Tiga Tujuh

1538 Words
Yudha telah sampai di sebuah cafe dimana dia dan Vira telah membuat janji untuk bertemu. Yudha yang sudah sampai di parkiran, namun masih enggan untuk turun dari mobil. Entah kenapa dadanya merasakan debaran yang sangat hebat. Debaran yang sama saat ia rasakan beberapa tahun yang lalu sewaktu menatap Vira dalam sebuah wawancara saat mengikuti seleksi masuk sebagai anggota BEM di kampus. "Edan! Kenapa jadi deg-degan gini sih d**a aku! Mana ditambah ser-seran gini lagi darahku. Haisshhh!" umpat Yudha, yang masih belum bisa menguasai perasaannya. Hatinya memang sedang bergejolak dengan begitu hebatnya. Hingga di keningnya juga mulai muncul butiran-butiran kecil bening yang mengalir perlahan. Yudha mulai berkeringat. "Tolonglah, Yud, kamu ini bukan lagi ABG yang baru pertama kali mau ketemu sama cewek. Udah bangkotan! Masak kaya gini aja pakai acara grogi! Malu-maluin aja ah! Huufff!" umpatnya lagi pada dirinya sendiri, kemudian mengambil selembar tisu lalu mengelapkan ke kening. Yudha berinisiatif untuk menenangkan hatinya dengan cara mengambil nafas dalam-dalam, lalu ia hembuskan perlahan. Berulang kali ia lakukan untuk mengurangi rasa groginya saat ini. Dan lumayan berhasil. Setelah gejolak hatinya mulai mereda, Yudha kembali memantapkan hatinya untuk bertemu dengan Vira. "OK! Aman! Tolong ya hati, mari kita kerja sama, jangan deg-degan lagi! Jangan buat aku malu di depan Vira nanti!" ucapnya seraya mengelus dadanya, memberikan sugesti pada dirinya sendiri. Yudha mengambil sebuah botol bening berisikan cairan pengharum. Ia semprotkan ke arah kemeja, tangan, dan juga leher belakangnya. Sewaktu di tengah jalan tadi ia sengaja mampir ke sebuah toko untuk membeli parfum tersebut, supaya kalau duduk dekat Vira, masih tercium wangi. Itu akan menambah rasa kepercayaan dirinya saat di dekat Vira nanti. Satu, dua, tiga. Yudha membuka pintu mobilnya, mantap keluar dari sana. Menginjakkan kakinya ke tanah dengan gagah berani, layaknya seorang prajurit yang telah siap menghadapi pertempuran di medan laga. Yudha mulai berjalan memasuki cafe. Sesampainya di dalam ia memilih tempat yang dirasanya nyaman untuknya dan Vira dalam menuangkan obrolan-obrolannya nanti. Yudha memilih sebuah meja yang berada di dekat kolam air yang di pinggirnya di hiasi tanaman hijau yang sudah berbunga. Indah sekali! Ia yakin Vira juga pasti akan menyukainya. Yudha sudah duduk selama beberapa menit, ia sengaja belum memesan apapun karena ingin menunggu kedatangan Vira terlebih dahulu. Namun sepertinya, setelah lebih dari tiga puluh menit berlalu, belum ada juga tanda-tanda kedatangan Vira. Rasa cemas mulai menggelayut di benak Yudha. Berulang kali ia memeriksa jam tangannya. Waktu berjalan begitu lama. "Vira lama banget sih. Hemmmm! Nggak tahu apa ini bokongku sampai panas nunggunya." keluh Yudha, bicara sendiri kaya orang stres. Berulang kali Yudha menarik nafasnya, mengatur rasa groginya yang masih terasa. Drrttt drrttt drrrttt. Ponsel milik Yudha yang ia letakkan di atas meja, terlihat bergetar. Yudha melongok ke arah ponsel, tertera nama Vira disana. Sontak, Yudha segera mengangkat telepon dari Vira. "Iya, halo Vir! Gimana? Kamu udah sampai mana? Udah jalan kan?" cecar Yudha yang seakan tidak sabar untuk bisa segera bertemu dengan Vira. "Emmm, Mas Yudha. Aduh, gimana ya! Emmm, aku benar-benar minta maaf ya, Mas. Aku nggak bermaksud buat ingkar sama janji kita, tapi ini aku mendadak harus menangani sebuah operasi pasien aku. Mendadak harus segera ambil tindakan. Dan terpaksa aku harus membatalkan janji kita. Gimana, Mas? Kamu nggak apa-apa kan? Aduh, aku minta maaf banget, Mas, ya?" Mendengar pernyataan Vira, mendadak raut wajah Yudha berubah lesu. Sebuah momen pertemuan yang sudah ia atur sedemikian rupa, ternyata harus gagal karena sesuatu yang mendadak. "Mas? Kok diam aja sih? Kamu marah ya, Mas? Aduh, Mas, maaf sih! Aku janji deh, lain kali aku pasti akan datang. Tapi kali ini aku benar-benar nggak bisa! Ya, Mas?" "Ya udah nggak apa-apa, Vir. Keselamatan pasien bagi seorang dokter itu nomer satu. Urusan ketemu bisa kita atur lain waktu. Lagian aku juga masih di kantor ini, belum berangkat juga, hehe." tutur Yudha berbohong. "Alhamdulillah, makasih ya, Mas, atas segala pengertiannya. Kamu dari dulu emang selalu pengertian sama orang lain ya. Ya udah, Mas kalau gitu aku siap-siap mau operasi dulu ya, Mas." "Iya, Vir. Semoga lancat semuanya ya!" "Iya, Mas makasih. Daaa." "Daaa." Yudha mendadak lemas. Persiapan yang sedari ia lakukan ternyata tidak ada hasilnya. Sore ini ia gagal kencan dengan Vira. Terpaksa Yudha memesan minuman untuk menutupi rasa tidak enaknya. Sudah terlanjur masuk dan duduk cukup lama, masak iya harus keluar cuma-cuma. "Vira! Udah ditungguin, udah bersiap sedekimian rupa, eh ternyata ada kerjaan dadakan. Haduhh! Gini nih kalau punya gebetan seorang dokter. Harus siap ditinggal kapan aja demi tugas negara." selorohnya seraya terus meminum minuman yang dia pesan. "Mending aku ke rumah Sita aja kali ya. Kangen juga sama si Kei. Ya siapa tahu bisa aku jahilin tuh keponakan kesayangan, he he he." Yudha terkekeh. Setelah menghabiskan minumannya, Yudha memilih pergi ke rumah Sita. Barang kali, bertemu dengan sang keponakan yang selalu ia jahili bisa mengembalikan mood yang sedang terjun bebas tersebut. *** Sita sedang duduk manis di depan komputer di meja kasirnya. Ia masih merasakan pergulatan batin yang kian memanas. Kepalanya semakin mendidih. Sita bingung, bagaimana nantinya dia harus menjelaskan pada Keinara mengenai hal yang sesungguhnya, tanpa harus menyakiti perasaannya. Sita memijit keningnya, kepalanya memang terasa pening sedari tadi pagi saat ia bangun tidur. Semakin sore justru terasa semakin menjadi. Tiba-tiba terlihat dengan jelas dari balik kaca butik, sebuah mobil yang tidak asing berhenti di parkiran depan butik. Sita mencebikan bibirnya. "Mas Yudha? Tumben kesini! Bukannya kemarin baru aja ketemu sama Kei? Kok sekarang udah nyamperin ponakannya lagi?" ujarnya sendiri. Sita segera bangkit dari duduknya, berjalan menuju depan untuk menyambut kedatangan sang Kakak. Yudha terlihat keluar dari mobil, melemparkan senyuman pada sang adik. Terlihat juga ia membawa sebuah tentengan di tangan kanannya. "Kei mana, Ta? Ini aku bawain dia brownies kesukaannya!" ujarnya seraya mengangkat kantong di tangannya. "Tadi sih masih tidur! Coba aja Mas bangunin di atas." timpal Sita, lalu membalikkan badannya masuk kembali. Yudha mengekor di belakangnya. Sita duduk di sebuah sofa panjang. Yudha mengikuti. "Biarin aja lah kalau lagi tidur. Kasihan kalau harus dipaksa bangun. Nanti malah sakit kepala." tutur Yudha seraya meletakkan kantong berisi brownies itu ke atas meja. Yudha menatap ke arah wajah Sita, jelas sekali terlihat mendung disana. "Kamu kenapa, Ta? Itu muka ditekuk gitu! Kaya baju yang nggak pernah di setrika aja. Kenapa? Butik lagi sepi atau gimana?" Sita menghela nafasnya. "Bukan, Mas. Bukan masalah itu. Tapi," Sita berhenti bicara. "Tapi apa?" "Mas, kamu tahu nggak, aku," Sita mendadak diam, lagi. Yudha mengernyitkan keningnya, seraya menunggu kelanjutan omongan dari Sita. "Apaan sih? Ngomong setengah-setengah! Yang jelas sih!" Sita menatap sang Kakak. "Aku ketemu sama Rafly!" ucapnya lantang. Sontak membuat Yudha melebarkan bola matanya seketika. "Apa, Ta? Rafly?" Sita mengangguk perlahan. Yudha membenarkan posisi duduknya. "Dimana kamu ketemu sama b******n itu? Kamu diapain sama dia? Ada yang terluka? Mana? Mana yang sakit?" cecar Yudha seraya menggoyang kedua bahu sang adik. "Mas! Sabar! Aku mah nggak apa-apa, aku nggak di apa-apain. Tenang! Tapi," "Tapi apa?" "Jadi gini. Kei itu kan sekarang lagi dekat sama teman kampusnya, namanya Zaky. Ya Mas tahu sendiri kan, yang namanya anak muda apalagi seumuran Kei kaya gitu pasti lagi merasakan banget yang namanya bunga-bunga cinta, bucin sama seseorang lah atau apalah yang berhubungan dengan perasaan. mas Yudha ingat kan, waktu aku bicara sama Mas Yudha waktu, soal kasih izin Kei untuk pacaran namun tetap dalam pengawasan aku?" "Ya!" "Itu akhirnya esok harinya aku bicara sama Kei kalau aku sepakat mengizinkan dia untuk punya teman dekat. Aku pikir dengan mengekangnya seperti itu akan berdampak buruk juga terhadap psikologisnya. Karena di usianya yang sudah menginjak dewasa, anak juga harus berkembang seperti teman-teman sebayanya." tutur Sita. Sita terlihat menarik nafasnya dalam-dalam. Sementara Yudha tetap fokus mendengarkan penuturan sang adik. "Dan puncaknya adalah kemarin malam itu. Kebetulan orang tua pacarnya Kei ini datang ke Jogja dan mengajak kami untuk sekedar ketemu, makan malam gitu lah ceritanya, ya sambil perkenalan. Dan setelah kami datang ke restoran itu, aku baru tahu kalau ternyata Ayah dari tekan dekatnya Kei itu ternyata, Rafly!" ungkap Sita, wajahnya terlihat gamang. Yudha yang terlihat serius mendengarkan Sita bercerita, tiba-tiba fokusnya hilang mendengar nama Rafly disebutkan. "Sebentar, Kei pacaran sama anaknya Rafly?" "Iya, Mas. Namanya Zaky!" "Itu artinya, Zaky sama Kei itu berarti seumuran kan, Ta? Mereka ada di kelas yang sama lho! Itu berarti setelah Rafly ninggalin kamu saat itu, dia memilih untuk menikah dengan orang lain?" Sita hanya diam, mencerna omongan sang Kakak. "Jadi, waktu itu Rafly lebih memilih menikah dengan orang lain ketimbang menikahi aku yang sudah jelas-jelas mengandung anaknya? Apa benar kaya gitu? Ya Tuhan! Tega sekali manusia itu. Jahat!" batin Sita semakin gamang. "Kurang ajar memang! b******k! Jadi dia pergi ninggalin kamu bukan untuk mengejar cita-citanya, melainkan memilih untuk menikah dengan wanita lain. Benar-benar kurang ajar!" umpat Yudha dengan emosi yang meninggi. Yudha terlihat mengeratkan giginya. Urat-urat di keningnya juga terlihat muncul dengan jelas. "Mau menikah dengan siapa sekarang udah nggak perduli, Mas. Yang Sita pikirin, seandainya dia nanti tiba-tiba datang dan mengatakan pada Sita jika dia adalah Ayah kandungnya. Bagaimana perasaan Keinara? Hatinya pasti akan hancur." tutur Sita. "Kamu tenang aja, Ta. Nggak akan ada yang bisa mengusik ketenangan Keinara. Akan aku pastikan semuanya baik-baik saja!" Ujar Yudha dengan yakin. Yudha, adalah orang pertama yang akan bertindak ketika kenyamanan adik dan keponakannya mulai terusik. Dialah yang akan berdiri di garda paling depan untuk membela orang yang sangat ia kasihi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD