Part 5

1579 Words
    "Kau masih takut padaku?" tanya Zaky pada Clary yang menanggapi helm pemberiannya. Seperti rencana Zaky setelah latihan di rumahnya kemarin, kali ini ia berniat untuk mengantarkan Clary pulang ke rumah gadis itu.     "Tidak," jawab Calry menggeleng. "Hanya saja sedikit ragu kalau harus boncengan denganmu.".     "Lalu kenapa kau tak memelukku?" Zaky melirik Clary yang duduk di belakangnya tanpa berani berpegangan padanya. "Ini motor sport. Aku tak mau tersangkut kasus karena menjatuhkanmu dari motorku."       "Sudah tak apa-apa, aku pegangan di sini saja," sahut Clary sambil menaruh kedua tangannya di atas pundak Zaky. Pria itu pun tak dapat memaksa Clary untuk berpegangan padanya, tapi ia memliki cara lain yang lebih ampuh agar Clary mau melingkarkan tangan di pinggangnya.     "Ya sudah, terserah kau saja," lirih Zaky lalu menancapkan gas motor sportnya. Perlahan keluar dari area parkiran kampus sebelum masuk ke jalan besar.     Sseolah sengaja Zaky memutar gas motornya dengan kecepatan penuh. Menyalip mobil dan kenadaraan bermotor yang berdesak-desakan seakan memaksa agar Clary untuk memindahkan pegangan tangannya. Tepat seperti apa yang diinginkannya, Clary mulai tegang. Tangannya mulai turun dan berakhir pada jaket belakangnya. Gadis itu masih bertahan untuk tidak memeluknya.     "Pelan-pelan, Zaky," teriak Clary ketika motor itu menyalip truck tronton pengangkut barang. Ia bahkan sampai memejamkan mata tak berani menyaksikan apa yang dilakukan Zaky.     Namun, bukannya menurunkan kecepatan, Zaky malah terlihat tak peduli. Ia memacu motornya seperti orang kesurupan. Memaksimalkan laju kendaraannya hingga motor itu melesat bagai motor balap Valentino Rosie yang jadi idola para pembalap.     Menyerah dengan cara Zaky membawa motor, Clary yang mulai ketakutan pun akhirnya melingkarkan tangannya dengan ragu pada pinggang pemuda itu. Merasakan perut Zaky yang rata dan keras berotot membuat Clay tanpa sadar merona, jantungnya berdebar kencang.     Zaky sedikit melirik ke perut, melihat pergerakan tangan Clary, ia pun tersenyum puas dan menampilkan seringai iblis di bibirnya. "Sampai kapan kau bisa bertahan b***h," gumam Zaky dalam hatinya.     Setelah beberapa menit berlalu, Zaky mulai menurunkan kecepatan motornya, lalu berhenti di depan pintu gerbang rumah Clary.      "Terima kasih karena sudah membiarkan kuhidup," ucap Clary sambil menyerahkan helmnya. Zaky menanggapinya sambil terkekeh. lalu menaruh helm itu di depannya.     "Tertawa lagi," desis Clary dengan muka mencebik kesal, tapi malah tampak menggemaskan di mata Zaky.     "Abisnya kau lucu, Clary. Ini motor sport, ya pasti jalannya harus ngebut. Apakah aku harus mengendarainya dengan kecepatan siput? Dasar ...," jawab Soobin tanpa melepaskan tatapannya pada Clary yang masih memberenggut marah.     "Ya, tapi tak harus ugal-ugalan seperti tadi, 'kan. Apa kau pikir dirimu hebat, pembalap formula-1 begitu? Ck." Clary masih memasang tampang kesal. Zaky pun tersenyum.     "Ya sudah, aku minta maaf, jangan marah lagi. Please ...," pintanya menyakupkan kedua tangan. "Lagian tadi kau tak mau pegangan."      Mendengar ucapan itu Clary mendelik tajam. Ia ingin sekali kembali bicara, tapi Zaky mendahuluinya. "Kau tidak mengajaku masuk?" tanya Soobin yang masih duduk manis di atas motornya.     "Tidak!" ketus Clary sambil membalik badan, bersiap masuk ke halaman rumahnya melalui gerbang depan.     "Hei, kau benar benar marah, ya?" Zaky turun dari motornya menyusul Clary yang bersiap membuka pintu gerbang.     "Ayolah, aku kan sudah minta maaf. Clary ...." Zaky menyentuh pundak Clary memaksanya menarik badan. Kini Zaky bisa melihat wajah Clary yang menunduk kesal. Zaky pun terkejut ketika menyaksikan bulir bening menetes jatuh dari mata Clary.     "Kau menangis?" Zaky menangkup kedua pipi Clary lalu menghapus bulir air mata yang sempat jatuh di situ. Sementara Clary hanya diam saja.     "Maafkan aku," ucap Zaky. "Aku berjanji tak akan melakukannya lagi. Kupikir kau cukup berani untuk naik motor sport seperti itu, Clary. Maaf."     "Sudahlah, aku mau masuk," ucap Calry. Gadis itu pun melangkah masuk ke halaman rumahnya.     "Clary, besok apa boleh aku menjemputmu?" tanyanya pada gadis yang sudah melangkah menjauh darinya.     "Tidak aku berangkat sendiri saja," sahut Clary masih terlihat kesal. "Aku masih ingin hidup." lanjutnya.     "Ppfffttt ... baiklah janji besok tak akan ngebut lagi." Zaky kembali terkekeh melihat tingkah gadis itu.     "Jadi besok aku jemput, ya. Tak ada penolakan."      Zaky pun berbalik arah, melangkah menuju motornya. Ia masih menatap Clary masuk ke dalam rumahnya ketika Zaky mamasang helmnya. Setelah Clary benar-benar menghilang di balik pintu, barulah ia memacu motornya kembali.     "Tak ada penolakan," gumam Clary bersandar di balik pintu, mendengarkan Zaky menstarter motornya. Gadis itu pun beralih mengintip lewat jendela. Tangannya tanpa sadar menyentuh d**a. Dirasanya jantungnya berdebar tak karuan.     "Sial, apa yang terjadi padaku, sadarlah Clary jangan sampai kau jatuh cinta pada pemuda b******k itu." Clary terdiam, hatinya seketika bimbang.      "Tapi dia bilang akan berubah, ''kan? Bukatinya saja kemarin saat latihan dia sangat sopan. Jadi tak mungkin dia memanfaatkan aku, 'kan?"     Clary terus menggerutu, bahkan ketika kakinya melangkah menuju kamar pribadinya. Gadis itu pun menghempaskan tubuhnya di atas ranjang, sembari menatap langit-langit kamar. Setelah merasa cukup membiarkan pikirannya melayang tak tentu arah, Clary pun memutuskan untuk bangkit, ketika dering terlepon menyapa indranya. Ada nama Zaky terpampang di sana.     Merasa khawatir setelah mengingat bagaimana Zaky membawa motornya tadi, Clary pun segera mengangkat ponselnya.     "Keluarlah, aku membawa es cream untukmu sebagai permintaan maaf," ucap Zaky to the point tepat setelah Clary menjawab sambungan telepon itu dengan ucapan 'halo'.     Mendengar apa yang dikatakan Zaky, Clary pun tersenyum dengan rona merah di wajah. Ada sesuatu yang menggelitik perutnya, membuat Clary kembali berdebar kencang. Ia sedikit merapikan penampilannya ketika turun menemui Zaky yang berdiri di depan gerbangnya.     "Sekarang apa aku boleh masuk?" tanya Zaky sambil menyodorkan tas kresek berisi es cream dengan beberapa variant rasa.     "Jadi ini sogokan, bukannya kau bilang untuk permintaan maaf?"     Zaky kembali terkekeh. "Ya sudah, kalau memang tak boleh, aku pamit, ya."     "Hmm ... pergi sana!" usir Clary tanpa ada niat untuk menahan walau hanya untuk menawari pemuda itu secangkir kopi.     Zaky pun duduk di atas motor sembari memakai helmnya. Sekali lagi ia menoleh pada Clary yang masih mematung di tempatnya.     "Clary, kau sangat menggemaskan jika merajuk seperti itu, aku menyukainya," ucap Zaky lalu menancap gas motornya tanpa menunggu jawaban dari gadis itu. Ia mungkin juga tidak tahu jika kini Clary benar-benar merona karena ulahnya. ****     "Hai, selamat siang," sapa seorang pemuda pada gadis lugu yang tengah duduk di kursi taman dekat kompleks tempat tinggal gadis itu.     "Oh, hai ... selamat siang. Apa yang kau lakukan di sini Zaky?" jawab si gadis berdarah pribumi itu.     "Hanya jalan,-jalan. Kebetulan rumah temanku ada di sekitar sini. Kau sendiri apa yang kau lakukan di sini, Liana?" tanya pemuda itu yang tak lain adalah Zaky. "Tempat di sebelahmu kosong, 'kan? Boleh aku duduk di sana?"     "Ya, duduklah." jawab Liana sambil mengambil tas mewahnya yang diletakkannya di ruang kosong sebelahnya.     "Terima kasih, kau belum jawab pertanyaanku tadi. Apa yang kau lakukan di sini?" Zaky merogoh sekaleng minuman dingin dari kantong pelastik yang dibawanya. “Minum ….”     “Oh, thanks.” Liana menanggapi minuman itu. “Aku tinggal di dekat sini, jadi … yahh … aku sering mampir kemari untuk menghabiskan waktu menatap matahari terbenam.”     “Dari sini matahari terbenam memang terlihat sangat indah. Aku pernah menyaksikannya bersama teman-temanku.”     Sesaat mereka pun sama-sama terdiam, menyaksikan senja yang perlahan mulai berubah gelap. Zaky meneguk minuman soda dari kalengnya. Begitu pula Liana yang mulai meminum minuman kaleng pemberian Zaky.     “Kau bilang rumah temanmu ada di sekitar sini? Siapa? Apa aku mengenalnya?” Liana menoleh pada Zaky yang masih menikmati setiap tegukan minuman sodanya.     “Kurasa tidak, dia teman SMPku,” sahut Zaky. Terang saja Liana tak akan tahu karena teman yang dimaksud Zaky hanyalah kebohongan belaka. Ini adalah misinya untuk mendekati Liana.     Itulah kenapa ia sudah mempersiapkan segalanya dan bahkan mencari tahu kehidupan dan kebiasaan Liana hingga sedetail mungkin. Liana yang tak curiga sedikit pun hanya mengangguk tanda mengerti dan tak ingin memperpanjang apa pun lagi.     Liana kemabli meneguk sisa minumannya, sebelum menyambung percakapannya. "Bagaimana latihanmu, Zaky?"     "Lumayan. Tapi kami masih butuh refrensi lebih banyak lagi. Aku rasa masih ada beberapa gerakan yang harus kami mantapkan dan bicarakan lagi dengan pelatih. Kau sendiri bagaimana?" Zaky balik bertanya sambil tangannya menyodorkan sebungkus camilan yang sudah dibukan bagian atasnya.     Liana memang mendapatkan perannya juga dalam pementasan drama teater itu, hanya saja perannya hanya sebagai penduduk desa, yang hanya akan muncul dalam sekali dua kali adegan. Sejatinya ia kecewa, tapi karena ia tahu kemampuannya memang di bawah Clary jadi dia menerimanya dengan ikhlas. Itung-itung itu bisa mengcover nilainya yang turun semester ini.     "Kau tahu sendiri peranku tak begitu penting, jadi aku tak perlu terlalu banyak berlatih. Lagipula sekarang aku masih focus pada audisi di Jesin Intertainment.”     "Ah, ya … aku lupa tentang itu. Semangat ya, kau pasti bisa. Sudah lolos tahap pertama, ‘kan? Tahap keduanya kapan?” tanya Zaky bersemangat, seakan ia-lah yang tengah mengikuti audisi itu.     “Dua minggu lagi,” sahut Liana. "Kau dan Clary ... rasanya aku jadi sedikit iri pada kalian." Kata-kata Liana sontak membuat Zaky mengerutkan dahi.     "Iri? Kenapa?" tanya Zaky sedikit bingung.     "Kalian selalu mendapatkan semuanya dengan mudah, Clary bahkan menolak semua undangan dari agensi-agensi besar untuk bergabung dengan mereka, padahal hal itu hampir menjadi impian semua orang." Terdengar nada sedikit tak senang di dalam suara Liana membuat Zaky tersenyum iblis dalam hatinya.     "Kurasa itu hanya kebetulan. Menurutku kau tak kalah hebat darinya dan aku yakin kau pasti bisa lolos audisi dan menjadi bintang seperti yang kau inginkan," sahut Zaky mencoba membesarkan hati Liana. Gadis itu pun tersenyum senang. Zaky memanfaatkan kesempatan dengan mengacak poni Liana, hingga gadis itu merona, menunduk malu. “Begitu dong, sekarang semangat, ya.”     "Yup … terima kasih, Zaky. Kau sangat baik.”     Jadi kau iri pada sahabatmu Liana tenang saja akan kubuat kau bukan hanya iri padanya tapi juga membencinya. Zaky tersenyum iblis tanpa sepengetahuan Liana. Ia merasa semua rencana akan berhasil dengan sangat mudah. Yang diperlukannya hanya sedikit memberikan percikan pada rasa iri yang dimiliki Liana maka semua akan ‘BOOM’ meledak seperti bom waktu.   TBC.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD