“Dalam setiap cerita, selalu ada tokoh utama. Dalam cerita ini, aku bukan tokoh utama. Aku hanya figuran...”
***
Tokoh Protagonis, merupakan tokoh yang mendukung cerita, biasanya ada satu atau dua figur tokoh protagonis utama yang dibantu tokoh lain yang terlibat dalam cerita. Tokoh jenis ini biasanya berwatak baik, dan menjadi idola pembaca/pendengar.
"Kenapa bukan warna cokelat, sih? Kan, lebih keren. Masa abu-abu? Kayak hidup seseorang yang nggak jelas aja. Dalamnya pasti jelek."
Aku mengalihkan pandangan dari ponsel, menjadi menatap seseorang di sebelahku. Kami baru tiga langkah memasuki gerbang sekolah, tapi komentar gadis ini seolah sudah menjelajahi seluruh area sekolah. Dia masih cerewet dan bawel seperti anak kecil, padahal sudah memasuki jenjang sekolah menengah atas.
"Tuh, benar. Lihat, deh! Kayak hutan."
Dia menepuk-nepuk tanganku─yang sebenarnya sudah dia geret sejak tadi─agar fokusku ke bagian sebelah kiri sekolah.
Menurutku halaman itu asri, karena banyak pepohonan peneduh jalan seperti pohon kersen, pucuk merah, dan Mahoni, yang berselang-seling di sepanjang jalan, membentuk barisan seperti menyambut para siswa datang. Ada beberapa taman berpetak dengan jalan berbatu warna kemerahan. Ada kolam ikan ukuran kecil di dekat masing-masing taman. Di setiap pohon rindang ada kursi panjang sewarna cokelat yang bila sekilas kulihat, pasti akan sangat nyaman berada di sana. Tamannya dipenuhi rumput hijau, bisa dijadikan alas untuk tiduran santai, dan berbagai jenis bunga itu ibarat pengharum ruangannya. Gadis di sebelahku ini malah dengan mudah mengatakan itu hutan. Aku tidak habis pikir dengan cara pandangnya.
"Hemm," jawabku singkat.
Dia mulai sibuk melihat sekolah lagi. Telunjuknya mengarah ke tengah lapangan dan kanannya. "Yah... lapangannya keren, sih. Ada Voli, basket, bola kaki. Luas lah." Dia berkomentar lagi, entah untuk apa, dan untuk siapa.
Kami melanjutkan perjalanan di koridor yang masih sepi. Hanya ada beberapa siswa seragam putih-abu yang berjalan di depan. Mereka sama antusiasnya seperti gadis bawel di sebelahku ini.
Hah... Hari pertama sekolah di SMA Pertiwi, yang katanya favorit, tapi aku masih mengantuk.
SMA ya... Masa sekolah yang katanya paling indah, paling tak terlupakan, paling menyenangkan, paling gila, dan paling..., paling..., baik lainnya, yang menjadi pelengkap sisi positif si SMA. Aku tidak tahu, apakah bisa menjadi salah satu bagian dari mereka yang menyebut SMA itu indah.
Si gadis bawel mulai memuji keindahan tiap ruangan yang dilewati. Tata Usaha, kantor kepala sekolah, kantor guru, ruang OSIS, ruang PMR dan paling ujung koridor ini adalah perpustakaan. Sesekali dia meniup poni yang sudah layak potong karena hampir menusuk netra cokelatnya. Dia kemudian berhenti dan melongokkan kepala ke dalam perpustakaan.
"Kita lihat-lihat buku dulu ya," ujarnya dengan puppy eyes yang menggemaskan, sambil menarik tanganku.
Jika dia sudah bertingkah begitu, aku sulit menolak. Lagipula, siapa yang bisa menolak keinginan gadis cantik ini?
Dia melangkah dengan percaya diri, mengabaikan lirikan dua siswa yang terpesona melihatnya. Dia hanya tertarik pada deretan buku yang terpajang rapi di rak. Mulai mengeja sambil menunjuk setiap bacaan dengan telunjuknya yang ramping, tak lupa tersenyum cantik dengan menampilkan lesung kirinya. Kemudian berhenti di rak yang cover buku-nya penuh gambar orang berpakaian karate, atau gambar orang menendang, dengan deretan judul menakjubkan yang tidak jauh dari silat, karate, atau taekwondo.
Aku hanya mendesah melihatnya tersenyum dengan gigi putih yang terawat dan lesung di pipi kiri.
Dia masih terobsesi dengan bela diri.
Dia mulai bercerita tentang sulitnya mencari buku-buku barusan, karena tidak tersedia di perpustakaan SMP. Mulai bercerita pula tentang bagaimana pertama kali dia tertarik dengan bela diri. Itu karena aktor tampan bernama Roger Danuarta. Sejak kemunculannya di televisi dalam laga aksi, gadis ini telah jatuh cinta kepadanya, dan berharap memiliki suami seperti Roger suatu hari nanti.
Setelah puas melihat-lihat isi buku, dia mengembalikan buku ke rak. Katanya, nanti kalau sudah dapat kartu pelajar, akan langsung ke sini untuk bisa meminjam buku. Dia lantas menarikku keluar perpustakaan. Kami berjalan di koridor depan perpustakaan, sambil memperhatikan tiap kelas yang dilewati.
Bagian kanan yang kami jalani ini adalah area kelas X, berjumlah 10. Mulai dari X Bahasa 1, 2, 3, lalu X IPS 1,2,3. Dan terakhir area IPA. X IPA 4,3,2 dan...
"X IPA 1," ejanya pada pamflet kecil di atas pintu.
Kelas kami paling ujung, sebelah kanan kelas kami adalah kantin dan depannya adalah lapangan basket.
Aku mengamati ruangan yang didominasi biru-pink. Pendahulunya pasti lebih banyak wanita, karena warna kelasnya benar-benar girly. Banyak foto pahlawan berbaris di dinding, ada beberapa ilmuwan, kata-kata motivasi, dan lukisan berbagai pemandangan pula.
"Kita sebangku lagi, ya?" Dia memajukan bibir bawah dan membuat puppy eyes lagi.
Apa dayaku yang hanya bisa mendesah dan menuruti semua maunya.
"Memangnya kamu nggak mau sebangku sama cowokmu?" tanyaku sambil bersedekap.
Kulihat wajahnya berubah menjadi malu-malu, telunjuk kanan dan kiri dia sentuh-sentuhkan, bahkan memainkan ujung sepatu kanan dan mengetuk-ngetukkannya ke keramik putih polos tempatnya berdiri. Dia mau, tapi malu. Terlalu mudah dibaca.
"Dia belum jadi cowokku, oke? Lagian aku nggak mungkin bisa konsentrasi belajar kalau semeja sama dia. Jadi, aku duduk sama kamu aja, ya?"
Aku menghela napas, menipiskan bibir, dan mata. Dia tertawa karena tahu kebiasaanku saat kesal. Jadi dia mulai menoel-noel pipiku dengan telunjuknya sambil memasang senyum.
Baiklah, aku menyerah saat melihat senyum manisnya. Aku langsung memilih kursi paling belakang, dan dia melotot dengan mulut menganga.
Untuk anak berprestasi seperti dia, duduk di paling belakang kelas adalah sebuah penghinaan.
Rasakan! Siapa suruh memilihku sebagai teman semeja?
Aku tidak lagi melihat wajah masamnya, lebih memilih tidur dengan meletakkan kepala di atas tangan yang terlipat. Tidak lupa mengenakan tudung hoodie-ku, dan memasang earphone yang tersambung ke ponsel. Aku tidak ingin mendengar omelannya. Kurasa dia sudah mencak-mencak di depan sana.
Dia si protagonis, sang heroine. Kanaya Mutia. Memiliki tinggi 165 cm, berat 45 kg, kulit putih bagai batu pualam murni, bibir ranum semerah ceri, hidung mancung, wajah oval, bulu mata lentik, netra cokelat terang mirip almond, alis segaris yang hitam, rambut hitam lurus sebahu, berponi, leher jenjang, kaki mulus cantik, dan tangan dengan jemari panjang. Dia sangat cantik bagai seorang dewi. Kecantikan itu dilengkapi dengan sifatnya yang ramah, peduli dan penyayang. Semua orang menyukainya, baik lelaki maupun perempuan.
Aku pertama kali bertemu denganya saat usia tujuh tahun, lewat pernikahan ibuku dan ayahnya. Dia kakak tiriku. Seperti dalam kisah-kisah senja kala, dua saudara tiri pastilah tidak akur. Begitu pula kami pada awalnya, sampai setahun setelah pernikahan kedua orangtua kami, Naya mendorongku menjauh dari mobil yang hampir menabrakku. Pada proses menyelamatkanku itu nyawa Naya dipertaruhkan, dan dia koma selama satu hari. Sejak itu, kebahagiaan Naya menjadi prioritas utamaku.
***