10. My Begining

2079 Words
゚☆ 。 _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ ׂׂૢ་༘࿐ ゚☆ 。 ┊ ⋆ ┊ . ┊ ┊ ┊ ⋆ ┊ . ┊ ┊ ┊ ⋆ ゚☆ 。 ┊ ┊⋆ ┊ . ┊ ⋆ ┊ . ┊ ┊ ゚☆ 。 ┊ ┊ ⋆˚  ┊ ⋆ ┊ . ┊         ゚☆ 。 ✧. ┊┊ ⋆ ┊ .┊ ⋆          ゚☆ 。 ⋆ ★ ┊ ⋆ ┊ . ゚☆ 。 ┊ ⋆ ┊ . ゚☆ 。 ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ༉‧₊˚. ゚☆ 。 H A P P Y R E A D I N G ゚☆ 。 ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ༉‧₊˚. "Aurum! Cepet, dong! Lelet banget, sih, kamu?!" Aku bergegas mengangkat nampan berisi dua mangkok bakso ke salah satu meja di kedai milik ayahku. Malam ini banyak pelanggan yang datang. Pundakku sampai terasa pegal. Aku dapat menghitung, sekitar 30 mangkok bakso aku angkat. Teriakan ibu membuatku tersadar bahwa aku harus bergegas. Pukul sembilan malam, aku fokus berkutik untuk membantu kedua orang tuaku terlebih dahulu. Tugas? Bisa begadang. Menulis? Bisa begadang juga. Langkahku terhenti seketika karena nampan yang aku bawa seperti dicekal kuat. Aku mendongak, Raksa sudah di hadapanku dengan menyengir. Untuk apa bocah gendeng itu ke sini? "My princess, lagi sibuk banget, ya? Padahal gue ke sini mau ngajakin lo makan," ucap Raksa tampak begitu senang. Benar-benar gila tuh anak. Mau apa tadi? Makan? Ah, yang benar saja! Lihatlah, aku masih banyak pekerjaan, aku tak mungkin bisa bersantai sebentar. "Gue sibuk. Kalo ke sini cuma mau ngerecokin, mending lo pulang, Sa." Raksa mengerucutkan bibirnya. Rupanya dia sedang drama seakan-akan marah padaku. "Aurum, kan gue udah di sini, masa diusir, sih? Gue mau lihat lo, kangen banget tau nggak ... " rintih Raksa mengecilkan suaranya. Sungguh, Rasa adalah cowok yang pandai bermain peran. Andai saja jika dia bukan termasuk salah satu sahabatku, akan aku tendang dia dari kedai bakso ini. "Gue banyak kerjaan, gue nggak bisa santai. Nih, gue aja mau nganterin ini ke meja depan. Jadi, mending lo minggir sekarang atau gue siram pake kuah bakso?!" Bukannya merasa kecewa karena mendapat omelanku, Raksa justru terkekeh renyah. Aneh sekali. Cowok ini sebelah dua belas dengan Argentum. "Gu bantu, ya, Rum. Lo duduk aja istirahat. Kesayangan gue nggak boleh capek-capek intinya." Raksa mengambil nampan yang aku bawa. Dia segera mengantarkan bakso di atas nampan itu ke meja depan. Aku hanya mengangkat sebelah alisku. Kesayangan? Ish, menggelikan! Pikiranku tiba-tiba saja menjadi melesat kepada Argentum, terlebih dengan kejadian sore tadi. Aku calon pacarnya? Argentum suka kepadaku? Hatiku berkecamuk antara harus percaya atau tidak terhadap cowok itu. Jujur, aku tak mau sakit hati nantinya. Terlepas dari itu, Raksa sudah mendekatiku selama dua tahun lamanya. Berulang kali aku menolaknya, tapi dia tak gentar. Ah, aku jadi bingung, apa aku harus memilih di antara mereka berdua? Tapi aku tak ingin berharap lebih. Aku sedang berada dalam zona nyaman untuk mencintai diriku sendiri. Menikmati kesibukan, menikmati apa yang aku inginkan, tak terlibat dengan perasaan seseorang. Ya, aku sangat nyaman. Aku memilih duduk sejenak untuk melepas rasa letih. Aku juga melakukan peregangan kepada anggota tubuhku yang terasa remuk. Aku sedikit memijat-mijati bagian pundak karena di situ lah rasa paling pegal menurutku. "Eh, eh, yang lain pada sibuk kerja mondar-mandir, kamu enak-enakan tidur di sini, hem? Dasar gadis pemalas!" Lagi-lagi suara ibu yang masuk ke indra pendengaranku. Aku juga inginya terus-terusan kerja agar cepat selesai. Nyatanya, tubuhku tak kuasa. Untuk berjalan dan penuh rasa pegal. Aku bangkit, aku mencoba untuk membuat diriku menjadi gadis kuat. Kembali ke arah dapur dan mengambil nampan lagi yang berisi mangkok. Pandangan mataku mendadak buram, aku mengangkat nampan dengan gemetar. Tidak. Tidak mungkin karena kecapean, bukan? "Rum ... Aurum?" Aku melihat Raksa dengan buram yang menggerakan tangannya seakan mengecek aku sadar atau sedang melamun. Prangg Aku tak sengaja menjatuhkan nampan yang aku bawa. Sura pecahan mangkok itu terdengar begitu nyaring. Tetapi, aku suara teriakan ibu yang penuh emosi lebih mendominasi telingaku. *** Aku membuka mataku dengan pelan. Cahaya glow in the dark, ruangan yang minim pencahayaan. Ah, ini kamarku. Tunggu. Kenapa aku bisa di sini? "Jadi anak kok bikin susah mulu! Gara-gara kamu, ayah terpaksa tutup kedai! Mangkok pecah, bikin geger pelanggan, dasar anak nggak berguna!" Telingaku berdenging saat aku mendengar suara nyaring ibu. Baru saja aku membuka mata, namun justru aku melihat ibu dengan aura penuh murka. Ah, sumbunya begitu pendek. "Bangun sini, kamu, Aurum! Kamu harus cari kerja sekarang! Sana jualan bakso bakar! Ibu nggak mau tau, kamu harus bayar kerugian yang tadi!" "Ibu, Aurum masih sedikit pusing." "Alah! Dasar lemah! Baru bantuin ngangkat mangkok sebentar doang aja pusing. Denger ya, Aurum, Ibu nggak mau tahu, kamu harus pulang dengan bawa duit banyak!" "Bu, Aurum mohon, izinkan Aurum istirahat malam ini ... " rintih aku masih berbaring. Ibu yang tadi di meja belajarku, dia berjalan cepat menuju ke arahku. Betapa tercengangnya aku saat ibu menarik paksa agar aku bangkit dari posisi berbaring. "Cepat!" "Bu ...." "Cepat, Aurum! Atau, malam ini kamu nggak boleh tidur di sini?!" Ibu terus menarikku sampai aku keluar dari kamar. Ya Tuhan ... apa aku memang tidak diizinkan untuk beristirahat sebentar? Sebentar saja, aku mohon. Aku ingin membuat kondisi tubuhku lebih baik. "Bu! Ibu apa-apaan, sih, narik-narik Aurum? Dia baru pingsan, Bu." Ayah menatapku dengan iba. Dia segera membantu aku meloloskan diri dari cekalan ibu. "Biarkan dia istirahat, dia pasti kecapekan, Bu," pinta ayah dengan lembut. "Dia tuh kecapean pasti gara-gara belajar! Salah sendiri dia malah ngurusin belajar sampai tengah malam!" "Aurum belajar juga untuk Ibu, biar Aurum sukses, untuk membahagiakan Ibu nantinya." "Membahagiakan? Ibu cuma butuhkan uang yang banyak, mana ada liat kamu sukses bikin Ibu bahagia, nggak akan, Aurum!" Kepalaku terasa pening. Kenapa? Kenapa setiap hari aku harus mendengar ibu dengan nada tinggi seperti ini. Ya Tuhan ... bisakan sebentar saja ibu berbicara kepadaku dengan lembut? Dalam pikiranku, aku bertanya-tanya, apa salahku kepada ibu? Apa aku pernah melukai hatinya? Rasanya, kenapa aku susah untuk menahan rasa sabarku. Dadaku terasak sesak, aku ingin menangis sejadi-jadinya. Namun, aku tak mau memperburuk keadaan. Aku memaksakan senyuman di bibirku muncul. Aku terus menunduk, aku tak mau menampakkan mataku yang sudah berair di depan orang tuaku. "Aurum, masuk kamar aja, ya? Istirahat, besok kamu sekolah." Ayah menepuk pundak aku, membuat aku tersadar aku harus sekolah besok. Tugas sekolah belum aku kerjakan, aku belum mulai menulis. Pekerjaanku banyak hari ini. Tapi, dalam benakku selalu tertanam, surga ada di bawah telapak kaki ibu. Aku menggeleng pelan untuk menjawab ayah. "Tidak, Ayah. Aurum harus turutin kata ibu." "Aurum, Ayah mohon kamu istirahat saja. Kamu kecapean, Aurum," pinta ayahku sekali lagi. "Aurum nggak mau, Ayah, Aurum mau--" "Argh! Kalian berdua berisik!!" bentak ibu melangkah pergi. Dia sepertinya merasa begitu kesal karena aku dan ayah. "Udah, istirahat aja, Aurum." Aku mengangguk pelan kepada ayah. Aku memilih menurutinya karena ibu tak memaksaku lagi. Mungkin, dia merasa sedikit tidak tega denganku tadi. Aku memasuki kamarku dengan gontai. Segera bersiap di depan meja belajar, menyalakan lampu belajar, juga membuka beberapa buku. Kali ini aku akan belajar fisika. Buku paket serta buku tulis telah aku siapkan. Oh, jangan lupakan buku tugasnya karena aku akan mengerjakan tugas fisika itu. Aku mulai memasang target, jam sudah menujukan pukul 22.00, pukul 00.00 aku harus sudah mengerjakan tugas fisika, membelajari materi baru fisika, mengerjakan latihan soal UTBK. Ya, aku yakin aku pasti bisa. Bersanding dengan kopi juga keripik kentang balado membuat aku tak bosan. Aku juga tak lupa untuk memutar lagu. Playlist chill songs adalah favoritku jika aku sedang belajar. Melodinya enak didengar, santai namun tak membuat kantuk. Tak terasa, aku sudah mengerjakan study targetku hari ini. Aku meregangkan ototku sejenak, untungnya rasa mengantuk aku belum datang. Okay saatnya beralih dengan kesibukan baruku. Aku mengulas senyumku dengan mudah untuk menimbulkan rasa semangat. Aku mulai berkutik dengan hanphone-ku. Masih os lolipop, namun aku tak masalah dengan itu. Aku mulai mencari platform menulis yang Argentum beritahukan kepadaku tadi sore. Mari kita mulai, Aurum! Step pertama, aku harus menentukan unsur intrinsik n****+ yang akan aku buat. Aku memutar otak secepat mungkin. Mencari judul, penokohan, watak, dan yang paling penting aku harus menentukan sebuah alur cerita. Bak bola bohlam yang menyala, aku mendapatkan ide untuk ceritaku. Aku membuat gambaran kasar terlebih dahulu mulai dari ide jalannya alur. Perkenalan, permunculan masalah, konflik, penurunan, dan penyelesaian. Dapat! Aku mulai menyusun ceritaku setelah mendapatkan judul dan nama-nama tokoh yang menarik. Aku tak memgerti kenapa malam ini otakku berkerja begitu cepat. Ah, apa karena ini semakin sunyi? Mungkin seperti itu. Aku terkejut saat aku hendak menulis, layar handphone-ku memunculkan sebuah panggilan masuk dari salah satu nama kontak di handphone-ku. Aku pun segera menggeser layar ke samping untuk menerima panggilan telepon itu. "Ih, kok masih tidur?! Aurum, jangan begadang, nggak baik untuk kesehatan!!" Aku refleks menjauhkan ponselku dari telinga. Astaga, Argentum mengagetkanku saja. "Terserah gue!" balasku. Aku mendengar suara Argentum yang menguap. Cowok itu mengantuk? Untuk apa dia justru menelponku bukannya tidur? "Lagi ngapain emang? Belajar, ya?" "Bukan." "Mau tidur?" "Belum." "Mau makan?" Aku hampir membanting handphone-ku sendiri karena mendengar suara Argentum. Muak sekali rasanya. "Mau nulis novel." "Ooh udah mau mulai? Semangat bener. Tapi nggak papa, gue dukung lo 100%. Semoga cepet dapet cuan, ya!" Aku memutar bola mataku dengan jengah. Apa Argentum tidak punya otak? Aku saja baru mulai, masa iya sudah memikirkan untuk cepat-cepat dapat uang. Sebentar. Aku lupa akan satu hal. Aku masih berhutang kepada Argentum. Ya Tuhan, kenapa aku justru lupa. "Gue, belum punya uang buat bayar utang ke lo, sorry," ujarku menurunkan nada. "Lo nggak perlu bayar. Gue ikhlas bantuin lo. Tapi kalo lo maksa bayar, lo bayar pake kasih sayang aja, ya?" Aku dapat mendengar Argentum terkekeh di seberang telepon. Ish, dia sengaja sekali menggodaku. "Dasar jomblo! Butuh kasih sayang aja pake ngemis segala!" tukasku. "Lah, lo kan jomblo juga, Aurum. By the way, coba dong tanyain gue lagi ngapain sekarang." "Ogah!" "Tanyain, ih. Kalo lo nggak mau tanya, gue nggak mau bantuin lo buat urus platform menulis," ancam Argentum dengan nada serius dari ujung telepon. Ada apa dia? Kenapa dia mendadak serius seperti ini? Aku sembari menata buku-buku yang tadi aku gunakan. Lalu aku hanya menyanding satu buah buku yang aku siapkan untuk urusan menulis n****+. Aku sedikit menguap sejenak, mataku sudah agak memberat rupanya. "Ya. Lo lagi ngapain?" tanyaku terpaksa. "Lagi teleponan sama orang yang gue sayang." Mataku sudah tidak kuat, kepalaku tiba-tiba saja mengambil posisi tidur di atas meja. Perlahan, aku mulai memejamkan mata dengan handphone di hadapanku yang masih terhubung dengan Argentum. Sebelum aku benar-benar tidur, aku dapat mendengar samar-samar suara Argentum. "I love you, Aurum." *** 。・ : * : ・ ゚ ★ , 。 ・ : * : ・ ゚☆ 。 ・ : * : ・ ゚ ★ , 。 ・ : * : ・ ゚ ・ : * : ・ ゚ ★ ,。 ・ : * : ・ ゚ ☆ ・ ゚ ★ , 。 ・ : * : ・ ゚ ☆ 。 ・ : * : ・ ゚ ★ ,。 ・ : * : ・ ゚ ☆ ・ ゚ ★ , 。 ・ : * : ・ ゚ ゚☆ 。 _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ ׂׂૢ་༘࿐ ゚☆ 。 ┊ ⋆ ┊ . ┊ ┊ ┊ ⋆ ┊ . ┊ ┊ ┊ ⋆ ゚☆ 。 ┊ ┊⋆ ┊ . ┊ ⋆ ┊ . ┊ ┊ ゚☆ 。 ┊ ┊ ⋆˚  ┊ ⋆ ┊ . ┊         ゚☆ 。 ✧. ┊┊ ⋆ ┊ .┊ ⋆          ゚☆ 。 ⋆ ★ ┊ ⋆ ┊ . ゚☆ 。 ┊ ⋆ ┊ . ゚☆ 。 ゚☆ 。 ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ༉‧₊˚. ゚☆ 。 S E E Y O U I N T H E N E X T C H A P T E R ! ! ! ! ゚☆ 。 ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ༉‧₊˚..
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD