02. Kebetulan

1523 Words
Rumah Vera berada di tengah kota, tepatnya di pinggir jalan Red Rose II. Bangunan disini kebanyakan adalah minimarket dan kostan, jadi ia tidak punya tetangga tetap. Setiap hari, jam berapapun akan selalu ramai, jadi ia tidak terlalu cemas sendirian kalau di rumah. Sejak dulu ia memang penakut. Hal-hal seperti penampakan hantu sudah pasti membuatnya menjerit. Apalagi sejak masuk kuliah tiga bulan silam, orangtuanya pulang sebulan sekali karena urusan bisnis. Suasana rumah lebih sering mencekam saat tengah malam. Dia biasanya tidur lebih awal, bangun juga pagi-pagi buta. Lebih menyenangkan berada di kampus bersama tukang kebun ketimbang di rumah sendirian hanya mendengar deru kendaraan motor. Lebih baik sunyi tapi ada orang, ketimbang ramai tapi sendirian. Gedung fakultasnya terletak di area paling jauh dari gerbang depan. Lebih parah lagi, di belakang itu sudah masuk area kampus yang jarang dijamah orang. Iya, disana ada kebun pribadi milik rektor yang gersang, kemudian ada bekas bangunan TK serta lapangan basket tak terpakai. Normalnya tidak ada mahasiswa yang sampai keluyuran kesana, kecuali kalau uji nyali. Kata orang bangunan TK itu berhantu, tapi Vera selalu berpikir positif setiap kali melihatnya dari balik jendela lantai dua ruang kelasnya, seperti yang dilakukan sekarang. Ia heran mengapa bangunan yang sudah mau ambruk, rusak, itu masih belum dihancurkan. Kesannya jadi semakin mengerikan, terutama kalau daun-daun pohon berguguran disana. Taman main jungkat-jungkit juga kadang bergerak sendiri. "Vera?" panggil Frei yang akhirnya tiba. Mereka satu jurusan, satu angkatan. Mereka sudah berteman sejak SMA. Harusnya Vera memahaminya lebih dari siapapun, tapi anehnya, hari ini ia tidak paham sama sekali. Frei mengenakan kaos seksi nan ketat dipadu dengan rok jeans pendek. Hampir tidak pernah dia berpenampilan ala penggoda seperti ini. Vera hampir tidak percaya pagi-pagi begini sudah melihat temannya bak gadis klub malam. "Ngapain kamu pakai beginian di kampus?" Tanyanya semakin heran karena dipameri lekuk tubuh. Frei duduk di deretan kursi paling depan sambil menjawab santai, “Lah, aku'kan cewek. Ini dandanan normal. Banyak'kan disini.” Ia melirik Vera dengan pandangan sinis, “Kamu itu yang kurang stylish.” "Bodoh amat, pacarku tidak protes juga," kata Vera membela diri. Ia lantas duduk di bangku belakangnya. Vera sendiri bukannya tidak mengikuti trend busana, tapi memang lebih suka memakai pakaian serba tertutup. Jadi cukup blouse biasa dan celana jeans. Frei malah mengeluarkan alat make up-nya. Dia benar-benar berbeda hari ini. Sejak dulu dia tidak terlalu peduli dengan riasan kalau di kampus. Lagipula dia sudah cantik, cukup pakai sunblock dan lipstick, itu sudah membuatnya cukup dipuja siapapun. Vera sudah mulai jauh dengan Frei semenjak gadis itu menjalin hubungan dengan orang lain. Dia selalu berpikir mungkin perubahan sikap ini dikarenakan putus cinta. Ia juga sering menasehatinya kalau cinta keterlaluan akan membawa musibah, tapi Frei sudah buta. Nasehat itu bagaikan suara angin di telinga. "Ada cowok baru?" Tanya Vera menatapnya melalui cermin yang Frei pegang. Frei merespon sedikit lama, itupun dengan jawaban tidak nyambung  "Aku cantik tidak? Menurutmu aku bisa merebut hati mantanku lagi?" "Mantanmu saja aku tidak kenal. Kamu selalu tertutup sejak pacaran dulu.." "Kan sudah kuperlihatkan fotonya." "Frei, katanya Move on ... apaan sih?" Frei menoleh ke arah Vera, lalu berkata, “Menurutmu kenapa aku masuk ke kelompok L.O.V.E? menurutmu aku sudah move on? kamu tidak pernah merasakannya, jadi pasti bersikap begini. Tunggu saja sampai Devano meninggalkanmu.” Vera tersinggung karena mendengar hal yang seperti doa buruk dari bibir sahabatnya sendiri. "Kamu mau nongkrong lagi tidak nanti?" Tanyanya membuat suasana menjadi tenang. Dia berusaha agar tidak menunjukkan sikap kesal akibat ucapan barusan. "Tidak. Aku ingin pergi ke tempat lain hari ini," jawab Frei terlalu dingin. Semakin lama perkataan semakin dingin, kasar dan tidak masuk akal. “Biar kutraktir.” “Nggak usah, aku pengen jalan ama cowok, nggak sama cewek mulu.” “Frei, kayaknya kamu sedikit trobsesi sama mantanmu ini, sebenarnya ada ...” “Vera! Udah deh! Kamu nggak tahu rasanya jadi ngomong seenakmu sendiri!” Saat Vera ingin berkata lagi, suara teman-temannya mulai terdengar mendekat. Sudah jam delapan, jam perkuliahan akan dimulai. Hari ini hari senin, hanya ada satu kelas saja. Itulah kenapa Vera ingin mengajak Frei untuk sekedar minun teh ke kafe depan kampus. Akan tetapi ajakannya terus ditolak dan malah pergi duluan. Vera berlari mengejar. Sayang langkahnya kalah cepat dengan Frei. Baru juga turun dari tangga, dia sudah menghilang. "Aneh," ucapnya sebal sendiri sambil berjalan keluar gedung. Kampus ini sangat hijau. Banyak pohon cemara yang tertanam dimana-mana. Bahkan kalau dilihat dari pinggir jalan, tempat ini seolah berkamuflase. Ada seorang lelaki yang berjalan mendekatinya. Tubuhnya tinggi, tegap dengan paras yang tegas. Ia menyapa Vera, “Sayang, aku mencarimu kemana-mana loh, ponselmu tidak aktif?” "Maaf, Dev, low batt, semalam lupa ku charge," sahut Vera tersenyum kecil. Ia mengubah raut wajah cemasnya menjadi bahagia kala menatap wajah sang kekasi. Devano, satu-satunya yang membuat hatinya tenang dan bahagia sekarang. "Untuk yang kemarin maaf ya, ada keperluan. Kamu kalau godain jangan tiap hari dong," kata Deva mulai mengajak Vera jalan, "ayo kuajak ke aula fakultasku, adik kelasku dapat tugas kewirausahaan, banyak jajanan gratis untuk kita." "Dev, aku kemarin itu serius loh," ralat Vera tidak suka saat sang pacar menganggapnya sedang bercanda. "Serius apa? Serius ngilang di pasar seperti minggu lalu?" "Ya maaf, tapi aku janji setelah ini, tolong anggap panggilan otomatisku serius. Hanya kamu dan Frei yang paling dekat denganku." Deva menjadi serius, "Ada apa? Kamu beneran hilang kemarin? Katanya sama Frei?" "Bukan hilang," balas Vera menahan diri untuk tidak terlalu mengingat wajah laki-laki kemarin, "aku mengantar Frei ke tempat aneh, lalu ketemu orang aneh. Maksudku, dia sedikit kasar padaku, padahal kami tidak saling kenal ..." "Vera, kamu tidak apa-apa'kan?" Tanya Deva gelisah, "orang aneh? Orang aneh apa? Dimana orangnya? Kamu diapain?" Vera menggeleng, "Cuma orang aneh, entah bagaimana menjelaskannya karena itu pertama kalinya aku digangguin orang aneh. Tidak apa kok, hanya takut dikit.." “Beneran? Nggak perlu ditutupi. Kalau perlu..” “Nggak apa-apa, cuma risih aja.” “Mungkin nanti aku akan menambahkan nomor darurat kenalanku ke ponselmu.” "Untung saja bukan orang gila asli ..." “Syukurlah kalau begitu.” Mereka tiba di gedung FISIP. Bangunan ini dua kali lipat lebih luas dan megah ketimbang lainnya. Salah satu akibatnya adalah karena mahasiswanya sangat banyak. “Sampai nih, kamu mau apa aja ... tinggal ambil ... ini wilayahku,” gurau Deva. Mereka masuk ke dalam dengan di sambut oleh penampilan band dari mahasiswa anggota UKM musik. Vera sebenarnya ingin menghina permainan membosankan mereka, tapi ia sadar diri kalau dirinya hanya seorang mahasiswi kupu-kupu yang anti UKM. Kadang gadis ini merasa seperti langit dan bumi dengan pacarnya sendiri. Ia hanyalah mahasiswi newbie di kampus, sedangkan Deva adalah senior sekaligus anggota BEM universitas yang jelas berperan penting disini. Berkali-kali Vera diminta untuk ikut aktif di keorganisasian, tapi Vera termasuk golongan manusia yang malas gerak tanpa ada dorongan menguntungkan. Meskipun dia sangat menyebalkan, lucunya sikap inilah yang disukai Devano dariku. Dia sangat mengagumi kejujurannya yang menyakitkan. Deva mengajak Vera berbaur dengan teman-temannya yang ikut antri membeli di setiap lapak jualan disini. Kemampuan marketing setiap kelompok mahasiswa disini sangat luar biasa. "Ayo kakak dibeli jus buahnya! Langsung dipanen dari kebun dan dibuat dengan cinta!" Seru salah satu mereka yang menjaga stand jus. Suara-suara lantang mulai masuk ke telingaku, seperti: "Ayam bakar mantan! Dijamin nikmat karena dibakar dengan api hati yang membara!" "Jamu penguat hati yang tersakiti! Lima ribu saja segelas! Ayo-ayo jomblo, silakan merapat!" "Donat, donat, donat manis penawar janji pahitmu." Deva terus menerus tertawa mendengar guyonan garing seperti itu. Dia membuat Vera harus ikutan senyum-senyum sendiri. Saat Vera hendak ingin mendekati lapak yang berjualan jus buah, Deva mengagetkan Vera dengan bertanya serius  "Oh iya, itu Freissy kenapa? Tadi kulihat pakaiannya ketat banget, kusapa tapi cuek amat." "Frei cuek?" Ulang Vera cukup bingung harus menjawab apa. “Dia mulai aneh, entahlah,” sahut Vera lirih, Deva menyibakkan rambutnya sambil mengatakan, "Iya, dia kayaknya butuh refreshing. Mungkin itu sebabnya, biarin saja, Sayang. Udah kamu tidak perlu mengawasinya terus, jangan ikut-ikutan kalau ke tempat aneh ya? "Iya." Tak berapa lama, ada seorang lelaki yang ikut obrolan mereka. Dia menggoda, “Wih, sayang-sayangan di tengah kerumunan, bikin iri.” Deva memandang Vera. Vera sendiri kaget dengan keberadaan lelaki itu. Pandangannya langsung fokus pada almamater hitam kampus lain yang dipakainya. "Vera, ini teman baruku," kata Deva menunjuk laki-laki ini, "Kaiden." Laki-laki bernama Kaiden itu mengulurkan tangannya yang kemarin hampir digunakan untuk menyakiti Vera. Dengan senyuman kecil, dia mengucapkan namanya, "Kaiden Putra Karsana, kamu bisa memanggilku Kai." Vera menjabat tangannya sesaat, "Vera." “Bagus namamu, Veronique,” puji Kai seolah-olah menunjukkan kalau dia mengetahui tentang Vera. Deva mulai menerangkan seorang Kai ini, "Ini perwakilan BEM kampus Dandelion untuk diskusi dengan kampus kita, Ver. Kampus kita mau kegiatan bareng." Kai mengerutkan dahinya, "Apa kita pernah bertemu ya? Kamu kelihatannya menatapku terus seperti ada perasaan tidak suka." Deva melirik pacarnya, "Ada apa?" "Tidak. Aku merasa mengenalnya saja," sahut Vera tersenyum pada Deva. Ia segera menarik tangan pacarnya itu pergi, "ayo kita beli jus." "Duluan ya," kata Deva melambaikan tangan. "Oke, selamat yang-yangan!" seru Kai sedikit menertawai mereka. Ia bergumam pelan setelah itu, “... selagi bisa.” Ia menghampiri band yang terus menerus menyanyikan lagu membosankan. Kemudian merebut microphone dari sang vokalis serta melafalkan sebuah lirik lagu yang berbunyi, “.... Come with me, Honey, I am your sweet sugar candy man...” Semua orang sedikit tertawa sekaligus bersorak karena lantunan lagu sedih berubah enerjik. Apalagi penggalan lagu itu seolah bermakna ganda, terutama jika diperuntukkan untuk seorang gadis. Vera tidak menoleh sedikitpun. Ia malah gemetaran, tapi berusaha tenang karena ada Deva. Kalau ia mengadu tentang Kai padanya, pasti tidak akan dipercaya. Lagipula, Kai yang ini orangnya beneran berbeda dengan saat itu. Deva menoleh sesaat ke Kai yang mendadak ikut memeriahkan tempat ini, “Sejak kapan dia mau nyanyi begitu? Mana lagu gitu?” “Ah ...” Vera tidak kuat lagi mendengar suara nyanyian Kai. Dia tidak ingin merasa terlalu percaya diri, tapi jelas sekali lagu itu ditunjukkan kepadanya. Ia segera menyeret pacarnya keluar dari gedung itu sambil berkata dengan erbata-bata, “Dev, ayo ... ayo kita ... ke Kafe saja.” Kebetulan tidak wajar ini membuatnya tidak nyaman. Ia menelan ludah berkali-kalj sembari berharap kepalanya berhentu mengulang penggalan lirik barusan. °°°
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD