku. “Ayo istirahat di sini!” usulku. “Kita sudah dekat dan sebentar lagi malam. Jangan malas, ayo jalan.” Daisy langsung menolak. Dia terlihat yakin sekali kalau kami sungguhan sudah dekat dengan rumah Lotus. Padahal sendirinya tidak tahu. “Kau sih enak, bisa terbang. Aku capek. Lagian jalan terus belum tentu ketemu, ayo istirahat dulu.” Jadi aku membantah. Duduk di dekat air, tak mau jalan. “Memangnya kamu pikir terbang itu tidak capek? Jangan banyak mengeluh, Kiran! Gunung batu ini juga dekat dengan wilayah bangsa Goblin. Mereka suka keluar malam, lebih baik kita menghindari pertemuan dengan mereka.” Mendengar teriakan Daisy, perhatianku teralihkan. Aku tadinya mau santai-santai mengisi botol airku, tapi perkataannya itu sungguhan membuat tanganku berhenti bekerja. “Go apa?” tanyaku. “Goblin! Mereka termasuk Peri, tapi ras yang berbahaya. Pixie memang jahat, tapi Goblin lebih menyusahkan.” Jadi ada berapa banyak jenis Peri di dunia ini? Dari begitu banyak dongeng jadi satu. “Memangnya kalau ketemu bagaimana?” Sebelum Daisy sempat menjawab, sekumpulan manusia kecil datang. Mereka melompat turun dari celah-celah batu di sekitar kami. Jumlahnya ada puluhan, mengelilingi kami sambil menodongkan berbagai jenis s*****a. Daisy langsung terbang ke pundakku, dia mengedarkan pandangannya ke sekeliling seperti sedang mencari seseorang. Kepalanya berhenti pada pria di posisi tengah yang membawa sebuah tombak besi. “Apa yang kalian mau dari kami?” tanya Daisy. “Jangan pura-pura bodoh! Kembalikan barang itu segera!” Pria yang berada di posisi tengah itu menjawab. Ia berjalan mendekati kami, menodongkan ujung tombaknya ke perutku. Tubuhku menegang, agak gugup saat tatapan mata kami bertemu. Mata orang itu begitu aneh. Warnanya berubah seperti pantulan batu, dengan kulit di sekitar wajah yang terlihat tebal dan kasar. Tubuhnya mungkin kecil, tapi otot-ototnya terlihat kuat. “Siapa yang kaubawa, wahai Elf.” Pria itu mengangkat kepalanya, bertanya pada Daisy mencurigaiku. “Kami utusan Ratu Silversword! Namaku Daisy dan ini adalah Kiran Kairo, Wizard yang menjadi saudaraku.” Daisy terlihat penuh percaya diri, dia tidak takut atau gugup. Awalnya kupikir dengan berkata begitu, mereka akan membebaskan kami, tapi nyatanya tidak. “Dasar pembohong! Tangkap mereka! Tidak ada yang bisa lolos setelah mencuri harta kerjaan kami! Lihat sampai kapan kau bisa mempertahankan bentuk itu, Goblin!” Entah bagaimana bisa, orang-orang ini malah menuduhku sebagai seorang Goblin. “Apa – ” “Jangan diam saja, Kiran! Gunakan sihirmu! Para Dwarf tak bisa kaukalahkan tanpa sihir!” Aku masih kebingungan saat Daisy memerintah. Maka dari itu, sebelum aku sadar ... sekumpulan pria kecil yang ternyata bangsa Dwarf itu telah menangkap kami. Rencana berubah. Jangankan menemui Lotus, akhirnya malah kami diseret menjadi tahanan memasuki Silver Stone yang tadinya ingin kami jauhi.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD