Dua Enam

1557 Words
Yudha sudah terlihat rapi, walaupun hari ini dia libur ke kantor, baginya menjaga penampilan agar selalu rapi adalah kewajibannya. Yudha, dengan hanya mengenakan kaos oblong dan juga celana setinggi lutut, berjalan menuju ke dapur. Iapun heran melihat suasana dapur yang menurutnya cukup meriah. Terlihat banyak makanan tersaji di meja. "Wah, wah, wah. Ini mau ada pesta atau gimana sih?" celetuknya masih berdiri. Sita yang sedang berada di depan kompor, menoleh ke arah sang Kakak. "Bukannya pesta, Mas. Tapi mau menyambut tamu agung! Iya kan, Bu?" liriknya ke arah sang Ibu. Mainah yang sedang mengelap beberapa piring pun menjawab. "Iya, Yud. Nanti ada tamu dari jauh yang mau datang kesini. Kamu ingat ndak, sama Pakde Wardi, yang dulu waktu kamu masih SD, dia transmigrasi ke Sulawesi?" tanyanya pada Yudha. "Pakde Wardi? Emmm, yang rumahnya di kecamatan sebelah itu bukan sih, Bu? Yang teman dekatnya Bapak itu kan?" timpal Yudha seraya berjalan mendekati Sita yang sedang menggoreng ayam. "Nah itu ingat. Tadi malam ngabarin kalau dia lagi pulang kampung. Nah, rencananya nanti agak siangan mau main kesini sama keluarganya. Ya sudah, Ibu masak aja sekalian yang banyak. Belum tentu lima tahun sekali main kesini kan?" "Oalah! Ya ya ya!" sahut Yudha. Yudha memandangi beberapa ayam potong yang sudah matang, yang di simpan ke dalam piring, dan sudah di tata rapi. Tiba-tiba tangannya dengan cepat mengambil satu buah paha ayam dengan begitu cepat. "Minta satu ya, Ta, hehehe!" ucapnya dan langsung berlaku. "Dasar, makan mulu yang dipikirin. Bantu-bantu bentar kenapa!" seru Sita seraya menatap punggung Yudha yang semakin menjauh darinya. "Laki-laki urusannya di depan, bukan di dapur! Ha ha ha!" celetuk Yudha terus berlalu. *** Sekitar pukul sebelas siang, terlihat sebuah mobil berwarna hitam perlahan memasuki halaman rumah Prayoga. Sudah bisa ditebak, itu adalah rombongan dari keluarga Wardi. Mainah, Prayoga, dan Sita berdiri di depan teras, menyambut kedatangan teman lamanya itu. Sementara Keinara dan Yudha tidak ikut menyambut, mereka berdua tengah asyik bermain kartu di halaman samping. Terlihat seorang laki-laki beruban penub di kepalanya, yang turun dari mobil, melepas senyum sumringahnya ke arah sang empunya rumah. Ya, dia adalah Wardi. Tak selang berapa lama ada seorang sosok wanita muda yang juga turun dari mobil. Wanita berhijab yang parasnya terlihat sangat anggun. Kalau kata orang Jawa, kalem. Dia adalah putri Wardi, yang bernama Ratna. Keduanya nampak berjalan mendekati rumah. "Assalakualaikum!" ucap Wardi dengan suara lantangnya. Walaupun raga sudah terlihat menua, namun suaranya dari dulu masih terdengar sama, selalu menggelegar. "Waalaikumsalam!" sambut ketiganya. "Wah, wah, wah! Orang Sulawesi pulang kampung! Ha ha ha!" sapa Prayoga dengan iringan tawanya. Keduanya terlihat berpelukan, melepas rasa rindu karena sudah puluhan tahun tidak pernah bertemu. Sementara Ratna memilih menyalami Mainah dan Sita terlebih dahulu. "Bulik!" sapa Ratna seraya bersalaman dengan Mainah. Lalu beralih pada Sita. "Ini Mbak Sita ya?" tanyanya memastikan. "Iya. Kamu, Ratna ya?" balas Sita sedikit ragu. Sita tersenyum lebar. "Iya, Mbak, aku Ratna." "Masya Allah! Cantik sekali ya. Dulu waktu di bawa transmigrasi sama Pakde Wardi kamu kayanya masih kecil banget ya? Usia tiga tahunan ya, Pakde? Sekarang sudah sebesar dan secantik ini." ujar Sita. Ratna yang pemalu hanya membalasnya dengan senyuman. "Walah, nduk, Ratna. Bulik sampai pangling lho. Bulik kira siapa." imbuh Mainah yang juga terkagum-kagun melihat Ratna. "Ayu (cantik) to Mbakyu, anakku! He he he!" celetuk Wardi. Mainah menatap Wardi. "Percaya, percaya! Tapi yang jelas, cantiknya nurunin Ibunya. Bukan dari kamu lho, War!" "Hahahahaha!" gelak tawa tak terelakkan lagi. Riuh suara saling memuja dan juga mengejek pun tercipta. "Ayo, ayo, pada masuk! Kita lanjut ngobrolnya di dalam saja." seru Prayoga. Ke lima orang tersebut masuk ke dalam rumah. Keinara dan Yudha yang tengah bermain kartu di halaman di halaman samping, sampai bisa mendengar keriuhan yang terjadi di ruang depan. "Tamunya Kakek siapa sih, Pakde? Itu kaya rame banget di depan." tanya Keinara yang sedikit penasaran. "Mana Pakde tahu. Lihat aja ke depan kalau kepo!" timpal Yudha yang terlihat tidak tertarik untuk melihat siapa tamu yang datang di depan. "Emmm, ogah ah. Palingan juga para orang tua-tua. Kan temannya Kakek sama Nenek!" celetuk Keinara, lalu melanjutkan permainan kartunya. Tak selang berapa lama, Mainah mendatangi Keinara dan Yudha. "Kei, Yud. Ayo keluar, ketemu dulu sama Pakde Wardi!" titahnya pada cucu dan anak sulungnya tersebut. "Ngapain sih, Bu, pakai keluar segala. Malas ah!" tolak Yudha. "Iya, Nek. Kenal juga nggak! Tanggung ini kita lagi seru-serunya main poker." imbuh Keinara yang sejalan dengan Yudha. "Nemuin sebentar aja, abis itu kalau mau balik lagi kesini ndak apa-apa. Sebagai rasa hormat pada tamu! Ayo buruan!" ucap Mainah terus memaksa. "Ya ampun, Bu_" "Ayo cepat, Yud!" cela Mainah. Yudha paling tidak bisa menolak permintaan sang Ibu. Tepaksa ia bangkit dari posisi nyamannya untuk menuruti permintaan sang Ibu. Begitu juga dengan Keinara, terpaksa juga mengekor di belakang sang Pakde, mengikuti perintah sang Nenek. "Monggo Pakde, diminum!" ucap Sita seraya menurunkan minumannya ke atas meja. "Walah nduk! Malah ngerepotin lho. Makasih ya!" ucap Wardi. "Cuma minum aja, Pakde. Mana ada ngerepotin segala." balas Sita seraya duduk kembali. Mainah, Yudha, dan Keinara berduyun-duyun memasuki ruang tamu. Lalu menyalami Wardi secara bergantian. "Inu, Yudha ya? Waahh, le sudah seganteng dan segagah ini kamu ya! Hehehe." Ucap Wardi. "Iya Pakde." sahut Yudha sekenanya. Iapun ikut duduk berbaur bersama semuanya. Wardi menatap ke arah Keinara. "Terus ini? Siapa?" Menatap ke arah Prayoga. "Anak kamu ada tiga po, Ga?" "Bukan, Di. Yang cantik dan manis ini cucuku. Anaknya Sita." terang Prayoga. "Oalah, anaknya Sita to. Lha kapan nikahnya kok aku ndak dengar kabarnya. Tahu-tahu sudah segede ini anaknya. Oh iya, suami kamu mana, nduk Sita?" tanya Wardi. Serentak semua orang terdiam, bingung harus seperti apa menanggapi pertanyaan Wardi. Terlebih Sita dan Keinara, wajah mereka terlihat langsung berbeda. Yudha berinisiatif membuka toples yang berisi kacang bawang. "Pakde, monggo di icip ini kacang bawang buatan Ibu, enak lho, renyah banget nih." seloroh Yudha mengalihkan topik pembahasan. "Masih enak seperti dulu po, Yud? Hehehe. Ibumu ini memang terkenal dengan buatan kacang gawangnya yang enak, gurih dan renyah. Beda sama kacang bawang buatan orang lain." Wardi mulai mengambil kacang bawang dalam toples. "Heemmm, ternyata masih sama rasanya ya. Memang juaranya kamu ini, Nah!" Susana kembali seperti semula, namun tidak dengan Sita yang merasa seperti tidak nyaman. Wardi dan Ratna lumayan cukup lama berada di kediaman Prayoga. Banyak sekali hal-hal yang mereka bicarakan, terlebih sudah sangat lama mereka tidak berjumpa. Tentu banyak cerita yang mereka lalui selama ini untuk di bagikan satu sama lain. Sita dan Keinara memilih meninggalkan ruang tamu, dengan alasan masih banyak pekerjaan di belakang yang harus diselesaikan. Sedangkan Yudha masih tetao berada disana karena ditahan oleh Mainah. Ratna yang anaknya pendiam juga terlihat hanya menjadi pendengar. Yudha pun sama, ia hanya jadi pendengar dan tidak berniat untuk ikut bergabung. "Ibu apaan sih, pakai nahan aku segala. Kalau kaya gini mah namanya jadi kambing congek. Tahu yang di obrolin para orang tua juga nggak!" gerutunya dalam hati. *** Setelah cukup puas dengan acara temu kangen, Wardi berpamitan. "Makasih ya, Di. Sudah mau menyempatkan datang ke gubukku ini. Lain kali gantian aku yang main ke rumahmu." ucap Prayoga, melepaskan kepulangan sahabatnya. "Beneran lho, ya. Aku rencana di Jawanya masih satu bulan lagi. Jadi kalau sampai kamu sama Mainah ndak kelihatan sampai rumahku, awas saja! Hahahaha!" gertaknya bercanda. "Hahaha, tenang! Nanti aku bakal kesana, sama Yudha juga akan aku ajak. Biar emm, " Prayoga menggerakkan alisnya ke arah Wardi. Seakan mengerti maksud dari sahabatnya itu, Wardi juga membalas dengan hal yang sama. *** "Gimana, Yud? Anaknya Pakde Wardi? Cantik nggak?" celetuk Prayoga tiba-tiba, mendekati Yudha yang sedang melanjutkan permainan pokernya bersama Keinara. Membuat Yudha sedikit berfikir keras. Biasanya sang Ayah tidak pernah menanyakan hal seperti ini sebelumnya. "Emmm, cantik, pak. Namanya juga perempuan, dimana-mana ya cantik! Kalau laki-laki, baru lah ganteng!" sahut Yudha diplomatis. "Udah cantik, udah jadi ASN juga lho, Yud. Jadi mulai tahun ini, Ratna di tempatkan di Kecamatan kita. Jadi pegawai Kecamatan." imbuh Prayoga. "Owwhh!" sahut Yudha singkat. Keinara hanya tersenyum, sedikit paham dengan maksud Kakek dan Neneknya. Apalagi kalau bukan berniat menjodohkan keduanya. *** Sita memilih menyendiri di belakang rumah, menyiram pohon cabai yang sudah beberapa hari tanahnya terlihat mengering. Terlihat juga ada Mainah yang berjalan menghampiri sang putri. Sepertinya Mainah paham dengan sikap Sita yang mendadak berubah menjadi murung. "Ta, sudah sore. Besok lagi nyiram cabainya! Masuk yuk, nduk!" seru Mainah. "Tanggung, Bu. Ini tinggal sedikit lagi." timpal Sita. Mainah segera merebut selang yang ada di genggaman Sita. "Kamu ini lho, dari dulu ngeyelnya ndak berubah. Sudah ayo masuk!" Mainah melaporkan selang tersebut ke bawah, lalu menarik lengan Sita. Beberapa langkah Sita ikut berjalan di belakang sang Ibu. Namun tiba-tiba ia menghentikan langkahnya. Membuat Mainah agak berat menarik lengan sang putri. Mainah menengok ke belakang, dengan raut wajah yang sulit digambarkan. "Ini yang Sita takutkan, Bu. Kalau ketemu sama orang atau keluarga besar. Mereka pasti akan melontarkan pertanyaan-pertanyaan seperti Pakde Wardi tadi. Bapak sama Ibu pasti bingung kan mau menjawab seperti apa. Karena jawabannya memang nggak ada." ucap Sita dengan mata yang sudah mulai berkaca. Mainah hanya bisa diam, menatap sang putri yang kini merasa jatuh kembali. Ia membalikkan tubuhnya, lalu menggenggam kedua pasang jemari Sita. "Maafin Sita ya, Bu. Sampai detik ini masih selalu mempermalukan Bapak sama Ibu, mempermalukan keluarga." ucap Sita dengan buliran-buliran air mata yang mulai jatuh membasahi pipinya. Sita memeluk sang Ibu dengan erat. Karena baginya, tempat ternyaman ketika hati dan pikirannya sedang tidak baik-baik saja, adalah pelukan sang ibunda.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD