Mereka berdua yang sedang bertatapan dan hanya terhalang oleh meja tersebut langsung menoleh. Melihat kedatangan seseorang, Reygan langsung menjauh karena posisi mereka yang bisa membuat salah paham.
“Eh, Kang Eko.” Wulan pun menyapa pria yang baru datang tersebut. “Ada apa, Kang?” tanya Wulan karena ia mengira jika pria tersebut pasti sedang datang untuk berobat.
Eko menghampiri Wulan sambil menatap sinis pada Reygan.
Reygan hanya mengedikkan bahunya sambil berlalu dan menuju ke bagian belakang klinik. Ia agak tidak peduli dengan ucapan pemuda yang menuduhnya macam-macam tersebut.
“Neng cuma berdua saja di sini sama dia?” tanya Eko yang melupakan tujuan kedatangannya.
“Ah, enggak, Kang. Tadi baru saja ada anak-anak datang, tapi anak-anak sedang pulang. Ada Siti sama si kembar juga tadi. Cuma sekarang mereka sedang mengantar anak-anak pulang. Ya, mereka juga mungkin pulang dulu,” jawab Wulan senantiasa ramah.
Bagaimanapun juga, Eko adalah anak orang terpandang di desa ini. Tak mungkin dia memperlakukan Eko dengan cara yang tidak ramah.
“Itu orang sombong sekali, Neng Wulan memangnya betah tinggal sama orang seperti itu?” tanya Eko lagi. Mendadak ia menunjukkan sikap tak sukanya pada Reygan.
Wulan hanya tersenyum. “Ah, biasa saja, Kang. Mungkin perasaan Kang Eko saja. Ada yang bisa dibantu, Kang. Barangkali sedang pusing atau kenapa?”
Eko sedikit melirik Reygan yang berada di belakang klinik, terlihat itu sedang membereskan bekas permainannya bersama anak-anak tadi. Entah apa yang ada dalam pikiran pemuda desa tersebut, akan tetapi tatapannya tampak sangat tak suka dengan Reygan.
“Biasa, Neng. Darting!” jawab Eko sambil menyodorkan tangan untuk meminta agar Wulan mengukur tensi darahnya.
“Ya, abis makan apa atuh, Kang?” tanya Wulan sambil tersenyum ramah.
Gadis dokter yang rupawan tersebut mengambil alat ukur tensi darah di sampingnya, lalu ia segera melilitkan pada lengan atas Eko.
Sambil memompa alat tersebut dan merasakan denyut nadi milik Eko, Wulan melihat jika pria tersebut masih saja melirik pada Reygan. Lirikan itu mengandung tatapan benci dan tak suka. Entah karena ia merasa rendah diri karena kalah tampan, entah karena iri karena Reygan bisa dekat dengan Wulan.
“Tekanan darah akang, 165, tinggi ya, Kang?” ujar Wulan memberitahu pada Eko yang masih fokus melihat ke arah Reygan.
“Wah, pantesan atuh! Pusing terus!” ujar Eko sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Kurang-kurangi makan jengkol, makan yang asin-asing, terus itu ... jangan banyak marah-marah,” gurau Wulan pada pria tersebut. Semoga saja Eko tidak tersinggung dengan ucapannya.
Eko pun mengembuskan napas. “Ya, kalau yang terakhir mah mana bisa,” keluh pemuda bertubuh tinggi dan kurus tersebut.
“Harus bisalah!” timpal Wulan lagi.
“Kalau setiap hari lihat calon istri akang, berduaan sama laki-laki asing kayak gini sih, akang jadi kesal, kan, jadinya?” ujarnya menggoda Wulan sambil mengerlingkan mata.
Eko memang dari dulu menyukai Wulan, bahkan pernah terang-terangan meminta Wulan pada bapak dan ibunya. Tapi karena saat itu Eko masih pengangguran dan Wulan ingin kuliah, mereka pun tidak jadi menikah. Lagi pula, Wulan tak pernah menyukai Eko, yang bahkan sampai saat ini masih pengangguran saja.
“Ah, siapa memang? Jangan suka mengada-ngada!” jawab Wulan sambil mencoba berdiri. Akan tetapi dia ingat dengan kakinya yang sakit dan dia tidak mau jika nanti Eko malah mengambil kesempatan untuk menggandengnya atau memegang dirinya, maka dari itu Wulan pun duduk kembali. Tapi ... jika ia tetap duduk, makhluk di depannya ini juga tak kunjung pergi.
“Jadi ... gimana tawaran akang?” tanya Eko lagi.
“Tawaran apa?” Wulan pura-pura tak mengerti.
“Yang dulu, sebelum neng kuliah ke kota. Masa lupa, sudah ada sepuluh tahun yang lalu,” jawab Eko pura-pura kesal.
Ekspresi pria tersebut sungguh terlihat menyebalkan di mata Wulan. Tapi ia tak bisa berbuat apa-apa, apalagi mengusirnya. Dirinya hanya berharap agar pria tersebut segera pergi dengan sendirinya.
“Saya nggak ingat, ah! Sudah, Kang Eko jangan mengada-ngada. Cepat pulang, punya banyak pekerjaan, kan?” tanya Wulan.
“Oh, ya tentu! Akang punya banyak kerjaan. Kambing sama sapi akang banyak, mau jadi istri akang?” gurau Eko lagi sambil menggoda Wulan.
Wulan hanya terkekeh sambil menggeleng-geleng kepala.
“Sudah-sudah! Pulang saja sana, Kang! Kambingnya kelaparan,” kekeh Wulan.
Namun hal tersebut ternyata tak berhasil membuat Eko meninggalkan tempatnya. Pria itu masih mengajak Wulan mengobrol ngalor-ngidul sambil terus sesekali melirik pada Reygan. Dia seakan ingin menunjukkan pada Reygan jika dirinya jauh lebih akrab dengan Wulan daripada pria asing tersebut.
Reygan sendiri hanya duduk di meja bekas yang disimpan di bagian luar belakang klinik. Dia berhadapan dengan kamar mandi dan pura-pura tak memperhatikan setiap ucapan antara Eko dan Wulan.
Entah kenapa, ucapan Eko sedikit mengusik hatinya.
Beberapa hari di sini, rasanya terlalu cepat jika dirinya mengatakan telah jatuh cinta pada Wulan. Tapi kenapa, dia benar-benar merasa risi dan tak suka mendengar interaksi Eko yang menggoda Wulan di setiap celah kesempatan seperti tadi.
“Assalamu’alaikum ....”
Ketiga gadis itu pun datang dan mengucap salam bergantian, mereka baru saja telah mengantar anak-anak ke rumah masing-masing.
“Hei,” sapa Reygan pada ketiga gadis tersebut. “Anak-anak sudah diantar sama kalian?” Reygan langsung masuk lagi ke dalam klinik.
Dirinya mencoba untuk mengacaukan pembicaraan Eko yang sejak ingin modus menggoda Wulan.
“Sudah, Kang.” Siti menjawab sambil berjalan masuk.
Mereka melihat ada kedatangan Eko di klinik tersebut.
“Kang Eko sakit, Teh?” tanya Yuli pada Wulan.
“Iya, biasa! Pusing, darah tinggi!” Eko kali ini yang menjawab tentang kondisinya sendiri.
“Oh, sudah dicatat ya sama teteh?” Siti melihat bagian laporan ternyata pemeriksaan Eko ini sudah ditulis dalam buku oleh Wulan sendiri.
“Sudah, tenang saja!” jawab Wulan.
“Akang ini darah tinggi melulu, soalnya lihat calon istri akang berduaan terus sama laki-laki asing. Atuh ... akang teh cemburu, lah!” celetuk Eko yang kali ini tanpa ditanya.
“Halah! Akang mau cemburu sampe bawa dedemit dari wetan ke ujung kulon juga kagak bakal bisa nyaingin Kang Dirga,” celetuk Yuli yang selalu ceplas-ceplos.
Wulan pun mengedip-ngedipkan mata pada Yuli.
“Hiii, siapa yang cemburu! Nggak level!” elak Eko kali ini.
“Iya, memang nggak level! Kang Dirga jauh lebih tinggi dari Kang Eko. Wleek!” Gadis itu sengaja mengejek Eko sambil menjulurkan lidahnya.
“Enak aja, Si Yuli! Awas kamu, Yul!” ujar Eko sambil tertawa mendengar ejekan dari gadis tersebut. “Ya sudah! Saya pamit! Lama-lama makin darah tinggi ngelihat si Yuli.”
Eko pun pergi dan meninggalkan klinik tersebut. Entah laki-laki itu masih menyimpan amarah atau tidak pada Yuli dan yang lainnya, tapi Wulan berharap semoga saja tidak.
Reygan pun akhirnya lebih mendekat pada Wulan. Dia langsung jongkok dia melihat kondisi kaki gadis tersebut. “Tadi kamu mau berdiri tapi nggak jadi, kenapa? Kakimu lebih sakit?” Pria itu tampaknya memperhatikan gerak-gerik Wulan selama gadis itu sedang memeriksa pasien yang baru saja pulang.
“Nggak apa-apa. Cuma memang sulit untuk berdiri saja, seperti tadi.” Wulan menjawab dengan suara yang lembut.
Padahal, sebelum kedatangan Eko tadi keduanya sempat berseteru. Namun ke mana kemarahan itu? Sepertinya karena Eko yang sempat melakukan provokasi ingin mendekati Wulan, hal itu membuat Reygan berhenti bersikap menyebalkan.
Melihat hal tersebut, membuat Yuli kembali berkata, “Ehem, ehem! Sudah, Kang Dirga, kita juga ngerti kok! Akang memang lebih cocok untuk Teh Wulan dalam segala hal!”