Dua Tujuh

1503 Words
"Pakde, kalau menurut hasil analisa Kei, ini sih roman-romannya ada udang di balik bakwan! Eh batu maksudnya, hehe." gurau Keinara setelah ditinggal Prayoga pergi. "Roman-roman apa sih, Kei? Anak kecil sok tahu aja!" semprot Yudha yang masih fokus memegang kartu di tangannya. "Yey! Dibilang anak kecil! Keinara kan udah dewasa, udah delapan belas tahun, udah ABG! Coba deh, Pakde pikir, itu barusan Kakek nanya-nanya soal anaknya Kakek Wardi buat apa coba? Pasti ada niatan terselubung! Kei yakin banget!" tutur Keinara dengan suara lantang. "Niat terselubung apaan sih, Kei? Ngomong yang jelas! Jangan pakai perumpamaan segala! Nggak paham Pakdhe!" Keinara membuang nafasnya melalui mulut. "Ya Allah, ya Rabb. Pantas aja kaga nemu-nemu jodohnya, kaga peka banget sih jadi orang! Itu artinya Kakek berniat jodohin Pakde sama anaknya Kakek Wardi barusan! Paham!" Kartu yang ada di tangan Yudha tiba-tiba terjatuh ke atas meja. Yudha menatap Keinara dengan mendelik. "Hah? Apa Kei?" sentak Yudha yang kaget bukan kepalang. Ia bahkan tidak pernah berfikiran sejauh itu. "Tuh kan, kaya gitu aja kaget! Heuh, payah!" cibir Keinara. "Sebentar! Dari mana kamu bisa nebak, kalau Kakek mau jodohin Pakde sama anaknya Kakek Wardi? Jangan asal ah!" "Hadeehh! Susah ah ngomong sama orang telmi! Di jelasin mulai tujuh hari tujuh malam juga nggak bakalan paham! Payah!" Keinara memilih meletakkan kartunya dan bangkit. "Eh eh eh, mau kemana? Belum selesai ini main pokernya! Curang ah! Nggak asyik!" seloroh Yudha menahan lengan Keinara. "Perut Keinara sakit, mau ke WC. Pakde mau ikut?" Seketika Yudha melempar lengan Keinara. "Hihh, nggak lah. Ngapain ikut orang mau boker! Sana-sana pergi!" usir Yudha yang setengah kesal, dikerjai oleh keponakannya sendiri. "Hahaha, ya udah kalau nggak mau ikut mah. Kei ke WC sendirian aja!" Keinara baru saja melangkahkan kakinya, namun tiba-tiba ia berhenti. "Eh, Pakde! Pakde! Dengar sesuatu nggak?" tanyanya pada Yudha dengan wajah serius. Yudha mendongakkan kepalanya. "Dengar apaan sih, Kei?" "Itu lho barusan kaya ada suara apa gitu!" "Mana ah, nggak ada!" "Ih! Ada. Coba dengerin sebentar!" Yudha menurut, dia diam dan memasang telinganya baik-baik. Sedangkan Keinara berusaha menahan bibirnya supaya tidak mengeluarkan tawa. Brrrooottt. "Hahahaha!" Keinara langsung berlari terbirit-b***t menjauh dari Yudha. "Astaghfirullah! Keinaraaaaaa!" seru Yudha mengeluarkan suaranya hingga volume tertingginya. "Awas kamu ya!" Keinara membuang gas di hadapan Yudha. Bisa dibayangkan bukan, bau gas orang yang menahan b***k itu seperti apa? Membuat Yudha kesal hingga ke ubun-ubun rasanya. Yudha bangkit dari duduknya, lalu pergi ke arah dapur. "Dasar anak jaman sekarang, nggak ada akhlak! Nggak ada sopan-sopannya sama orang tua. Awas ya Kei. Abis ini bakalan gantian Pakde kerjain. Lihat aja!" gerutunya seraya terus berjalan. Yudha menuju ke arah lemari es, mengambil sebuah minuman dingin du dalam botol. "Kenapa to, Yud? Ngomel-ngomel sendiri! Diapain sama Keinara?" ucap Mainah yang baru saja masuk dari pintu belakang. Disusul Sita yang berada di belakangnya. Yudha menurunkan botol dari mulutnya. "Itu, Keinara buang gas sembarangan. Mana bau banget lagi, heuhh!" timpalnya masih terlihat kesal. "Hahaha!" tawa Maina pecah. Yudha memandang ke arah sang Ibu. "Kok malah ketawa sih, Bu?" "Coba sekarang kamu ingat-ingat, siapa yang ngajarin Keinara kaya gitu?" Yudha terdiam, berfikir sejenak. "Emm, mana Yudha tahu. Awas aja abis ini bakalan abis dia aku balas kerjain!" "Mana ku tahu? Halah, kamu ingat waktu bulan lalu Keinara kesini? Terus kalian berdua lagi main poker di ruang televisi, tiba-tiba kamu kentut sembarangan terus kamu lari masuk kamar! Ingat nggak?" Raut wajah Yudha tiba-tiba berubah. "Kaya gitu masih mau ngelak, siapa yang ngajarin? Ya kamu sendiri lah! Makanya kalau ngajarin ke anak itu yang baik-baik, yang benar! Giliran di balikin ke kamu sendiri aja, jadi marah-marah! Kuapookk mu kapan!" tutur Mainah dengan tawa mengejek. Ia berjalan melewati Yudha yang masih mematung merenungi kecerobohannya di samping lemari pendingin. Sementara Sita hanya mengurai senyum tanpa ikut menghakimi sang Kakak, ia memilih untuk tinggal dan duduk di meja makan. Yudha berjalan menuju meja makan, lalu duduk. "Habis nangis ya?" tanyanya pada sang adik. Ia lihat mata Sita masih kelihatan memerah. "Emmm, nggak kok. Matanya kelilipan tadi." elak Sita santai. "Kelilipan kok sampai hidungnya ikutan merah juga. Emang hidungnya ikutan kelilipan juga?" sahut Yudha yang tidak percaya begitu saja. Sita menghela nafasnya. Melepaskan beban dalam dadanya. Ia menunduk sejenak, lalu memberanikan diri menatap wajah sang Kakak. "Maaf ya, Mas. Aku masih selalu menjadi beban untuk keluarga ini. Tadi Mas Yudha dengar sendiri kan? Pakde Wardi tanya apa? Pertanyaan itu yang selalu membuatku malas untuk berkomunikasi dengan keluarga besar. Mereka pasti akan tanya dengan pertanyaan yang sama. Dan aku tidak siap menunjukkan jawabannya. Maaf sudah membuat semua orang malu karena masa lalu yang belum bisa terlepas dari hidupku." tutur Sita panjang lebar. "Ta, masa lalu biarlah menjadi pelajaran untuk kita supaya bisa menjadi orang yang lebih baik lagi ke depannya. Masa lalu biarlah menjadi cambuk pengingat saat kita akan terjun ke dalam masalah yang sama." tutur Yudha, menguatkan sang adik. "Itulah salah satu alasan aku melarang keras pada Keinara untuk tidak pacaran dulu, Mas. Aku ingin dia fokus sama kuliahnya aja. Biar cepat selesai, cepat cari kerja, baru deh boleh kenal sama laki-laki. Biar pengalaman masa laluku tidak terulang kembali pada Keinara." terang Sita. "Tapi apa kamu yakin dengan aturan yang kamu buat ini, Ta? Mengingat Keinara di usianya yang sekarang ini yang sudah menginjak dewasa. Membatasi pergaulannya aku sih setuju aja, tapi kalau sampai apa yang kamu bilang barusan, aku kurang setuju." "Maksud Mas Yudha?" "Ta, kamu jangan sama ratakan, jika anak yang sudah pacaran terus prestasinya akan menurun, apalagi kalau benar dia memendam perasaannya pada kawan jenisnya, tapi harus terhalang oleh restu dari kamu, apa kamu nggak mikir, kalau justru akan jadi boomerang buat kamu sendiri?" "Sebentar! Boomerang? Maksud Mas Yudha boomerang gimana sih? Aku nggak paham deh, Mas!" "Sekarang gini, Ta. Misal di kampus Keinara suka sama laki-laki, terus si laki-laki juga suka sama Keinara, tapi karena kamu nggak izinin dia buat pacaran, justru malah membuatnya jadi umpet-umpetan di belakang kamu? Mereka backstreet? Bisa jadi lho, Ta! Justru ini yang akan berbahaya. Dengan pacaran sembunyi-sembunyi kamu malah nggak akan bisa mengontrol. Coba kalau kamu tahu secara terang-terangan, kamu justru bisa jadi pengontrol mereka. Kamu bisa saling bertukar pendapat, kamu bisa menasehati mereka, harus pacaran secara sehat. Bukannya begitu lebih bagus?" Sita terdiam, ia mencerna apa yang disampaikan oleh sang Kakak. *** Balikpapan 17.00 Keinginan Rafly yang mulai mencari tahu tentang sosok Sita kembali muncul. Hari ini dia sengaja membuat akun sosial media baru untuk berusaha mencari Sita di dunia Maya. Siapa tahu usahanya ini akan membuahkan hasil. Walaupun hasilnya masih nihil dan Ia tidak menemukan tanda-tanda Sita dari dunia maya, namun ada sedikit petunjuk yang ia dapatkan. Rafly berhasil mengikuti akun instgam milik Yudha, dengan akun bernama Yudha_Mgl84.Walaupun tidak bisa langsung melihat foto-foto postingan dalam akun milik Yudha karena akunnya dikunci, namun ada setitik harapan untuk Rafly. Ia harus menunggu persetujuan terlebih dahulu atas akun Yudha. Kring kring kring Terlihat nama 'My Wife' muncul di layar depan ponselnya. "Hallo, sayang. Ada apa?" sapa Rafly. "Hallo, Mas! Mas masih ada meeting ya? Tumben belum pulang?" tanya Sukma. "Owh, iya, sayang. Ini sebentar lagi pulang kok. Meetingnya sih udah selesai tapi aku mampir ke kantor sebentar buat ambil dokumen yang akan aku bawa pulang nanti. Ini udah di jalan, mau ke parkiran." terang Yudha, lagi-lagi harus berbohong. "Owh, ya sudah! Aku barusan udah selesai masak makanan kesukaan kamu. Cepet pulang ya, kita makan malam bersama." "Siap sayang! Tunggu ya, sebentar lagi sampai rumah kok. Kamu mau dibawain apa? Biar sekalian aku mampir nanti di jalan." "Nggak usah, Mas. Cepat pulang aja, hati-hati aja di jalan ya. Dadaah." "OK. Daaa, sayang." Sambungan telepon terputus. Terlihat raut ketegangan di wajah Rafly. "Ya Tuhan! Aku harus berbohong lagi sama Sukma." lirihnya penuh penyesalan. Rafly segera beranjak dari meja kerjanya. Meninggalkan ruangannya untuk kembali ke rumah. Hari ini Rafly memang sengaja meminta izin ke Sukma untuk menghadiri meeting di sebuah restoran. Padahal hari ini adalah weekend yang seharusnya libur. Karena demi perkembangan perusahaan, Sukma tanpa curiga mengizinkan sang suami keluar. Rafly memacu mobilnya dengan kecepatan yang lumayan tinggi, Ia ingin segera sampai rumah dan bertemu dengan istri tercintanya. *** Malam ini Sita dan Keinara memutuskan untuk kembali ke rumah mereka. Melihat kondisi Prayoga yang sudah semakin sehat, membuat Sita bisa dengan tenang meninggalkan sang Ayah tercinta. Sita berjalan menuju ke mobil terlebih dahulu. Sedangkan Keinara masih berjalan di belakang. "Nduk, hati-hati ya! Nanti kalau sudah sampai rumah segera kabari Kakek." ucap Prayoga melepas kepergian sang cucu. "Siap, Kek. Nanti begitu sampai pasti Keinara kabari. Kakek baik-baik di rumah ya. Makan yang bener, istirahat yang cukup, nurut apa kata Nenek sama Pakde, biar makin sehat lagi." timpal Keinara. "Pasti!" sahut Prayoga. Kemudian laki-laki tua itu terlihat merogoh sesuatu dari kantongnya. "Ini, Kakek kasih uang jajan buat Kei. Nggak banyak sih, lumayan buat jajan bakso, hehehe." Prayoga menyelipkan sebuah amplop putih ke telapak tangan Keinara. "Kakek repot-repot segala sih, takutnya nanti Keinara jadi keterusan, nanti kalau kesini ngarep di kasih uang jajan lagi deh, hihihi." Prayoga pun hanya bisa tertawa melihat tingkah konyol cucunya tersebut. Mainah yang ada di samping Prayoga juga hanya bisa tersenyum seraya menahan rasa harunya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD