01. Namanya Kai

1176 Words
Vera mengantarkan Frei ke sebuah bangunan tua yang terletak di pinggiran kota. Gadis ini tidak menaruh curiga pada tempat aneh itu. Belum sempat ia menanyakan sesuatu, temannya sudah membuka pintu mobil seraya berkata dengan nada perintah, “Kamu pulang saja, Vera! Aku nanti pulang naik taksi. Makasih sudah mengantarku!” Vera malah merinding melihat jendela-jendela di lantai dua yang tampak suram. Ia menahan temannya menutup pintu sambil bertanya, “Yakin kamu, Frei? Ini sebenarnya acara apa? Kok tempatnya terpencil gini?” “Cuma gath biasa, aku anggota baru grup online L.O.V.E,” ucap Frei semangat. “Hah? Norak banget namanya, itu grup apa? Kayaknya konyol, sejak kapan kamu ikutan acara grup-grup online begini? Lebih baik jangan, kamu juga masih...” “Udahlah, anggota lain juga temanku kok, aku ini cuma minta tolong, jangan banyak bicara deh. Lagian ketua bulan ini mau datang, jadi aku harus cepat masuk..” potong Frei dengan kening mengeryih. Dia membanting pintu mobil tanpa peduli kecemasan sahabatnya lagi. Ver hanya diam melihatnya pergi memasuki rumah aneh. Kelihatan sekali kalau gadis ini tidak suka tempatnya, bangunan tua, halaman terlalu luas seperti hutan belantara, tidak ada rumah tetangga. Frei sendiri menderita kecemasan berlebih sejak sebulan terakhir. Jadi Vera ragu untuk meninggalkannya disini. Ia takut terjadi sesuatu buruk di dalam. Perhatian Vera teralihkan api aku kala seorang pemuda berjalan tepat di depan mobilnya. Dia lantas membatu di kursi kemudi karena takut. Lelaki itu berpenampilan seperti mahasiswa tingkat akhir yang kebanyakan masalah. Berantakan, kusut dan menyedihkan. Tangannya saja seakan malas membawa ranselnya sendiri. Ia berhenti berjalan hanya demi mengacungkan jari tengah kepada Vera. Lalu menatapnya dengan jelas sambil menyunggingkan senyuman aneh. Belum puas melakukan itu, dia malah memukul kap mobil, lalu berteriak tidak jelas, "HEH b*****t, JANGAN MELIHATKU! NANTANG HAH?" “b*****t dia bilang? Memanggil orang asing seperti itu?” gumam Vera masih tidak berani bergerak. Namun kebisuannya semakin membuat kemarahan pada pemuda itu. Ia semakin keras menggebrak kap mobil. “Gadis manis kesayangan papa ngapain ada di tempat ini..” bisiknya yang terdengar seperti hinaan. Vera sontak menyalakan mobilnya lagi, lalu membunyikan saja klakson. Ia sungguh takut kalau seandainya berandalan itu melukainya. Ia masih tidak percaya Frei mendatangi tempat ini. Antara pergi dan membawa Frei kabur. Ia khawatir kalau temannya juga bertemu orang-orang begini di dalam sana. "OH AYO TABRAK!" Teriak laki-laki itu malah berdiri tepat di depan mobil sambil melebarkan lengan seolah-olah ingin dirinya ditabrak. Dia terus memprovokasi seperti orang gila, "SINI! TABRAK AKU!" Karena tidak tahan, Vera memanggil otomatis nomor darurat, lalu keluar dari mobil. Dia membalas teriakannya, "Aku tidak mengenalmu, maaf, tolong menyingkir dari depan mobilku." Lelaki itu malah membanting ranselnya di atas kap mobil. Kemudian membiarkannya disitu, sedangkan dia seenaknya menghampiri Vera sambil mengendus-endus, “Responmu tidak seperti yang lainnya ternyata.” “Hmm? Maksudnya? Respon? Apa barusan kamu sedang mengerjaiku? Mengetesku? Untuk apa?” Nada bicara laki-laki itu mulai normal tidak seperti orang stres seperti tadi saat bertanya padaku, "Kamu tidak ada masalah, ngapain kesini?" Vera makin heran. Apalagi diberitahu seolah-olah merujuk pada rumah ini hanya didatangi oleh orang kebanyakan masalah. "Apa maksudmu?" Tanyanya mundur karena terus diendus oleh orang asing bak seekor anjing. "Pakai parfum apa? Kenapa cewek itu selalu wangi? Aku membenci cewek tapi baunya selalu menyenangkan." “Hah? Maaf, bisakah kamu sedikit mundur.. aku tidak.. mau dekat-dekat pemabuk.” “Pemabuk?” ulang laki-laki itu sengaja mendekatkan wajahnya pada pipi kanan Vera. Kamudian meniupkan napasnya dengan lembut. “Gimana? Memangnya bau alkohol? Yang ada bauku wangi'kan?” ucapnya lagi bernada godaan. Vera merinding seketika. Ia sadar bahwa saat ini dirinya perlu dikhawatirkan sekarang ketimbang Frei. Ia ingin berteriak minta tolong, tapi melihat kondisi sekitar, ia yakin tidak akan ada yang menolong juga. Dia pun segera masuk ke dalam mobil, tapi berandalan asing itu menyeretnya keluar lagi. Vera sontak berseru, "Hei! Apa-apaan tanganmu ini! Jangan seenaknya menyentuh orang! Lepaskan aku atau aku akan berteriak minta tolong!" Dia melepaskannya setelah menutup pintu mobil sekeras mungkin. Lalu bersandar di depannya agar aku tidak bisa memasukinya. "Santai saja, lagian teriak juga tidak berefek, kamu juga tahu'kan? Pasti barusan berpikir begitu, iya'kan?" Kata laki-laki itu sambil kembali mengarahkan tangannya ke berbagai arah, termasuk jalanan sepi, "kendaraan jarang lewat. Orang disini juga tidak akan peduli denganmu." Vera cukup tenang karena sudah menghubungi pacarnya tadi. Lagi-lagi laki-laki misterius ini seolah mampu membaca pikirannya. Ia berkata, "Jangan menunggu pacarmu, mungkin saja dia sedang selingkuh'kan? jaman sekarang, tidak ada yang namanya kesetiaan." "Kamu.. gila ya?" Sindir Vera sambil mendorongnya agar pergi. Sayangnya, lawan bicaranya ini tidak bergeser selangkah pun dari pintu mobil. Tenaganya cukup kuat daripada Vera sendiri. Dia mencengkeram lengan Vera sambil mengancam, "Aku benci diperlakukan kasar oleh seseorang, apalagi cewek, kamu ini tidak sopan ya, mau kuajari sesuatu?" "Aku juga benci perlakuan kasar! Lepaskan aku atau aku bersumpah akan melaporkanmu ke polisi!" bentak Vera seryaa menggenggam balik telapak tangan lelaki itu, lalu menancapkan kukunya di kulit. Tanpa diduga, ia perlahan melepaskan Vera dengan ekspresi wajah penasaran. Selain itu, dia bahkan bersikap aneh yaitu membelai pergelangan tangannya yang terluka karena ujung kuku gadis itu. Vera menjauhkannya dari pintu mobil, "Pergi sana! Kumohon pergilah, Orang Aneh!" Lelaki itu mundur seraya mempersembahkan seringaian aneh. Tidak henti-hentinya dia menelan ludah saat melakukannya. Bulu tengkuk Vera berdiri semua. Tiba-tiba, Frei keluar dari bangunan itu sambil berteriak kencang, “VERA!!” Ia berlari mendekat dengan seorang laki-laki dan gadis lain yang mengejarnya. Laki-laki yang mengejarnya kudengar membentak kasar, “KEMARI KAU!” “KAI! TANGKAP SAJA MEREKA!” tambah si gadis pengejar. “ITU TERUTAMA ANGGOTA BARU ITU!” “DASAR PERUSAK!” “Ahhh!!” Frei menjerit histeris. Vera sempat melirik ke orang gila yang tadi berbicara dengannya. Kemudian langsung masuk mobil, ia membukakan pintu untuk Frei, lalu menancap gas saja dengan perasaan takut. Setelah pintu ditutup, ia menaikkan kecepatan mobil sekilat mungkin. "AWAS KALAU KAU DATANG LAGI, s****n!" Seru seorang gadis tadi yang berusaha menggedor pintu jendela mobil sebelah kiri, tapi kemudian berhenti mengejar begitu mereka keluar area bangunan. Vera melihat dari spion, mereka bertiga terdiam menatapnya. Sementara laki-laki aneh tadi malah melambaikan tangan yang jelas tertuju padanya. Bahkan dia memberikan ciuman jauh penuh obsesi. “Namanya Kai ternyata..” ucap Vera lirih Frei mulai meremas punggung tangannta sambil menggerutu, “Menyebalkan... menyebalkan ... menyebalkan ...” Vera mulai memfokuskan diri padanya setelah sudah cukup jauh di jalanan, "Apa yang terjadi? Kenapa kamu dikejar? Tempat apa itu sebenarnya, Frei!" Frei menjawab dengan jawaban aneh, "Aku sedikit tidak suka dengan penjelasan dosen itu, jadi aku melemparinya buku." "Itu tempat ..." "Sudah kubilang, itu tempat gath, pertemuan rutin tertutup sebulan sekali untuk anggota kelompok L.O.V.E. Intinya perkumpulan pertemanan yang sekaligus konseling dan curhat-curhat masalah cinta. Aku sudah dua bulanan mengikuti acara kelompok itu via online, cuma ini pertama kalinya aku ikut gath." “Apa itu semacam terapi kejiwaan secara massal? Atau doktrin?” Frei mendadak emosi, “Udah deh, Vera!” Vera hanya meminta, “Tolong jangan ikut beginian, sepertinya mereka sekumpulan orang yang pemarah. Tadi saja aku hampir disakiti cowok asing.” “Sakiti? Siapa?” Tanya Frei kaget. Vera menatap lurus ke jalan raya tapi pikiran masih dipenuhi bayangan wajah pemuda itu, apalagi seringainya seolah telah melekat menjadi kerak di kepalanya. "Entah, dia aneh, tiba-tiba mengajakku bertengkar, lalu mengendus-ngendus, berkata aneh, entah apa motifnya ..." jawabnya menenangkan debaran jantung yang belum stabil benar ini. Ia menghela napas panjang sejena, kemudian menambahkan, "Sumpah, Frei, dia seperti orang yang sakit secara mental. Seseorang harus memeriksa kesehatannya." “Tapi aku ingin sekali bergabung kesana.” ucap Frei sambil memainkan telapak tangan seperti yang sering dilakukan ketika cemas. Vera menenangkannya, “Hei, tenanglah, anggap saja kita barusan ke wahana rumah hantu.” Frei tersenyum palsu, “Wahana hantu kamu bilang? kamu tidak paham perasaanku, Vera. Makanya kamu tidak akan paham tujuanku kesana ...” Vera tidak berani mengatakan apapun lagi. Sudah sebulan dia merasa temannya ini semakin aneh dan pemarah. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD