Seperti biasa suasana kampus seni itu selalu saja diramaikan oleh suara orang-orang latihan yang sedang latihan seni, baik itu seni menari, menyanyi, atau juga bermain musik. Bersebelahan dengan kampus seni itu, tepatnya di sisi kanan, dalam jarak beberapa meter dari tempat itu berdiri gedung perpustakaan kampus.
Gedung itu sengaja dibangun di sana, karena tempat itu merupakan titik sentral yang paling dekat untuk bisa dijangkau oleh para mahasiswa dari berbagai jurusan yang ada. Baik itu yang dari kampus seni, hukum, ekonomi dan lain-lain, sebab di kampus elit itu bukan hanya ada satu jurusan seni saja, melainkan banyak jenis jurusan lainnya juga.
Clary merapikan tali tasnya yang melorot jatuh dari bahu kiri. Tanpa mengabaikan langkahnya juga ponselnya yang terus menyala di tangan kiri. Sesekali ia melirik sekitar memastikan langkahnya aman, agar tak terjadi sesuatu yang tak diinginkan selagi ia berkomunikasi lewat pesan dengan keluarganya di Amsterdam sana. Namun, karena terlalu asik dengan ponselnya, ia juga tak menyadari jika seseorang telah berjalan sejajar dengannya.
"Asyik sekali," sapa pemuda itu.
Clary menghentikan langkah, lalu menoleh pada pria yang tengah melempar senyum padanya. Gadis itu pun mengulas senyum manis, menampilkan lesung pipinya yang dalam. Melihat Clary yang begitu cantik tanpa sadar Zaky merasakan desiran aneh yang menyusup ke relung hatinya. Pria itu pun memandang Clary tanpa kedip. Clary segera menghentikan komunikasi dengan keluarganya, memasukkan ponsel ke dalam tas yang tersampir di sisi kirinya.
"Sejak kapan kau ada di sebelahku?" tanyanya pada Zaky sebelum kembali melangkah.
"Aku sudah mengikutimu sejak kau berbelok di ujung koridor sana, kebetulan aku ingin ke ruang rektor jadi sepertinya kita searah. Tapi, karena kau sedang sibuk ketawa-ketawa sendiri, ya jadinya kubiarkan saja." Clary terkekeh ringan mendengar ucapan Zaky.
"Sedang berkomunikasi dengan pacarmu, ya?" tanya Zaky.
Kembali Clary terkekeh, sambil terus berjalan beiringan dengan Zaky. "Itu tadi kakakku, namanya Bian. Kami sudah lama tak bertemu jadi hanya bisa berkomunikasi lewat ponsel. Lagi pula aku belum punya pacar, itu buang-buang waktu," sahut gadis itu.
"Wow, benarkah? Baru pertama kali kudengar ada yang mengatakan hal menyenangkan itu sebagai sesuatu yang membuang-buang waktu."
"Ya, bagi orang sepertimu tentu saja itu menyenangkan. Tau kenapa? Itu karena dengan menggaet gadis-gadis disekitarmu kau jadi bisa mendapatkan apa pun yang kau mau, benar, 'kan?" Zaky terdiam. Kata-kata sindiran Clary cukup membuatnya bungkam dengan perasaan yang sedikit kesal. Namun, tak ingin menunjukkan kekesalannya, ia kembali tersenyum.
"Kau benar, tapi sudah kukatakan aku akan berubah. Mungkin suatu saat aku bisa menemukan seseorang yang mampu mengubahku dari kebiasaan buruk itu." Kali ini Clary yang menghentikan langkah, sehingga Zaky melewatinya dua langkah di depan. Pria itu pun menoleh, memandang Clary yang menatapnya tak berkedip.
"Bukankah kau sedang mendekati Liana, sahabatku? Jangan katakan kau sedang main-main dengannya." Clary kembali melangkahkan tungkainya menyusul langkah Zaky hingga kini mereka kembali beriringan.
"Aku hanya ingin menjalin persahabatan dengan Liana, bukan ikatan kekasih. Maaf jika kau salah paham. Aku tak akan pernah merusak gadis lugu seperti dirinya."
Mendengarkan perkataan Zaky, Clary pun diam saja tak memberi respons. Entah apa yang dipikirkan gadis itu sekarang. Kini mereka melangkah dalam diam hingga berada di depan ruang rektor. Mereka pun memutuskan untuk masuk bersama, rupanya tujuan mereka sama-sama ingin bertemu dengan Mr. Andre---penanggung jawab pementasan seni teater yang akan digelar beberapa bulan lagi.
Setelah mendapatkan pengarahan dan sedikit berkonsultasi dengan Mr. Andre mereka pun kembali bersama-sama meninggalkan tempat itu. Tak berapa lama, Zaky dan Clary ada di belakang kampus, tempat favorite Clary saat ingin menghabiskan waktu istirahatnya.
Mereka mendudukan diri di atas rerumputan, menatap lapangan tenis yang kosong karena tempat itu masih terlampau panas untuk bisa latihan di sana.
"Jadi menurutmu bagaimana?" tanya Zaky memecah kesunyian, ia meneguk air dalam botol yang dikeluarkannya dari dalam tas.
"Entahlah, aku masih bingung. Bagaimana bisa mereka menyerahkan pada kita untuk membuat coreograpy sendiri. Ini sangat merepotkan."
Zaky terkekeh pelan sebelum kembali bicara, "Tak merasa tertantang sedikit pun? Sejauh yang kutahu orang-orang cerdas sepertimu akan selalu bersemangat jika diberikan tugas yang menantang seperti itu."
"Tapi sepertinya aku pengecualian. Eh ya, boleh minta airmu? Aku lupa membelinya tadi dan cuaca panas ini membuatku gerah."
"Kau yakin? Ini baru saja kuminum, ada bekas bibirku di sana." Zaky masih menahan airnya dan menunggu reaksi Clary atas perkataannya barusan. Clary pun tertawa renyah.
"Apa kau percaya kalau itu artinya kita melakukan ciuman tak langsung? Ada-ada saja, itu hanya adegan drama Korea yang terlalu didramatisir. Sini berikan airnya."
Zaky pun menyerahkan botol air mineral itu, sambil melihat bagaimana Clary dengan santainya meneguk tiap tetes air itu.
"Aku suka dirimu yang mengedepankan logika daripada perasaan seperti kebanyakan wanita yang kukenal." Clary menoleh, menyeka air yang menempel di sudut bibir, lalu menyerahkan botol yang dipegangnya kembali pada Zaky.
"Sudah kukatakan aku pengecualian. Aku ini special," ucap Clary sambil tertawa. Zaky pun tersenyum, entah kenapa hatinya malah berdebar-debar. Sepertinya ia malah akan jatuh cinta pada gadis manis di sebelahnya, yang kini tengah sibuk mengeluarkan buku n****+ dari dalam tasnya.
Buku itu diberikan Mr. Andre tadi sebagai acuan untuk bisa memahami tiap karakter yang ada dalam cerita Beauty and The Beast yang akan dibawakan dalam pementasan nanti. Clary membukanya dan mulai membaca buku itu, mengabaikan Zaky yang masih memandangnya dengan penuh arti.
"Clary, bagaimana kalau kita latihan bersama? Di rumahku? Akan kucarikan beberapa film dan penampilan seni teater terkait cerita ini. Jadi kita bisa menggunakannya sebagai referensi untuk membuat coreonya."
Clary menutup bukunya, beralih memandang Zaky dengan tatapan meyakinkan diri sendiri. "Kau tak sedang mencoba mendekatiku untuk kau pertaruhkan dalam game yang kau ikuti, 'kan?"
Zaky mendadak tertawa terbahak-bahak. Sesaat kemudian kembali meneguk airnya, hingga air itu hampir tandas dari botolnya. "Kau takut padaku? Jadi kau berpikir aku akan mempertaruhkanmu. Pemikiranmu sungguh lucu. Bagaimana kau bisa memikirkan hal sekonyol. Aku bahkan tak pernah membayangkan akan melakukannya padamu. Kau terlalu cerdas untuk kutipu, Clary."
"Ya, bisa saja, 'kan," sahut Clary canggung.
Hingga beberapa saat mereka terjebak dalam percakapan yang berputar-putar soal perdebatan isi cerita dalam n****+ yang diberikan Mr. Andre dan apa yang akan mereka lakukan selanjutnya untuk memenuhi permintaan Mr. Andre tadi.
Hingga akhirnya mereka pun memutuskan untuk berlatih di rumah Zaky. Alasannya karena rumah Zaky memang cukup besar dan dilengkapi dengan ruang latihan sendiri. Disamping itu Zaky juga sudah berjanji akan mencarikan sebanyak mungkin refererensi gerakkan dari cerita yang sama dan sejenis dengan cerita dongeng itu.
***
Sesuai kesepakatan yang telah mereka ambil dua hari lalu kini Clary pun datang ke rumah Zaky setelah menyelesaikan jadwal kuliahnya sore tadi. Hubungan mereka semakin hari memang terlihat semakin baik terutama setelah mereka ditunjuk untuk menjadi pasangan bermain dalam pertunjukan teater nanti.
Clary baru saja turun dari taksi, kemudian melangkah pelan menuju rumah Zaky yang masih berjarak beberapa meter dari tempat taksi itu berhenti. Mendadak langkah Clary terhenti ketika melihat seorang wanita paruh baya berdiri di depan gerbang rumah Zaky.
Wanita itu menatap serius ke arah rumah itu. Clary memperhatikan penampilan sang wanita yang sangat elegan seperti orang kantoran. Rok ketat berwarna abu-abu, dengan panjang sekitar lima belas centi di atas lutut berpadu dengan kemeja bermotif garis warna peach. Sangat elegan dengan rambut yang terkuncir kuda dan heels dua belas centi membuat kakinya terlihat lebih jenjang dari kenyataannya.
Merasa diperhatikan sedemikian rupa, wanita itu pun menoleh ke arah Clary. Ia tersenyum ramah. Baru saja Clary hendak mendekat untuk menyapa, suara klakson sepeda motor menghentikan langkahnya. Zaky menghentikan motor sportnya tak jauh dari tempat Clary berdiri. Pria itu membuka helm dan tersenyum pada Clary.
"Sudah lama?" tanya Zaky.
Clary menggeleng, ia melangkah mendekati Zaky. "Baru saja," jawabnya kemudian.
"Zaky, wanita it--"
"Naiklah," potong Zaky menunjuk ke arah belakang dengan dagunya.
"Tap--"
"Naik, atau aku tinggal. Sebaiknya kau jangan suka mencampuri urusan orang lain," ketus pemuda itu membuat Clary sedikit tersentak.
Merasa ada sesuatu yang salah, Clary pun menuruti perintah Zaky untuk naik ke motor pemuda itu. Saat ini ia memilih untuk tidak memancing emosi Zaky seperti dulu. Mungkin Zaky masih butuh waktu untuk bisa percaya padanya. Lagipula Clary juga tak terlalu berminat untuk menjalin pertemanan yang lebih dalam dengan Zaky. Itulah kenapa ia tak terlalu ingin ikut campur dengan kehidupan pribadi Zaky, selama itu tak mengusik hidupnya dan Liana---sahabatnya.
Motor Zaky melaju cepat masuk ke halaman rumah mengabaikan wanita peruh baya yang masih mematung dengan ekspresi sendu membuat Clary tiba-tiba merasa tak enak hati. Melihat Zaky yang mengabaikannya begitu rupa, wanita itu pun beringsut pergi meninggalkan rumah Zaky menggunakan mobil pribadinya yang terparkir tak jauh dari sana.
Clary masih memperhatikan langkah wanita itu dari balik gerbang, sementara Zaky sudah berjalan mendahuluinya menuju pintu utama rumahnya. Sejenak Zaky berdiri, mematung menatap Clary yang masih diam melihat jalanan. Pria itu sedikit geram.
"Kau mau mengejarnya? Pergilah!"
"Eh?! Maaf." Clary pun membalik badan, menyusul langkah Zaky yang sudah menghilang di balik pintu. Sebelum Clary benar-benar masuk ke dalam rumah itu, ia menoleh ke arah wanita itu berdiri sekali lagi. Sejenak cerita Adrian melintas di pikirannya, memunculkan tanya dalam hati Clary.
"Mungkinkah dia mucikari itu? Apa Zaky harus memuaskannya? Tapi melihat penampilannya, rasanya benar-benar tak seperti mucikari. Apa permainan Game s*x itu benar-benar melibatkan orang-orang kelas atas seperti itu?" gumam Clary.
Merasa segala permikirannya berakhir pada pertanyaan yang tak ada jawaban, gadis itu pun menyusul Zaky yang masuk dalam keadaan marah.
TBC.