Reygan terkekeh melihat wajah Wulan yang merona dengan parah. Namun akhirnya gadis itu cemberut sendiri di depan Reygan
Pria tersebut senyum dengan begitu lebar karena ia merasa bahagia telah berhasil menggoda dokter muda nan cantik itu.
“Aku bercanda, Nona Manis. Jangan dimasukkan hati.” Reygan mendekat sambil memperhatikan bagaimana Wulan membalut kakinya sendiri.
“Aku tahu kok. Aku juga tak peduli,” jawab Wulan masih dengan nada ketus. Tangannya begitu terampil melilit persendiannya menggunakan kain yang ia sobek sendiri.
“Seandainya aku bisa melakukannya, kau tidak perlu membalut kakimu seorang diri seperti ini.” Reygan masih mengutarakan penyesalannya.
“Tidak perlu berandai-andai, semuanya yang seandainya di dunia ini pasti tidak akan tercapai.” Dia pun berusaha berdiri sambil berpegangan pada tiang meja di dekatnya.
“Biar aku bantu,” tawar Reygan.
Wulan tak menolak, entah karena gadis itu menepis rasa gengsinya, entah pula karena dia tak ada pilihan lain sehingga terpaksa menerima bantuan dari Reygan. Yang jelas, saat ini dia tak banyak menolak.
Tangan Wulan dengan santai hinggap di pundak Reygan, begitu pula dengan Reygan yang terlihat tak canggung memeluk pinggul gadis dokter itu untuk berjalan.
“Bagaimana kau bisa membuka klinik setelah ini? Kondisimu saja seperti ini, aku khawatir banyaknya pasien akan membuatmu kesulitan,” ujar Reygan sambil mendudukkan Wulan di atas kasur tempat ia tidur kemarin.
Wulan pun sedikit berpikir. “Hmmm, bisa tolong aku?”
Reygan pun langsung menoleh dan menatap pada Wulan. “Menolong apa? Apa yang kau butuh?” tanya Reygan menunjukkan kesediaannya untuk menolong Wulan.
“Panggilkan gadis-gadis muda sepertiku. Kau bisa datang saja ke rumahku dan minta tolong pada ibu, bapakku, atau tetangga-tetanggaku.” Wulan memberi saran.
“Siapa yang harus kupanggil?” Reygan tak mengenal satu pun yang ada di desa ini selain Wulan dan keluarganya.
“Ambilkan pulpen, aku akan menulis nama mereka.”
Reygan berbalik arah dan mendekat pada meja kerja milik Wulan. Dia mengedarkan pandangan untuk mencari benda yang diminta oleh Wulan. Bahkan sampai membungkuk dan membuka ke dalam loker juga.
“Iya, ada di laci itu,” ujar Wulan saat melihat Reygan membuka laci di meja kerjanya.
Diambillah benda-benda yang diminta oleh Wulan, lalu Reygan kembali ke tempat gadis itu sedang duduk di atas ranjang.
“Ini.”
Sebuah buku tulis dan juga pena, Wulan menerimanya dan langsung menuliskan nama-nama kawan yang akan dipanggil untuk diminta bantuannya.
“Susah,” ujar Wulan. Dia kesulitan menulis di tempat yang tidak ada alasnya seperti di depan meja.
Reygan pun akhirnya membungkuk dan menyodorkan punggung lebarnya untuk Wulan. “Bisa kau gunakan punggungku untuk alas menulis?”
Gadis dokter itu tersenyum. “Terima kasih,” jawabnya dengan suara yang begitu lembut dan manis.
Dia agak ragu saat melihat punggung lebar dengan pundak yang tegap itu berada di depannya.
Akan tetapi Reygan menunjukkan tangannya agar menulis di punggungnya. “Ayo, cepet!” titahnya sambil menunjuk ke arah pundak.
Wulan pun tak sungkan-sungkan untuk meletakkan buku di atas punggung hangat itu. “Jangan bergerak, ya,” pinta Wulan.
Reygan terdiam merasakan ada sebuah benda pipih ditempelkan di punggungnya, lalu pena yang menari-nari di atas benda pipih tersebut. Ia sedikit menahan rasa geli dan membiarkan Wulan memakai bagian belakang tubuhnya itu untuk alas menulis. Setidaknya ini menggantikan rasa bersalahnya karena telah membuat kaki dokter itu seperti demikian.
“Nah, sudah!” Wulan pun mengangkat buku dan menjauhkannya dari punggung Reygan. Lalu ia menyobek selembar kertas untuk diberikan pada Reygan. “Ini bawa! Kautahu, kan, di mana rumahku?” tanya Wulan.
Reygan mengangguk. “Serahkan saja padaku!” jawabnya.
Pria itu hendak berjalan ke luar meninggalkan klinik, tapi Wulan malam memanggilnya lagi. “Reygan!” Dia pun menoleh.
“Kenapa?” tanyanya.
Wulan melambaikan tangannya lagi.
“Ada apa?”
Gadis dokter itu pun berbisik. “Siapa pun yang menanyakan nama aslimu, jangan pernah kauberi tahu, ya! Ingat, di kampung ini nama kamu adalah Dirga! Juga ... jangan beritahu siapa pun tentang informasi keluargamu.”
Reygan tak mengerti kenapa Wulan melarang demikian. Tapi pria itu mengangguk saja dan mengikuti apa kata Wulan.
*
Berjalan di tengah pedalaman, tentu menjadi sesuatu yang baru untuk Reygan. Pria itu bahkan sama sekali belum pernah keluar dari klinik itu sendirian.
Tapi ... ia merasa biasa saja, tak ada rasa takut apalagi malu. Reygan berjalan dengan tegak dan menuju ke sebuah gubuk kecil yang terletak di bawah pohon mangga. Ada beberapa orang yang sedang berkumpul di sana, termasuk ibu-ibu dan juga bapak-bapak, bahkan ada anak kecil pula. Rumah Wulan bagaikan tempat untuk para warga berkumpul dan membahas sesuatu.
Kedatangan Reygan jelas mencuri perhatian.
Pria tampan dengan kulit putih lalu tampilan memesona itu terlihat begitu menarik perhatian meski hanya menggunakan kaos kumal milik Pak Hendar, bapaknya Wulan.
“Nak Dirga!” Ibu-ibu yang ada di sana jelas sangat histeris begitu melihat ada makhluk tampan menghampiri sarang mereka.
Reygan memasang senyum tanpa memperlihatkan giginya. Ia mengangguk dan mengiyakan saja panggilan mereka. Meski bukan itu namanya yang sebenarnya, entah kenapa Wulan memaksa Reygan menyembunyikan identitasnya dari para warga.
“Ada apa kok tumben ke sini sendiri? Ke mana Neng Wulan?” tanya orang yang ada di sana.
“Apa kaki Wulan sakitnya tambah parah?” tanya Pak Hendar yang merasa khawatir akan anaknya.
Reygan mengangguk. “Dia hanya kesulitan berjalan, jadi sekarang saya diminta memanggil teman-temannya untuk membantu Wulan? Apa ada dokter lain di sekitar sini?” Reygan berkata sambil menyodorkan lagi kertas pemberian dari Wulan untuk Pak Hendar dan warga di sana.
Dalam kertas tersebut tertulis tiga nama perempuan yang akan dimintai bantuan oleh Wulan.
“Oh, ini ada Siti, Yuli dan Yuni,” ujar Pak Hendar membacakan nama-nama tersebut. “Panggilan si Siti sama si kembar!”
Ternyata, dua orang bernama Yuli dan Yuni adalah anak kembar yang ada di sana.
Ketiganya datang tergopoh-gopoh dan tersenyum girang sambil menghampiri pria tampan yang memanggilnya.
Namun di mata Reygan, ada yang salah dengan hal tersebut.
“Kenapa?” tanya salah satu di antara mereka bertiga yang memiliki wajah berbeda. Sepertinya itu adalah Siti.
“Ini semua, Siti, Yuli dan Yuni?” tanya Reygan dengan wajah bertanya-tanya.
“Iya, mereka bertiga ini sekolah SMA di Cirata. Mereka ini sudah dilatih beberapa hal sama Wulan, cuma ya karena kemarin-kemarin mereka ini sekolah, jadi mereka nggak bantu-bantu lagi di klinik. Tapi tepat sebelum longsor, kebetulan mereka pulang.” Pak Hendar menjelaskan pada Reygan yang kebingungan.
Dalam pikiran pria tersebut mengira jika perempuan-perempuan yang dipanggil Wulan ini adalah sesama dokter sepertinya, tapi ternyata mereka adalah para siswi yang pernah dilatih Wulan. Tapi tak apa, setidaknya ada yang bisa diandalkan.
“Ya sudah, ayo ikut denganku!” ujar Reygan sambil membungkukkan badan. “Saya permisi, Pak, Bu.”
Mereka berempat pun pergi bersama-sama dan melewati jalan yang rusak seperti rute yang dilewati oleh Reygan tadi.
Ini masih pagi dan suasana masih sangat dingin, ditambah sisa-sisa hujan membuat jalan semakin licin.
Reygan berjalan di belakang para gadis itu untuk menjaga mereka. Padahal dia sendiri tak mahir untuk melangkah pada jalan berbatu yang dipenuhi lumpur nan licin tersebut.
Dua orang gadis berwajah sama itu menggunakan pakaian yang jauh berbeda, Reygan mengamatinya dari belakang. Satu orang dari mereka memakai gaun panjang dan berhijab seperti Wulan, satu orang lagi memakai celana panjang dengan kerudung instan. Lalu untuk gadis bernama Siti tersebut, dia tidak berhijab.
“Kang, bisa bedakan kami nggak?” tanya gadis bercelana panjang. Entah siapa gadis itu, namun yang jelas mereka adalah salah satu dari yang disebut dengan Yuli atau Yuni.
“Nggak!”
“Padahal dandanan mereka beda jauh, masih sulit membedakan?” Kali ini Siti yang menimpali.
“Ya, karena aku tidak tahu nama kalian siapa,” jawab Reygan dengan santai.
“Oh, iya. Haha.”
“Kalau Yuli itu aku,” ujar si gadis tomboy. “Kalau Yuni itu dia.” Dia menunjuk pada saudaranya yang sejak tadi tak bersuara. Ternyata selain dandanannya yang feminin, gadis itu juga pendiam.
Klinik kecil dengan dinding bata semi permanen tanpa cat itu pun terlihat. Pintunya masih terbuka, sama seperti ketika saat Reygan meninggalkannya.
Ketiga gadis yang ada di depannya, kecuali Yuni, berlari sambil melompati batu-batu licin itu tanpa rasa takut. Reygan sendiri perlu berhati-hati dalam melangkah, tapi mereka berdua hanya cekikikan sambil melompat ke sana kemari tanpa takut jauh.
Sementara Yuni, berteriak berkali-kali memanggil saudara kembarnya agar mau menunggu dirinya.
Berulang kali Reygan mendapati Yuni melirik padanya. Gadis itu seakan-akan takut oleh Reygan yang berjalan di belakangnya.
Reygan pun jadi sungkan dan merasa aneh sendiri pada anak kembar yang satu ini.
Gadis itu tak bisa berlari, tapi dia berjalan cepat seakan menghindar dari Reygan. Ingin tertawa, tapi ini sama sekali tidak lucu. Jadinya Reygan hanya mengedikkan bahu melihat reaksi dari Yuni.
Di klinik, Wulan berusaha untuk bangun dan menyiapkan beberapa obat-obatan. Dia berusaha membuka kardus berisi obat yang dikirim dari kota, walau kesulitan. Sepertinya Pak Hendar dan Pak Suryo mengirim obat-obatan tersebut ke klinik dan meletakkannya di depan.
“Susah, ya?”
Terlihat Yuli telah sampai lebih dulu disusul dengan Siti. Mereka membantu Wulan untuk mempersiapkan obat-obatan.
“Teh, ini dimasukkan saja, ya?”
“Iya, biar aku yang menggotong. Itu berat!” ujar Reygan saat ia sudah sampai di klinik.
Anak-anak gadis itu sama sekali tidak mendengarkan, mereka pun aktif membantu Wulan bahkan lebih cekatan dari Reygan.
Satu orang yang bersih-bersih, dia adalah Yuni. Gadis pendiam itu lekas mengambil sapu dan mengepel lantai. Lalu Yuli, yang terlihat urakan ternyata dia juga cukup cekatan dalam merapikan kasur, lemari dan juga obat-obatan yang baru datang. Sementara itu, Siti dia menyusun obat yang sudah dipindahkan oleh Siti berdasarkan kegunaannya. Sepertinya Wulan memang telah memberikan keterampilan itu untuk mereka, Reygan yang tertegun melihat mereka bekerja pun dalam hati memuji Wulan.
“Dia melatih gadis-gadis ini hingga sangat terampil. Ternyata, Wulan cukup berbakat dalam berbagai hal.”
*
Di sisi lain, pemandangan padatnya ibu kota menjadi view utama perkantoran ini. Seorang pria dengan wajah kebarat-baratan berdiri dengan tegap menatap jendela. Matanya menguasai setiap sudut kota seakan ia tersenyum dengan sebuah hasil karya.
“Pak Reyhan, Pihak dari Jepang telah menyepakati untuk bertemu dengan perusahaan kita. Kami akan segera menjadwalkan pertemuan Anda.” Seorang sekretaris berbicara dengan penuh rasa tunduk pada pria tersebut.
“Bagus! Pembangunan kereta monorail ini sudah semakin dekat. Bahkan lanskap kota ini sudah terbayang di kepalaku bagaimana jalur-jalur monorail akan melayang di setiap sudutnya.” Dia tertawa dengan begitu puas.
Pria bernama Reyhan Dirgantara itu pun berbalik menatap pada sang sekretaris. “Kautahu apa yang harus kaulakukan?”
Sekretaris tersebut diam dan tak menjawab.
Lalu Reyhan berkata lagi. “Pergilah ke Cirata sekarang, lalu buat kabar kematian saudaraku yang tercinta dari sana. Aku sudah tidak sabar untuk memegang mega proyek ini dan meraup keuntungannya. Hahaha hahaha.”