Bagian 1
"Ada berapa desa yang ada dalam daftar kita?"
"Hanya tiga, Tuan."
"Bagus, berarti sudah selesai semua, aku tidak bisa terlalu lama menjelajahi tempat-tempat terpencil seperti ini."
Rombongan mobil melewati jalanan berliku di atas gunung. Tekstur jalanan yang tak rata, membuat guncangan-guncangan bagi penumpang di mobil tersebut begitu terasa.
"Badanku sakit sekali. Siapa juga yang merencanakan program ini dulu?"
"Apa Tuan lupa? Nona Kyara yang mengusulkan semua program ini."
"Bah! Bocah teng!k itu? Pantas saja papa langsung menyetujuinya. Setelah kabur dari pertunangan bersama si gembel Satya itu, dia masih saja menempatkanku di posisi sulit. S!alan, sudah kubilang aku benci perjodohan."
Jdug. Jalanan berbatu mengguncang tubuhnya hingga terantuk pada badan mobil.
"Aw! Pintu mobil kurang ajar! Berani-beraninya kau membentur kepalaku!"
Pria arogan yang membawahi banyak karyawan, sifatnya yang dingin hingga tak tersentuh bahkan oleh keluarganya sekalipun, pemilih yang begitu jeli, dengan sifat kompetitif yang tak ingin dikalahkan.
"Tuan, sebenarnya ... ada satu desa lagi dalam jadwal anda," ujar seorang pria yang duduk di kursi depan bersebelahan dengan pengemudi.
"Lagi?"
"Benar, tapi ...."
"Tapi apa?"
"Tapi ... hanya kita bertiga yang ke sana."
"Maksudmu?"
"Kita tidak diizinkan membawa pengawal yang lainnya. Hanya kita bertiga, Tuan."
"Apa itu keinginan papaku?"
"Bukan, tapi ... tuan sepuh."
"Kakek? Ikuti saja."
Perusahaan Mega Dirgantara, merupakan sebuah perusahaan yang bergerak di bidang transportasi. Fokus dari perusahaan mereka adalah membuat bagian-bagian tubuh pesawat terbang, meski ada juga kendaraan lainnya yang mereka buat.
Setiap bulannya, perusahaan ini selalu berusaha memberi santunan untuk desa-deaa tertinggal yang ada di Indonesia. Namun, setiap ulang tahun perusahaan di bulan September, pemberian santunan ke desa terpencil itu dilakukan oleh sang CEO.
"Tuan Reygan."
"Ya ...?"
"Saya sudah memerintahkan para pengawal untuk kembali pada jalur pulang. Sementara kita akan melanjutkan perjalanan."
Reygan menoleh ke belakang. Benar saja, sudah tidak mobil-mobil yang mengikutinya. Artinya, tidak ada pengawalan lagi. Hanya mereka bertiga. Dirinya, sang sekretaris, dan seorang supir.
"Apa nama desa itu?" tanya Reygan.
"Desa Cirata, Tuan."
Diam. Pada akhirnya Reygan hanya mengikuti keinginan para orang tua. Ia tidak pernah benar-benar hidup sesuai dengan keinginannya.
Beberapa tahun yang lalu, keluarganya membuat sebuah rencana perjodohan antara dirinya dengan seorang gadis keturunan Surya Atmadja.
Reygan adalah seorang pria pemilih, termasuk urusan gadis. Sedikit pun ia tak pernah melirik pada gadis itu. Jatuh hati, sedikit tertarik atau bahkan hanya sekedar penasaran pun tidak. Namun anehnya, dia mengiyakan perjodohan itu. Ia tak ingin mempersulit hidupnya dengan kabur dari perjodohan atau apalah itu.
Hanya saja, Kyara Surya Atmadja, sang gadis yang akan menjadi istrinya melakukan pemberontakan. Gadis itu kabur dengan seorang pemuda yang ia cintai.
Patah hati, sedih, marah, tidak sama sekali. Reygan justru bersyukur, ia tak perlu melakukan apapun untuk mengakhiri semuanya.
Lebih baik ia menjadi perjaka seumur hidup daripada harus menghidupi anak orang lain dari hasil keringatnya, begitu prinsip hidupnya. Karena Reygan berpikir, para orang tua yang ingin menikahkan putrinya untuk seorang pria, adalah orang tua yang sudah lelah dan kehabisan modal untuk memberi makan pada anaknya. Sehingga ia serahkan tanggung jawab itu pada pria lain yang bersedia menikahi putrinya.
"Apa desa itu masih jauh?" tanya Reygan sambil memandang keluar.
"Masih jauh, Tuan."
Reygan mengamati ke luar jendela mobilnya. Pepohonan tinggi menjulang menghalangi pandangan di sisi kanan kiri jalan. Tak ada rumah warga yang mereka lewati, semuanya hutan.
"Di sini sudah tidak ada sinyal. Apa kalian masih bisa menemukan jalan tanpa GPS?" Reygan merasa khawatir.
"Sebenarnya, supir kita ini ... memang seseorang yang berasal dari desa Cirata, Tuan. Dia sudah hapal jalan menuju ke sana walau tanpa melihat peta."
Reygan mengangguk saja. Sepertinya, kakeknya itu sudah menyiapkan kepergiannya untuk ke desa ini.
"Kenapa kakek melarang kita membawa para pengawal?" tanya Reygan pada sang sekretaris yang duduk di depannya.
Sang sekretaris nampak menghela napasnya terlebih dahulu, lalu ia menengok ke belakang dan berbicara pada Reygan. "Sebenarnya, bukan tuan sepuh yang melarang anda membawa pengawal, Tuan. Melainkan ...."
"Siapa? Papaku? Nenek?"
Pria berkacamata itu menggeleng. "Para warga dari Desa Cirata yang melarangnya. Betul, kan?" tanya sang sekretaris sambil mengonfirmasi pada supir di sebelahnya.
"Iya, be-betul, Tuan."
Reygan bernapas dengan gusar. Apa kedatangannya dianggap sebagai ancaman bahaya? Padahal ia datang ke sana dengan tujuan untuk memberi bantuan. Tapi rombongannya malah dicurigai.
"Kenapa aku merasakan firasat buruk terhadap desa ini."
Saat Reygan menggumam demikian, sang supir dan sekretaris hanya diam tak memberi tanggapan.
Sesaat berlalu, angin kencang didapati berembus di luar mobil mereka.
Hujan tipis-tipis membuat whiper perlu digerakkan untuk membersihkan air dan embun yang menghalangi.
"Desa ini, agak menutup diri dari sekitarnya, Tuan. Karena struktur tanah di sini yang merupakan pegunungan dan banyak pepohonan, membuat listrik di tempat hanya menyala dalam beberapa jam saja sehari." Sang supir mencoba memberi penjelasan mengenai desa tempat tinggalnya.
"Tidak ada listrik? Tapi ... ada penginapan, kan?" Reygan tampak mulai panik.
"Mungkin, akan ada beberapa warga yang bersedia menyediakan ruangan untuk anda, Tuan."
Reygan melihat ke luar jendela mobil. Hari semakin gelap, angin tampak bertiup kencang di luar sana. Pohon-pohon condong ke kiri akibat tertiup oleh angin. Sesekali kilatan petir terlihat sangat jelas di udara.
"Kita tidak mungkin pulang jika cuaca seperti ini," ucap Reygan.
"Jika Tuan Reygan berkenan, saya akan menyediakan tempat di rumah saya untuk anda, Tuan."
Jalannya mobil semakin melambat, selain karena medan berkelok-kelok dan banyaknya bebatuan aspal yang rusak, beberapa tanah dari sisi jalan ikut mengalir mengikuti jalanan air. Dapat dipastikan jalan yang mereka lewati ini cukup licin.
Jleder
Suara petir menyambar.
Hujan semakin deras mengguyur, membuat whiper kewalahan menghapus air hujan. Supir semakin berhati-hati dan waspada.
Gruduk gruduk gruduk
"Suara apa itu?"
"Suara guruh. Namun rasanya suara itu sangat dekat."
Gruduk gruduk gruduk
Melihat ke luar lagi, Reygan tak menemukan keanehan dari pandangannya.
"Tuan, lihat itu!"
"Tidak ...."
Batu-batu menggelinding dengan begitu cepat ke arah mobil mereka. Tak ada waktu bagi mereka untuk melepaskan diri.
Segera sang supir menghentikan mobil mereka dengan mendadak. Ia juga segera melepas sabuk pengamannya. "Tuan, Tuan, mari kita keluar dari mobil ini jika kita tidak ingin terperangkap."
Reygan dan sang sekretaris segera membuka sabuk pengaman masing-masing. Reygan berhasil keluar terlebih dahulu.
Dan
Bruuug
"Tidak! Tuan, hati-hati .... Tolong kami ...."
Bruuuug
*
Bising suara orang berkerumun berdengung di telinga Reygan. Kini dia mulai merasakan kembali kepalanya yang pening. Samar-samar ia membuka mata dan terlihat beberapa bayangan. Wajah-wajah tak dikenal dan bahasa yang tak ia pahami.
Kepalanya terasa berat, goncangan yang ia rasakan di tubuhnya masih tersisa efek sampingnya. Reygan berusaha mengerjap-ngerjapkan mata untuk memperjelas penglihatan.
"Tuan ...? Tuan bisa lihat saya?"
Sebuah telapak tangan digoyangkan di hadapan Reygan.
"Tolong kedipkan mata bila Tuan bisa melihat saya."
Spontan Reygan pun ikut mengedip mengikuti arahan dari suara tersebut.
Lalu Reygan pun menoleh. "Aaw!" Ia merasakan kaku di lehernya saat digerakkan.
Namun Reygan berusaha melawan rasa sakit itu dan segera mencerna apa yang dipandangnya untuk ia pahami dalam otaknya.
Dinding putih semi permanen. Setengah bagian dari tembok dan sisanya merupakan dinding triplek hingga ke atas. Ruangan tanpa plafon dengan genteng dan reng kayu yang jelas terlihat dari bawahnya.
Ia baru menyadari jika ia dibaringkan di sebuah kasur kecil yang terhampar di atas lantai yang hanya tertutup plester.
"Tuan, Anda bisa mengingat diri Anda?"
Reygan hampir saja melupakan orang yang sedang menolongnya. Ia pun alihkan pandangan ke atas pada orang yang sedang duduk di sampingnya.
Seorang wanita cantik dengan jas putih yang sering disebut sebagai snelly di dunia kedokteran. Kerudung hijau pupus menutupi kepalanya dan wajah ayu dengan bibir yang menyungging senyum pada dirinya.
Reygan mengangguk atas pertanyaan yang diberikan oleh wanita tersebut.
"Baiklah, ibu-ibu, bapak-bapak sekalian, sepertinya beliau sudah sadar. Apa kalian bisa kembali agar tuan ini bisa beristirahat?"
Dari perkataan wanita dengan jas dokter itu, Reygan baru menyadari jika di ruangan tersebut bukan hanya mereka berdua. Melainkan banyak warga dengan pakaian lusuh dan kulit yang coklat kehitaman tak terawat sedang mengerumuni dirinya.
"Muhun, Bu Dokter. Hayu urang aruih sadayana." (Iya, Bu Dokter. Ayo semuanya kita pulang.)
Reygan menganga karena tak mengerti apa yang dikatakan oleh warga. Namun yang ia pahami bahwa, kemungkinan yang mereka katakan adalah ucapan pamit karena hendak pergi meninggalkan Reygan.
"I ... ini, di mana?" tanya Reygan dengan suara yang terputus.
"Ini namanya Desa Ciwanoja, Tuan. Anda sepertinya terbawa oleh longsoran dari Desa Cirata hingga ke mari. Para warga yang menemukan anda terkejut karena melihat ada orang yang masih hidup dan utuh. Pasalnya, yang warga temukan sejak kemarin hanya jasad atau organ tubuh yang tidak utuh."
"Apa?" Suara Reygan mengencang dengan mulut yang membulat. Ia seakan tak percaya dengan yang ia dengar.
"Jadi ... sebenarnya, telah terjadi tanah longsor?" tanya Reygan lagi.
Wanita dokter itu mengangguk. "Alhamdulillah Tuhan telah menyelamatkan anda, Tuan."
Reygan menggelengkan kepalanya. Ia rasanya tak ingin percaya jika ia baru saja lolos dari maut. Kemudian ia baru menyadari akan pakaian yang ia gunakan. Kaos oblong polos dan celana kulot panjang.
Dengan penuh kecurigaan, Reygan menyentuh baju itu dan menatap ke arah sang dokter bergantian.
"Ah, itu ... itu kedua orangtua saya yang melakukannya. Ayah dan ibuku. Saya ... saya juga belum menikah, mana mungkin saya berani mengganti baju pria asing," ujar sang dokter seakan paham dengan kecurigaan pasien di hadapannya ini.
"Emm ... terimakasih sudah menolongku. Siapa namamu?" tanya Reygan sembari mencoba bangkit.
"Ah, tidur saja. Anda masih belum boleh banyak bergerak."
Reygan akhirnya tetap diam dan berbaring sesuai anjuran dari dokter wanita yang menolongnya.
"Tunggu, kalau begitu ... sudah berapa lama aku tak sadarkan diri?" tanya Reygan agak lirih. Ia belum percaya dengan apa yang ia lihat dan ia dengar semenjak ia sadarkan diri.
"Emmm ...." Sang dokter tampak berpikir dan mengingat kembali. "Anda dibawa ke mari sekitar dua hari yang lalu. Dan tuan sendiri ditemukan pada hari ketiga pencarian korban longsor. Jadi ... total tak sadarkan diri sekitar lima hari, Tuan."
Penjelasan sang dokter membuat alis Reygan berkerut-kerut. Lalu ... bagaimana nasib sekretaris dan sang supir yang menemaninya?
"Dokter, apa ... kau tidak menemukan orang lain yang bersamaku? Atau setidaknya ... ada jasad yang tidak kalian kenali? Bisa jadi ... itu adalah kolegaku." Raut sedih terukir dari wajah Reygan. Ia tampak tak baik-baik saja memikirkan apa yang terjadi pada supir dan sekretarisnya.
Namun sang dokter menggeleng. "Semua korban adalah warga desa setempat. Tidak ada korban yang tak dikenali lain selain tuan sendiri. Dan beruntungnya, tuan masih hidup."
Reygan menghembuskan napas sembari tertawa tak percaya. Lima hari tak sadarkan diri dengan kedua orang yang menemaninya tak ditemukan, ia benar-benar merasa tak bisa menerima kenyataan.
"Apa ... aku sudah boleh berdiri?" pinta Reygan.
"Apa ada sesuatu yang anda inginkan?"
Reygan menggeleng. "Aku ... aku hanya merasa perlu melihat sekitar. Setidaknya ... aku harus memikirkan bagaimana caranya aku untuk kembali."
"Dilihat dari pakaian yang tuan kenakan saat tuan ditemukan, sepertinya anda berasal dari area perkotaan. Apa itu Kota Jakarta?" tanya sang dokter penasaran.
Reygan hanya mengangguk. "Ya, rumahku, keluargaku, perusahaanku, dan semua milikku ada di Jakarta. Aku harus segera kembali."
Dokter itu tersenyum mencibir, namun ia segera menganggukkan kepalanya. "Tuan ... tapi ... di sini ...."
"Sssst! Sebaiknya kau berhenti panggil aku tuan." Reygan mengerutkan dahinya karena tak suka.
"Lalu ... harus kupanggil tuan dengan sebutan apa?"
"Reygan. Namaku Reygan. Kamu?"
"Aku ... Wulan. Orang kampung banyak yang mengenaliku sebagai dokter Wulan."
Reygan mengangguk. "Baiklah, dokter Wulan, apa kau bisa membantuku untuk pergi dari desa ini. Ah tidak, maksudku tunjukkan di mana stasiun dan aku ingin pinjam sedikit uang. Aku tau kita tidak terlalu dekat untuk itu, tapi ... percayalah, saya adalah seorang pengusaha, saya pasti akan kembali ke mari untuk membayar uang Anda, Dokter."
Reygan menyadari apa yang ia akan itu cukup absurd. Meminjam uang pada orang yang baru ia kenal, itu pun seorang wanita memang sangat melukai harga diri seorang Reygan. Namun apa boleh buat, ia tak yakin bisa kembali jika tak ada yang meminjaminya uang.
Sementara itu Dokter Wulan menatap Reygan dengan santai. Ia berdiri dan menyandarkan punggungnya pada dinding semi permanen di kliniknya. Melipat tangannya dan menatap Reygan tanpa berekspresi.
"Ah, Dokter. Aku ... minta maaf jika aku terlalu lancang. Tapi ... dokter bisa menyita dompet dan ponselku. Orangtua Anda pasti menemukan dompet itu di baju kotor milikku. Sebagai gantinya, pinjami saya uang. Nanti saya akan kembali ke mari untuk mengganti uang Anda dan mengambil dompet milik saya. Bagaimana?"
Dokter Wulan masih tak menanggapi celotehan Reygan. Ia hanya tersenyum tipis sambil menjauhkan punggungnya dari sandaran dinding.
Sambil menggelengkan kepala, Dokter Wulan pun menjawab, "Bukan aku tidak mau membantu Anda, Tuan Reygan. Tapi ... coba Anda lihat ke luar."
Dengan tertatih, Reygan pun berusaha bangun perlahan. Dokter Wulan membantunya untuk berdiri dan menuju ke jendela.
"A ... apa? Di mana ini ... sebenarnya ...?"
*
"Tidak ada jalan raya? Tidak ada kendaraan? Tempat macam apa ini? Bahkan mungkin neraka lebih baik dari desa ini."
"Ah, aku harus sampai kapan ada di sini? Apa di sini benar-benar tidak akan ada kendaraan yang lewat? Sekedar delman? Pedati? Becak? Tidak ada kah?"
"Lalu nanti malam, kau bilang aku bisa tidur di mana? Di klinik ini? Tidak, tidak, tidak. Aku tidak bisa tinggal di tempat seburuk ini. Pasti ada penginapan atau vila di dekat sini. Orang-orang kaya biasanya suka membuat tempat peristirahatan di daerah seperti ini untuk mereka menyepi dari kebisingan kota. Iya, vila seperti itu, aku pasti bisa menyewanya."
Reygan terus menyampaikan keluhannya. Ia tidak percaya jika ia harus berada di sebuah kampung yang terisolasi seperti ini.
Sementara itu Dokter Wulan hanya diam dan memilih untuk tidak meladeni keluhan Reygan. Telinganya sendiri sebenarnya sudah cukup gatal mendengar ocehan Reygan yang menurutnya terlalu manja.
"Ah, aku tidak percaya. Aku seorang Reygan Dirgantara, seorang pengusaha kelas internasional terperangkap di sebuah tempat yang terisolasi seperti ini. Hidup dengan barang-barang sederhana dan tempat kumuh begini. Apa kata dunia jika mereka mengetahui tentang aku yang begini?"
Dokter Wulan tiba-tibang berdiri dari tempatnya. Ia melihat jam tangan di pergelangannya. "Sudah siang. Saya akan pulang untuk makan. Apa Anda mau ikut bersama saya?"
"Ke mana? Emmm ... ke rumah makan? Oh, di sini tidak ada rumah makan pasti, warung makan biasa pun tak apa, yang lesehan juga tak apa-apa."
Dokter Wulan menggeleng-gelengkan kepala sambil memijat pelipisnya. Ia langsung menyambar tas ransel dan menggendongnya kemudian keluar dari bangunan yang disebut sebagai klinik itu.
"Emmm .... Dokter, sepertinya saya tidak bisa ikut."
Reygan yang hendak melangkah ke luar pun urung saat melihat suasana di luar klinik.
"Baiklah, kalau Anda tidak ingin ikut."
Wanita yang sudah melepas jas dokternya itu pun keluar sambil mengganti sandalnya dengan sebuah boot. Reygan terkejut melihat penampilan Dokter Wulan saat keluar dari klinik.
"Tu-tunggu, Dokter Waulan."
Wulan pun menghentikan langkahnya dan melihat kembali ke arah Reygan.
"Setidaknya, apa kau tidak ... emm ... tidak khawatir karena meninggalkan aku di sini?"
Mendengar ucapan basa-basi dari Reygan, Wulan memutar bola matanya malas. Mungkin dalam pikirannya, Reygan terlalu manja sebagai seorang laki-laki.
"Ah, begini. Sejujurnya aku belum terbiasa dengan tempat yang seperti hutan belantara begini. Lalu ... aku juga tidak tahu apa yang harus aku lakukan bila mendapat serangan hewan buas secara mendadak. Apa kau tidak khawatir?" Reygan sedikit memelas berharap dokter yang menolongnya ini mau berbelas kasih.
"Tuan, saya tidak punya waktu. Jika Anda mau ikut, silakan ikuti saya. Jika Anda ingin tetap tinggal saya tidak akan memaksa."
Reygan menganga dan merasa kesal atas sifat dingin Dokter Wulan. Ia merasa diacuhkan dan ia tidak suka diacuhkan.
"Hei! Aku sudah bilang padamu, jika aku ini seorang pengusaha ternama. Aku memiliki pabrik pembuatan pesawat terbang, kereta bahkan kapal pesiar. Seharusnya kau merasa tersanjung karena ada aku yang datang ke mari."
Dokter Wulan pun akhirnya menghentikan langkahnya.
Reygan tersenyum dan ia merasa menang. Memang, tidak akan ada orang di dunia ini yang tidak tunduk padanya setelah tahu siapa dirinya, begitu dalam pikiran Reygan.
Seketika, Dokter Wulan pun berbalik dan melepas bootnya. Ia masuk kembali ke klinik dan melewati Reygan begitu saja yang berdiri di pintu masuk.
"Hei hei!" Reygan yang merasa diacuhkan lagi pun mencoba memanggil Dokter Wulan.
"Ah, akhirnya ketemu." Dokter Wulan mengambil sebuah kunci cadangan pada loker meja kliniknya.
"Ini kunci cadangan, kalau mau pergi, tolong kunci klinik ini."
Wanita berkerudung hijau itu pun meletakkan kuncinya di atas meja dan kembali keluar tanpa menggubris reaksi dari Reygan.
Sementara itu, Reygan jelas merasa terluka harga dirinya. Ia merasa direndahkan yang selama ini, ia tak pernah mendapat perlakuan seperti demikian.
"Hei, hei!"
Reygan menganga, yang benar saja? Bahkan wanita itu berani memerintah kepada dirinya.
"Tunggu!" Reygan berjalan ke arah Dokter Wulan dan meraih tangannya. Ia cekal pergelangan sanh dokter cantik itu hingga wanita bermata tajam itu terkejut dan melihat ke arah Reygan.
"Jaga sopan santun Anda, Tuan!" tukas Wulan seraya membanting lengan Reygan.
"Uups! Maaf! Aku ... aku hanya ingin kau ... membantuku." Reygan terkejut akan reaksi Wulan yang begitu tegas padanya. Ia melihat Wulan masih terdiam dengan tatapan tajamnya.k
Pada akhirnya, Reygan pun berlutut. "Aku ... sungguh-sungguh minta maaf. Tolong maafkan aku jika aku tidak sopan. Tapi ... di sini aku benar-benar tidak tau apapun dan tidak kenal siapapun. Kau tau, aku pun harus cepat kembali ke tempat asalku."
Reygan mengucapkan hal itu sungguh-sungguh. Ia tak mengira harus melakukan hal seperti inj di tempat yang asing baginya begini.
Wulan berkacak pinggang melihat Reygan. Ke mana kesombongan yang tadi Reygan tunjukkan jika sekarang pria itu malah bertekuk lutut di hadapannya?
"Begini. Saya mau kembali ke rumah orang tua saya untuk makan. Kalau anda mau ikut dengan saya, ayo. Kalau tidak pun saya tidak mempermasalahkannya. Saya tidak punya banyak waktu karena setelah jam satu nanti, saya harus kembali ke mari karena klinik akan buka lagi."
Reygan menelan ludahnya. Ia baru menyadari jika Wulan sama sekali tidak peduli yang ia katakan dan rasanya percuma saja bila ia telah berlutut di depan Wulan.
"Ah, baiklah. Aku ... memang lapar. Boleh aku ikut?"
Wulan tidak menjawab sama sekali, ia terus memasang kembali sepatu bootnya dan berdiri setelah keduanya terpasang.
Sementara itu, Reygan hanya menggunakan sandal klinik berjalan mengikuti Dokter Wulan. "Tunggu aku, Dokter."
Beberapa meter pun tak terasa, Reygan semakin menganga dengan jalanan yang ia lewati.
"Dokter, jangan cepat-cepat. Aku ini pasienmu!" Reygan agak kesulitan berjalan di atas tanah yang licin dan banyak tumbuhan menghadang mereka.
"Pantas saja kau memakai sepatu boot. Sungguh licik, dia tak memberitahuku keadaan jalan yang seperti ini dan membiarkanku memakai sandal jepit."
Lirikan tajam dari Wulan pun langsung menghunus ke arah Reygan begitu ia mendengar umpatan dari pria asing tersebut.
"Ah, tidak. Aku tarik ucapanku yang tadi."
"Apa aku akan panjang umur terdampar di tempat ini? Sepertinya wanita berkedok dokter ini akan membunuhku terlebih dulu sebelum aku bertemu dengan hewan buas itu sendiri."
*