1. Aurum Sastrawiguna

1689 Words
゚☆ 。 _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ ׂׂૢ་༘࿐ ゚☆ 。 ┊ ⋆ ┊ . ┊ ┊ ┊ ⋆ ┊ . ┊ ┊ ┊ ⋆ ゚☆ 。 ┊ ┊⋆ ┊ . ┊ ⋆ ┊ . ┊ ┊ ゚☆ 。 ┊ ┊ ⋆˚  ┊ ⋆ ┊ . ┊         ゚☆ 。 ✧. ┊┊ ⋆ ┊ .┊ ⋆          ゚☆ 。 ⋆ ★ ┊ ⋆ ┊ . ゚☆ 。 ┊ ⋆ ┊ . ゚☆ 。 ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ༉‧₊˚. ゚☆ 。 H A P P Y R E A D I N G ゚☆ 。 ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ༉‧₊˚. - "Kenapa orang lain bisa mudahnya mendapatkan apa yang mereka mau? Sedangkan aku, itu adalah hal yang mustahil. Ah, apa mungkin hanya aku yang kurang bersyukur? Entahlah, tapi aku rasa aku belum menemukan sebuah kehidupan yang adil untukku." - * * * Aku 17 tahun. Aku masih belia. Aku masih seorang remaja. Aku yang tak seharusnya sudah mempunyai pikiran yang bercabang. Tentang diriku, sekolahku, sosialku, ekonomi keluargaku, juga mimpiku. Ketika teman-temanku menangis karena diputuskan oleh kekasih mereka, atau menangis karena persahabatan mereka retak, tapi aku menangis merintih bagaimana lagi caranya agar aku dapat mendapatkan uang. Ayahku berdagang produk asli buatan keluargaku. Hanya kedai bakso kecil yang selalu ramai pelanggan, itu sepertinya mampu memenuhi semua kebutuhan keluargaku. Namun, ternyata tidak. Setiap harinya, hasil laba penjualan bakso ayahku langsung masuk dalam dompet bendahara rumah. Siapa lagi jika bukan ibu? Dia yang mengatur semua uang kelurgaku. Tetapi perlu kalian ketahui, semua uang itu perlahan lenyap. Kerap kali penggunaannya tak terlihat di mata. Tak seperti membeli perabotan atau membeli stok bahan makanan, justru uang di ibuku itu, aku tak tahu dia memakainya untuk apa. Yang jelas, setiap ayahku meminta uang untuk memperbaiki motor saja, ibuku enggan mengasih. Padahal semua uang ayah ada di ibu. Ibu bilang, ibu tak punya uang. "Aurum!" Gawat. Itu suara ibu. Dia pasti akan menyuruhku melakukan sesuatu malam ini. Astaga, tugas sekolah yang deadline-nya besok, belum aku selesaikan. Sebelum aku memasuki kamar tadi, aku baru saja mencuci pakaian keluargaku. Karena tidak ada mesin cuci, aku harus mencuci pakaian sebanyak 2 ember besar itu secara manual. Aku bergegas, menulis secepatnya di buku tugas biologi. Masa bodoh dengan buku diary yang masih terbuka karena tulisanku tadi. Brak!! Pintu kamarku terbanting dengan hebatnya. Aku seketika membeku. Jujur saja, aku sudah biasa mendengar bantingan pintu seperti tadi. Hanya saja, telinga dan jantungku belum bisa beradaptasi. "Apa, Bu?" tanyaku dengan halus. "Apa-apa, itu piring belum dicuci! Belajar terus kerjaannya, kayak mau jadi apa?!" seru ibuku menggebrak meja belajar yang ada di depanku. Aku menunduk lesu, mencoba menarik napas panjang lalu ku keluarkan perlahan. Mencoba untuk tetap sabar dan bersikap lembut tidak menentang kepada ibuku. "Maaf Bu, Aurum lagi istirahat sebentar, tadi habis nyuci pakaian. Ini tugas sekolah Aurum juga masih banyak, Bu." Aku coba mencoba membujuk ibu, siapa tahu dia memberiku keringanan agar mengerjakan tugas sekolahku terlebih dahulu. "Alasan! Sana cepat cuci piring! Nggak usah ngerjain tugas segala, emang bisa ngasilin duit? Enggak, kan?!" Ibu menarik tanganku secara paksa. Aku tak tahu harus bagaimana. Masa iya, aku harus melawan perintah seorang wanita yang telah melahirkanku? Itu tindakan tercela, bukan? Aku sampai di depan wastafel. Piring, gelas mangkok, wajan, semua terlihat begitu kotor. Ibu meninggalkanku di sini. Dan dia justru berbaring santai di hadapan televisi. Aku menghela napas kecil. Mencoba tersenyum untuk menghibur diri sendiri. "Nggak papa, Aurum. Tugasnya nanti bisa lembur kok. Nggak masalah kalo nggak tidur!" gerutuku. Aku mulai menyalakan kran air, aku membiarkan tangan yang teman-temanku bilang jika tanganku itu halus dan sangat cantik. Tapi, aku merelakannya untuk mencuci tumbukan peralatan makan yang kotor. "Aurum, cepat bikin ibu teh manis anget!" Teriakan ibuku dari ruang keluarga terdengar begitu nyaring dan menggelegar. Aku memejamkan mata sekilas. Belum juga pekerjaan satu selesai, sudah ada pekerjaan lain. Aku mencuci tangan, lalu mematikan kran air. Dengan sigap, aku menata gelas, gula, juga teh celup. Aku menuangkan 2 sendok makan gula pasir ke dalam gelas itu. Ibu aku memang suka yang manis. Ku letakan teh celup itu menggentung pada gelas. Lalu aku tiangkan air putih yang panas. Teh manis hangat selesai. Aku membawa gelas teh itu dengan pelan menuju tempat ibu. "Ini Bu, tehnya. Aurum lanjut nyuci dulu, ya, Bu." Aku meletakan gelas itu di atas meja samping tempat ibuku berbaring. Lantas, aku kembali ke dapur untuk melanjutkan pekerjaanku. Dua puluh menit. Aku menyelesaikan cucian piring selama itu. Tiba-tiba, aku teringat dengan ayahku. Ah, dia pasti sedang berkeliling menjual bakso yang tidak laku tadi. Aku iseng membuka tudung saji. Aku tersenyun kecut. Tidak ada makanan apapun yang bersembunyi di sana. "Ibu, ayah bentar lagi pulang, ini nggak ada makanan apapun?" tanyaku berteriak karena jarak aku dah ibu cukup jauh. "Nggak ada. Tinggal masak mie aja, kenapa harus ribet? Nanti juga ayahmu masak sendiri," sahutnya. Aku tertegun, ayah yang sampai pukul setengah 10 malam belum pulang, berkeliling kompleks dan jelas begitu lelah dan lapar, namun bila ia sampai di rumah ia harus memasak mie sendiri? Tidak. Aku tidak tega dengan hal itu. Aku membulatkan tekad, tak masalah jika urusan tugas sekolahku yang akan dikerjakan tertunda lagi untuk diselesaikan. Aku membuka lemari atas kompor. Dan ya, ada beberpa mie instan di dalamnya. Aku mengambil satu mie rebus lalu segera aku masak. Sembari menunggu mie matang, aku mengetuk-ngetukkan tanganku diatas meja makan. Bersenandung kecil, melepaskan beban yang aku pikul. Beberapa menit berlalu, syukurlah, memasak mie tidak perlu memakan waktu lama. Aku segera menuangkan mie itu ke dalam mangkok yang sudah terdapat bumbu. Ditambah kecap, saus, daun bawang, juga bawang goreng. Aku meletakan mie siap santap itu di bawah tudung saji. Biar nanti jika ayahnya pulang, bisa langsung makan. Setelah itu, aku berlari ke lantai dua hendak melanjutkan mengerjakan tugas sekolah. Cahaya remang-remang di kamarku tak membuatku goyah. Aku sengaja. Sengaja hanya menyalakan lampu tumblr juga lampu belajar. Ini sudah pukul 22.00 , tapi aku masih berkutik dengan buku-buku di depanku. Lelah? Kalau boleh jujur, aku juga tak tahu mengapa aku tak merasa lelah sama sekali. Hanya saja, kepalaku begitu pening karena memikirkan tahap selanjutnya. Aku memandang tulisan di dinding. "Di mana pun kamu, kamu adalah pemimpi." Jika ingin tahu, aku sangat ingin kuliah. Aku ingin melanjutkan study-ku. Tapi ... nyatanya tidak mudah. Aku masuk ke SMA Khatulistiwa karena aku yang memaksa. Karena aku dapat jalur yang istimewa dengan kepintaranku. Hanya saja, jalur istimewa mungkin tak akan sampai di perguruan tinggi. Ah, dari lubuk hatiku, aku sangat menginginkan kuliah di universitas ternama di Indonesia. Beasiswa? Mungkin aku dapatkan. Tapi, bagaimana dengan perlengkapan dan izin dari orang tuaku? Sepertinya itu akan sangat susah. Aku hanya gadis biasa. Meski banyak orang menilaiku sebagai gadis cantik, periang, dan pintar, aku rasa aku tidak seberuntung itu. Aku tidak seberuntung orang yang memiliki kesempatan untuk mengejar mimpi mereka. Aku tak seberuntung orang yang bisa mendapatkan sesuatu yang ia inginkan secara instan. Karena aku harus berjuang mati-matian untuk mendapatkan apa yang aku tuju. Satu tujuan terbesarku tahun ini, aku bisa lanjut sekolah. Itu saja. Aku bahkan tak sempat memikirkan hal yang biasanya remaja lain pikirkan. Layaknya romansa, hangout, intinya aku tidak memikirkan how to life fun. Aku hanya mementingkan, aku harus memperjuangkan apa yang ingin aku dapatkan. Aku menatap layar ponselku dengan jenuh. Mada dering telepon dari seseorang yang cukup menyebalkan menurutku. Raksa Andera. Nama itu terpampang jelas. Cowok yang menyebalkan karena setiap hari usil kepadaku. Aku menggeser ikon angkat. Ku letakan handphone-ku di telinga kanan. "Apa?" tanyaku dingin. "Rum! Besok berangkat sama gue, ya? Males masuk sekolah tapi nggak ada gandengan." Untungnya, sinyal di rumahku malam ini sedang lancar sehingga aku bisa mendengar suara Raksa yang seorang playboy. "Nggak. Bilang aja lo njemput gue karena ingin nyalin pr, kan? Raksa, coba kerjain sendiri ngapa. Ini tahun ke tiga, masa masih kayak gitu!" omelku pada Raksa. "Iya, makin sayang deh sama lo. Tapi sayangnya cuma gue doang yang ngerasain itu, lo nya enggak." Aku memutar bola mataku jengah. Cowok yang seperti Raksa ini mulutnya memang sering dimanis-maniskan tapi akhirnya menyakitkan. "Kita temen. Titik!" Setelah mengatakan itu, aku memutuskan panggilan telepon secara sepihak. Aku tidak tahu harus menjelaskan memakai bahasa apa lagi agar Raksa paham dan berhenti mendekatiku. 。・ : * : ・ ゚ ★ , 。 ・ : * : ・ ゚☆ 。 ・ : * : ・ ゚ ★ , 。 ・ : * : ・ ゚ ・ : * : ・ ゚ ★ ,。 ・ : * : ・ ゚ ☆ ・ ゚ ★ , 。 ・ : * : ・ ゚ ☆ 。 ・ : * : ・ ゚ ★ ,。 ・ : * : ・ ゚ ☆ ・ ゚ ★ , 。 ・ : * : ・ ゚ ゚☆ 。 _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ ׂׂૢ་༘࿐ ゚☆ 。 ┊ ⋆ ┊ . ┊ ┊ ┊ ⋆ ┊ . ┊ ┊ ┊ ⋆ ゚☆ 。 ┊ ┊⋆ ┊ . ┊ ⋆ ┊ . ┊ ┊ ゚☆ 。 ┊ ┊ ⋆˚  ┊ ⋆ ┊ . ┊         ゚☆ 。 ✧. ┊┊ ⋆ ┊ .┊ ⋆          ゚☆ 。 ⋆ ★ ┊ ⋆ ┊ . ゚☆ 。 ┊ ⋆ ┊ . ゚☆ 。 ゚☆ 。 ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ༉‧₊˚. ゚☆ 。 S E E Y O U I N T H E N E X T C H A P T E R ! ! ! ! ゚☆ 。 ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ༉‧₊˚..
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD