Sadar Dari Koma

1057 Words
Seorang dokter, keluar dari ruangan yang dijaga begitu ketat. Ia sedikit lega melihat pasien kritisnya yang mulai berangsur membaik. Baru beberapa langkah, tak disangak ia bertemu dengan teman lama yang hampir 11 tahun tidak pernah ia jumpai. "Dokter Gavin," panggil suara bariton dengan lantang. "Iya?" Gavin belum bisa mengenali penampilan Bryan yang 100% berbeda dari Bryan yang dulu. Gavin dan Bryan adalah teman SMP. Semenjak kelulusan, mereka sudah tidak pernah bertemu lagi. Namun, ingatan Bryan yang tajam, tidak membuatnya begitu susuah untuk sekedar mengingat nama Gavin. "Anda tidak bisa mengenali saya?" tanya Bryan "Siapa ya? Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?" Kernyitan halus tampak jelas di kening Gavin. Ia sama sekali tidak mengenali sosok pria berkharisma yang ada di hadapannya ini. "Bryan Nicolas." Bryan menyebutkan namanya dengan jelas. "Astaga, Bryan? Benarkah ini Bryan teman Sekolahku dulu? Sungguh luar biasa perubahannya. Aku sampai tidak bisa mengenalimu. Kau dulu yang nampak kurus dan tinggi, terlihat seperti alien. Sekarang, begitu gagah dan mempesona." Gavin memegang lengan kekar Bryan. Masih tidak percaya, jika sosok yang ada dihadapannya ini adalah Bryan temannya. "Gak usah ngeledek!" semprot Bryan. "Ckck ... masih aja kaku." balas Gavin santai. Gavin merangkul pundak Bryan dan mengajaknya duduk di kursi tunggu pasien ICU. "Apa yang membuatmu repot-repot datang kesini? Dilihat dari penampilanmu, sepertinya kau seorang bos besar." tanya Gavin. "Jangan sok tahu!" ketus Bryan. Gavin memicingkan matanya. "Ayolah, Bryan. Aku tidak bodoh. Setelan jasmu saja nilainya begitu fantastis." jujur Gavin. Dia juga bisa membedakan mana barang original atau KW. "Sudahlah, jangan bahas itu. Aku tidak begitu tertarik membahasnya." Dari balik jendela, Bryan menatap ke arah gadis cantik yang terbaring lemah. "Baiklah. Apakah keluargamu ada yang sakit?" tanya Gavin lagi. "Tidak." Jawab Bryan sekenannya. "Lalu?" "Bagaimana keadaan gadis itu?" tanya Bryan sambil menggerakkan dagunya ke arah Nara. "Sudah stabil. Tinggal menunggu dia sadar saja. Paling satu sampai dua hari." jawab Gavin mantap. "Syukurlah." Setidaknya Bryan bisa lega untuk saat ini. "Apa dia kekasihmu, Bryan? Kalau memang iya, berarti aku kalah cepat denganmu," canda Gavin. "Ambil saja kalau dia mau sama kamu." Ekspresi Bryan begitu datar. Seperti ada ketidak relaan dari setiap kalimat yang terucap. "Aku bercanda, Bryan. Mana mampu aku, mengambil kekasih dari seorang Bryan Nicolas. Masih kalah jauh, Bos." terang Gavin. "Dia bukan kekasihku," jawab Bryan jujur. "Lalu, kenapa kamu begitu khawatir dengan kondisi gadis itu?" tanya Gavin yang mulai penasaran. "Aku yang menabraknya. Jadi, aku yang bertanggung jawab atas kesembuhannya." jelas Bryan "Oh, begitu? Sepertinya masih ada kesempatan nih?" terang Gavin. Mendengar itu, Bryan langsung mendelik. "Berani modus, baku hantam kita," ucap Bryan dingin. "Hahaha ... Bryan, Bryan. Bilangnya bukan kekasih, tapi dipancing sedikit, langsung emosi." Gavin tertawa puas. Ia begitu senang membuat Bryan kesal. "Bukan urusanmu." ketus Bryan. "Jelas urusanku. Aku menginginkan gadis itu!" goda Gavin lagi. Entah mengapa, ia begitu suka melihat Bryan cemburu. Bryan membuka matanya lebar-lebar. "Pilih kuburan atau rumah sakit?" ancam Bryan. "Hahaha ... Ampun, Bos. Ampun!" tawa Gavin langsung pecah. Bryan terlihat acuh. Ia memfokuskan kembali pandangannya pada gadis yang masih terbaring tak berdaya. "Gavin," panggil Bryan. "Yes? What happen?" jawab Gavin. "Berapa persen kemungkinannya gadis itu menjadi amnesia?" tanya Bryan to the point. "Emmm ... besar kemungkinan dia bakal amnesia. Karena benturan yang cukup keras di bagian kepala, membuatnya gagar otak ringan. Namun, pihak medis juga tidak bisa memastikan dengan pasti, sebelum pasien benar-benar sadar. Jadi, tunggu saja sampai gadis itu sadar, baru bisa dipastikan apakah dia mengalami amnesia atau tidak," jelas Gavin membuat Bryan sedikit lega. Masih ada kemungkinan buat gadis itu menjadi miliknya. "Baik, terima kasih karena Anda sudah merawat gadis itu dengan baik. Tolong pantau selalu perkembangannya. Soal biaya, saya akan tanggung berapa pun nominalnya." Bagi Bryan, kehilangan sebagian kecil uangnya, tidaklah masalah. "tidak perlu berterima kasih, itu sudah menjadi tugas kami sebagai tenaga medis yang akan mengupayakan keselamatan pasien." Gavin menepuk pundak Bryan. Kemudian ia pamit dan berlalu dari hadapan Bryan karena masih ada urusan yang harus diselesaikan. Di dalam ruang ICU, tubuh Nara tiba-tiba mengejang. Bryan yang melihatnya dari luar, terlihat begitu khawatir. Tanpa pikir panjang, Ia langsung berlari dan menerobos pintu masuk. Beberapa petugas yang berjaga di sana berusaha mencegah Bryan masuk ke dalam. Mereka begitu kesulitan menahan tubuh kekar Bryan yang sedari tadi sudah berontak ingin masuk. Bryan yang kesal langsung berubah seperti orang kesetanan. "Minggir! Jangan halangin saya masuk!" bentak Bryan dengan suara yang lantang. Seketika, wajah-wajah lelah petugas medis langsung terkesiap. "Maaf, Tuan. Tuan dilarang masuk. Mohon pengertiannya. Biarkan pasien istirahat dengan nyenyak. Tolong jangan buat keributan di sini, Tuan." Seorang petugas berusaha menenangkan. "Saya sudah bersikap baik-baik, tapi teman-teman Anda yang mencari masalah. Biarkan saya masuk!" bentaknya lagi, namun dengan suara yang lebih pelan. "Ada apa ini?" Dokter Gavin yang baru datang, langsung melerai perdebatan Bryan dan tenaga medis itu. "Begini, Dok. Tuan muda ini memaksa untuk masuk ke dalam. Kami mencegah beliau agar pasien bisa beristirahat dengan nyenyak. Tapi tuan muda ini tidak terima dan membuat kegaduhan di sini." Petugas kesehatan itu memberi penjelasan pada Gavin. "Vin, gue mohon. Izinin gue masuk ke dalam, Vin. Gadis itu tadi kejang-kejang. Gue cuman mau temenin dia, Vin." pinta Bryan pada temannya itu. Bahkan, Bryan tidak segan untuk memanggil Gavin dengan sapaan lo-gue. Sebenarnya Gavin sudah tahu kalau Nara mengalami kejang. Karena itu, Gavin langsung kesini saat mendapat kabar dari telepon di ruangan. Gavin tersenyum. "Biarkan dia masuk. Dia teman saya. Gadis itu sudah sadar," ucap Gavin. Ya, Nara memang sudah sadar. Gavin tahu keadaan Nara, karena dia selalu memantau perkembangan gadis itu. Wajah sumringah Bryan langsung terpancar. Ia begitu bahagia dengan kabar ini. "Lo serius Vin?!" tanya Bryan antara percaya dan tidak percaya. "Iya, Bryan. Kalau gak percaya, ayo kita masuk," ajak Gavin. "Gue sendiri yang lihat dia kejang tadi. Lo gak bohong 'kan sama gue?!" tanya Bryan penuh selidik. "Gue tau kalo gue orangnya suka bercanda, tapi gue gak bakalan berani bercandain soal nyawa, Yan. Ini sungguh diluar ekspektasi gue. Ini semua mukjizat dari Tuhan dan semangat yang tinggi dari gadis itu untuk bisa kembali tersadar." Gavin menjelaskan dengan tenang. Bryan melihat Gavin secara seksama. Tidak ada sedikit pun kebohongan dari ucapan dan matanya. "Oke, gue percaya. Thanks banget, lo udah berusaha yang terbaik buat gadis itu." Gavin merangkul Bryan. "Udah, gak usah berterima kasih. Ayo masuk. Lo udah gak sabar kan pengen ketemu dia?" goda Gavin. "Tau aja lo. Yookk!" Bryan membalas rangkulan Gavin. Mereka lalu berjalan masuk menemui Nara. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD