2. Dia Orang Aneh!

1846 Words
゚☆ 。 _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ ׂׂૢ་༘࿐ ゚☆ 。 ┊ ⋆ ┊ . ┊ ┊ ┊ ⋆ ┊ . ┊ ┊ ┊ ⋆ ゚☆ 。 ┊ ┊⋆ ┊ . ┊ ⋆ ┊ . ┊ ┊ ゚☆ 。 ┊ ┊ ⋆˚  ┊ ⋆ ┊ . ┊         ゚☆ 。 ✧. ┊┊ ⋆ ┊ .┊ ⋆          ゚☆ 。 ⋆ ★ ┊ ⋆ ┊ . ゚☆ 。 ┊ ⋆ ┊ . ゚☆ 。 ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ༉‧₊˚. ゚☆ 。 H A P P Y R E A D I N G ゚☆ 。 ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ༉‧₊˚. - "Rotasi pertemuan. Ah, aku lelah dengan itu. Bertemu dengan orang, mengenal, dekat, lalu pergi tanpa sebuah kata yang terucap. Maka dari itu, Aku putuskan untuk menutup diriku sementara. Aku hanya sedang menjaga hatiku, agar tidak terluka lagi nantinya." - * * * Aku membuka mataku perlahan. Entah mengapa cahaya intensitas matahari masuk dalam kamarku sangat banyak. Aku menoleh ke arah jam dinding. Seketika mataku membelalak. Oh tidak, jam setengah tujuh? Aku bergegas bangkit, lari ke kamar mandi. Bagaimana bisa aku kesiangan? Pekerjaan rumah pagi ini pasti sudah menunggu. Kenapa ibu tak membangunkanku? Apa dia suka jika aku terlambat masuk sekolah? Selesai mandi dan memakai seragam putih abu-abu, aku merapikan tempat tidurku. Lantas menatap diriku di depan cermin. Menyisiri rambut, memoleskan pelembab bibir dan tabir surya. Sudah, cukup 2 itu yang aku pakai. Aku mengucir rambutku dengan tergesa-gesa. Biarlah sepertinya sedikit tidak rapi. Aku menyambar tas maroon kesayanganku yang sudah lusuh. Keluar dari kamar dan langsung mencari sapu. Aku berlarian ke sana ke mari di rumahku sendiri. Menyapu dari belakang, ke depan. Lalu mengepel dari belakang ke depan. Sesudah itu aku mencoba membuka tudung saji. Perutku terasa melilit. Aku kelaparan pagi ini. Namun, sudah diketahui jawabannya bahwa tidak ada makanan sedikitpun di meja makan. Ayah dan ibuku pasti sudah ada di kedai pagi ini. Tunggu. Aku ralat. Maksud aku, ayahku yang sudah ada di kedai ujung kompleks. Ya, sepagi ini karena untuk membuat adonan bakso. Sementara ibu, dia pasti masih tertidur dengan pulas. Aku menatap arlogi di tanganku. Masih ada waktu lima belas menit yang aku bisa gunakan sebelum sekolah di tutup. Aku menaruh tasku di kursi meja makan. Mengeluarkan telur, daun bawang, dari dalam kulkas. Aku bergegas membuat nasi goreng. Tak apa lah, semoga aku dapat sampai sekolah tepat waktu. Ibu akan memarahiku habis-habisan jika aku tidak membuat sarapan. Maka dari itu, aku sempatkan diri untuk membuat sarapan. Nasi goreng selesai, aku kembali mengecek arlogiku. Astaga, sudah terbuang 10 menit! Aku meletakan nasi goreng itu di bawah tudung saji. Aku tak memakannya sedikit pun karena harus berangkat sekolah. Dengan buru-buru, aku mengayuh sepedaku menuju SMA Khatulistiwa sembari merapalkan doa semoga aku tidak terlambat. Aku mengayuh sepeda itu begitu cepat. Hingga sampai tinggal 200 meter dari sekolahku, rantainya lepas. Mampus. Aku harus mendorongnya sampai ke sekolah. Aku berlari sebisaku dan sampai di depan sekolah dengan gerbang masih terbuka, namun upacara sudah berlangsung. Mati aku, aku pasti akan dihukum oleh Pak Kusmanto! Aku meletakkan sepedaku di parkiran depan. Ya, biasa seperti itu. Sepeda di parkiran depan, dan kendaraan lain di parkiran dalam. "Hei, kamu tas maroon! Cepat sini baris!" Aku menoleh, langsung disambar oleh tatapan Pak Kusmanto yang menyeramkan. "Saya, Pak Kus?" tanyaku sekedar memastikan. "Iya, kamu! Siapa lagi siswa yang ada di sini?!" ujar Pak Kusmanto dengan lantang. "Good morning everyone! Good morning, Pak Kus! Hari ini cerah banget, ya, Pak? Pak Kus juga kelihatan lebih seger. Tambah muda pula, Pak. Kalah nih muka Ar yang ganteng membahana." Aku melihat seorang cowok menaikkan alisnya, dia mengenakan hoodie hitam, dan mendekati Pak Kusmanto. "Nggak perlu puji-puji saya. Bapak tahu itu trik kamu biar lolos hukuman, kan? Argentum, sudah berapa kali kamu telat? Bahkan buku poin kamu sudah penuh!" Pak Kusmanto mengangkat tongkat rotannya. "Alah Pak Kus korup kali. Pantesan Ar baru telat 100/365 hari masa iya buku poinnya langsung penuh. Dan hari ini, Ar telat gara-gara dia tuh, Pak. Dia aja yang dihukum, Ar nggak usah." Aku terperangah. Menganga tidak mengerti. Cowok itu menunjukku? Sebentar. Dia menuduhku? "Gue aja nggak kenal sama lo! Main fitnah aja!" Aku mendekati cowok yang dipanggil Ar tadi. "Kalian itu sama-sama melanggar aturan! Sekarang baris di barisan siswa telat!" Baik aku maupun Ar memekik kesakitan karena mendapat jeweran oleh Pak Kusmanto. "Pak! Ini kuping kebanggaan Putra Mahkota jangan dijewer, dong! Sakit, Pak Kus!" protes Ar mengusap telinga bekas jeweran Pak Kusmanto. Aku melirik ke arah cowok itu. "Lebay!" tukasku. Jujur saja, aku membenci tipe cowok seperti Ar. Sangat berisik dan menyebalkan. Padahal, aku tak merasa begitu kesakitan. "What? Putra Mahkota dikatain lebay?! Eh lo ngga kenal gue apa?" Cowok itu menyapukan rambutnya ke belakang lalu mengangkat dua alisnya. Aku bergidik sengit. Pikirku, ada yah cowok yang terlampau percaya diri seperti dia? "Nggak!" jawabku ketus. "Gue itu pemimpin triple K! Kerajaan Ketampanan Khatulistiwa!" Aku mengangkat kedua bahuku, masa bodoh dengan ucapan cowok itu. Lagian untuk apa aku meladeninya? Buang-buang waktu! Aku memilih berjalan menuju barisan siswa telat lainnya di barisan paling belakang sembari memasang topiku. Sayangnya, dewi fortuna tidak sedang berpihak padaku kali ini aku justru berbaris tepat dibawah sinar matahari yang sangat panas. Meski cahaya matahari baik untuk pagi hari, tapi rasanya tetap saja panas. Aku menoleh ke samping kananku karena ada yang tiba-tiba mencubit lengan atasku. Kurang ajar, siapa yang berani memancing emosiku? Aku mendesis kesakitan, mataku mulai berapi-api ketika yang kulihat ternyata cowok tadi. Dia berdiri di sampingku. Hanya kita berdua saja yang berada di barisan akhir. Aku menatap tajam ke arahnya. Tatanan cowok itu sangat menciptakan gelak tawa di perutku. Bajunya dengan kancing pendek sebelah, rambutnya yang masih mengembang, kaos kakinya yang berwarna kuning. Astaga apa cowok itu tidak sadar? Tatanan seperti itu dia mengaku sebagai apa tadi? Putra Mahkota? Pemimpin Kerajaan Ketampanan Khatulistiwa? Dasar ngawur! "Lo mau kabur, nggak?" tanya cowok itu kepadaku. Aku hanya menggeleng pelan. "Ayo lah, gue ada ide. Ntar gue pura-pura pingsan dalam hitungan ke tiga." Dia terus merengek seperti anak kecil. "Satu .... " Aku berdecak ketika cowok itu mulai menghitung. Dia tidak main-main rupanya. "Dua .... " Aku tak menggubris. Silau sekali saat cahaya matahari menyorot tepat di mataku. Aku menunduk, ada yang tidak beres dengan tubuhku. "Ti--" Aku terjatuh ke arah cowok itu. Namun aku masih bisa mendengar pekikannya yang sangat tak enak didengar. "Ga! Weh, kok lo yang pingsan?" * * * Aku membuka mataku perlahan. Ruangan bernuansa putih memenuhi pandanganku. Di mana aku? Terakhir kali aku ingat di upacara. Terakhir suara yang aku dengar adalah suara cowok itu. "Gila, lo aktingnya alami banget! Gue sampe di suruh Pak Sus buat jagain lo. Tapi seharusnya lo pingsan yang lama aja, jadi gue lebih lama ngumpet di sini!" Ar menggerak-gerakkan tubuhku seperti sedang membangunkanku dengan cara yang sangat membuatku kesal. Apa dia pikir aku tidak merasa pusing? "Gue nggak akting!" bantah aku. "Hah? Jadi, lo beneran pingsan?" Aku mengangguk. "Kayaknya, soalnya gue nggak sadar." "Karena? Tadi anak PMR bilang keknya lo belum sarapan sih, jadi mereka nyiapin bubur. Tapi gue mikirnya lo akting, ya gue udah makan buburnya." Demi apapun, aku ingin segera hengkang dari hadapan cowok yang satu ini. Dasar cerewet! Membuat kepalaku semakin pening rasanya. Aku memegangi perutku yang belum terisi apapun hari ini. Pantas saja jika aku pingsan tadi. "Oh iya, gue Argentum. Panggil aja Ar." Argentum menyodorkan tangan kanannya seakan mengajakku bersalaman. Namun, aku menampik kasar tangan itu. Berkenalan artinya akan berurusan lagi nantinya. Dan aku tidak mau hal itu terjadi. "Gue nggak nanya!" "Sombong amat jadi orang!" protesnya. Bersedekap tangan. Aku memperhatikan Ar. Rambutnya sudah klimis, baju sekarang yang ia kenakan juga sudah rapi. Tapi tetap saja aku sangat kesal kepadanya. "Suka-suka gue!" "Aurum!" Aku menarik senyum lebar ketika ke lima sahabatku memasuki ruang UKS. Mereka adalah sumber kekuatanku untuk terus melaju dalam roda kehidupan. "Mana yang sakit? PMS ya, lo?" Aku mengerutkan dahi. Belum juga aku menjawab, Hani yang bertubuh tinggi kurus itu langsung memberikan sugesti seenaknya. "Haduh, loyo! Apa perlu gue bikinin jamu beras kencur?" tawar Wulan kepadaku. "Heh! Mending kompres air anget perutnya, terus dikasih obat kek. Tapi, ini Aurum bukan PMS keknya. Dia pasti nggak sarapan! Ish, lo gimana sih, Rum? Sarapan itu penting. Tubuh kita itu butuh kalori buat jalanin aktivitas!" Nah, kalau yang ini adalah sahabatku yang selalu mementingkan kesehatan. Dia Levi, gadis yang hampir sempurna. Tingginya setara dengan Jihan, namun badannya sangat ideal. "Udah, kasih Aurum fotonya Bang Ferrum aja. Tu anak pasti auto girang!" Aku mendesah pelan. Elsa gadis sipit berwajah garang itu membuatku semakin murka. Apalagi jika aku sudah mendengar nama Ferrum. Cowok yang pernah ku taksir namun aku hanya dianggap sebagai adik. "Ferrum terus, kayak nggak ada cowok ganteng lain!" keluh Yaffa sinis. Dia memang sepertinya sudah bosan mendengar nama Ferrum terus menggema. "Lah, ini gue ada. Paling ganteng seantero Khatulistiwa malahan!" Tunggu. Aku pikir Ar sudah pergi. Namun suaranya masih di sekitarku. Aku menoleh ke sebelah kanan, ternyata Ar duduk berjongkok dan bersender di dinding. "Gue mau cabut. See you next time, Aurum." Argentum melambaikan tangan ke arahku sembari tersenyum. Ya, cowok itu benar-benar gila. * * * 。・ : * : ・ ゚ ★ , 。 ・ : * : ・ ゚☆ 。 ・ : * : ・ ゚ ★ , 。 ・ : * : ・ ゚ ・ : * : ・ ゚ ★ ,。 ・ : * : ・ ゚ ☆ ・ ゚ ★ , 。 ・ : * : ・ ゚ ☆ 。 ・ : * : ・ ゚ ★ ,。 ・ : * : ・ ゚ ☆ ・ ゚ ★ , 。 ・ : * : ・ ゚ ゚☆ 。 _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ ׂׂૢ་༘࿐ ゚☆ 。 ┊ ⋆ ┊ . ┊ ┊ ┊ ⋆ ┊ . ┊ ┊ ┊ ⋆ ゚☆ 。 ┊ ┊⋆ ┊ . ┊ ⋆ ┊ . ┊ ┊ ゚☆ 。 ┊ ┊ ⋆˚  ┊ ⋆ ┊ . ┊         ゚☆ 。 ✧. ┊┊ ⋆ ┊ .┊ ⋆          ゚☆ 。 ⋆ ★ ┊ ⋆ ┊ . ゚☆ 。 ┊ ⋆ ┊ . ゚☆ 。 ゚☆ 。 ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ༉‧₊˚. ゚☆ 。 S E E Y O U I N T H E N E X T C H A P T E R ! ! ! ! ゚☆ 。 ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ༉‧₊˚..
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD