Tiga Delapan

1567 Words
Yudha masih terpaku, ia kembali berfikir, ketika siang itu dia seperti melihat Rafly saat makan di warung, dan mungkin itu memanglah benar, si Rafly. Yudha menghela nafasnya panjang. "Ta, sebenarnya Mas itu pernah secara nggak sengaja melihat orang yang mirip banget sama Rafly di jalan." akunya tiba-tiba. Mendengar pengakuan dari sang Kakak, terang saja membuat Sita kaget. "Mas Yudha pernah melihat orang yang mirip sama Rafly?" tekan Sita dengan raut wajahnya yang terlihat syok. "Iya! Tapi waktu itu Mas Ragu, itu beneran dia atau orang lain. Karena Mas pikir nggak mungkin juga orang itu ada di Jogja, buat apa dia ada disini? Itu sama aja nyari masalah kan?" timpal Yudha. "Ya, tapi kenapa Mas Yudha nggak pernah cerita sama aku sih soal itu?" protes Sita, kecewa. "Bisa saja kan yang Mas Yudha lihat itu memang beneran dia. Kemungkinan saat itu dia ke Jogja karena ada urusan sama anaknya? Atau apa gitu kan?" imbuhnya. Yudha menganggukkan kepalanya. "Sebenarnya waktu itu, Mas mau cerita. Tapi Mas urungkan aja. Mas nggak mau mengorek kembali luka di hati kamu yang sudah kamu kubur dalam-dalam. Mas nggak mau melihat kamu sedih lagi, kepikiran lagi. Jadi, ya udah Mas memutuskan untuk diam aja, karena Mas pikir itu memang bukan Rafly". tutur Yudha. Sita merebahkan punggungnya ke bahu sofa seraya memejamkan netra. Menghela nafas yang kian sesak bersarang di dadanya. Kini ia semakin bingung, bagaimana harus menyikapi masalah ini. Dia mulai menyadari, suatu saat Keinara pasti akan bertemu kembali dengan Rafly, sang Ayah kandung. Selama ini Sita selalu merahasiakan sosok Ayah kandung Keinara. Sita tidak pernah mengungkapkan identitas samg Ayah pada Keinara. Bahkan foto rupa sang Ayah saja Keinara tidak pernah melihatnya. Yang Sita sampaikan pada sang putri hanyalah sebuah penjelasan jika sang Ayah sudah pergi meninggalkan mereka sedari Keinara masih ada di dalam perutnya. Yang secara tidak langsung sudah membentuk persepsi di kepala sang putri, jika sang Ayah memang bukanlah laki-laki yang bertanggung jawab dan tidak perlu lagi dicari keberadaannya. "Aku bingung, Mas, bagaimana caranya aku menjelaskan ini pada Keinara. Aku takut dia akan sakit hati mendengar kenyataan yang ada saat ini. Aku tahu persis, Keinara itu sangat menyayangi Zaky, begitu juga sebaliknya." terang Sita, dengan mata sayu. "Bagaimanapun, mau dipaksakan seperti apa juga hubungan mereka akan tetap berakhir, Ta. Mereka berdua itu saudara sedarah. Nggak bakalan busa bersatu. Mau diakali seperti apa juga nggak akan pernah bisa, Ta. Agama kita juga melarang hubungan sedarah, dosa!" timpal Yudha. "Makanya itu. Lambat laut juga semuanya pasti akan terbongkar dengan sendirinya." Sita merubah posisi duduknya, agak menyerong ke arah Yudha. "Mas Yudha coba bantu aku ya, menjelaskan pada Keinara. Mas kan paling dekat sama Kei. Aku yakin kalau Mas Yudha yang bicara, pasti akan banyak di dengar sama dia." Yudha berbalik menatap Sita, mengangguk pelan. "Iya, Mas coba. Mas akan cari waktu yang tepat nanti, Ta. Kamu jangan khawatir! Kamu tahu sendiri kan, bagaimana rasa sayangku terhadap keinara? Apapun itu, aku ingin segalanya yang terbaik untuk dia." ucap Yudha dari hati. Sita mengangguk. "Ya, Mas. Aku percayakan semuanya padamu." Keduanya sejenak diam, berkecamuk dalam pikiran mereka masing-masing. Tiba-tiba terdengar suara Keinara yang keluar dari kamar. "Pakde! Kapan datang?" serunya dari atas tangga. Perlahan Keinara berjalan menuruni anak tangga, menuju ke tempat Sita dan juga Yudha berada. Wajah sendu Yudha sekejap berubah ceria. "Eh, kamu Kei! Udah bangun ya? Sini!" Keinara menyusul dan memilih duduk di tengah-tengah. Antara Sita dan Yudha. "Kok aku nggak dibangunin sih?" protesnya segera. Yudha mengelus rambut panjang Keinara. "Tadi lagi tidur pules, Pakde nggak tega mau banguninnya, Kei." ucapnya lembut. Dari tatapan Yudha, terlihat sekali rasa sayangnya pada sang keponakan tidak bisa digambarkan seperti apa. "Nih, lihat, Pakde bawa apa?" Yudha meraih kantong di atas meja, menunjukkannya pada Keinara. "Waaa, brownies kesukaanku ini!" seru Keinara dengan girang. "Pakde tahu aja nih nyenengin keponakannya, he he." seloroh Keinara. Ia sambar kantong bertuliskan 'Brownies Akanda" di tangan Yudha. Langsung membukanya dan mengambil satu potong ia masukkan ke dalam mulutnya. "Enak?" tanya Yudha. "Enak banget lah! Makasih ya Pakde." timpalnya dengan mulut penuh. "Bunda mau? Nih ambil, tapi satu aja he he." "Hemmm, kalau giliran makanan kesukaannya aja pelit banget sama Bunda. Dasar ya, Kei!" seloroh Sita diiringi gelak tawanya. Ketiganya terlihat tertawa bersamaan. Tiba-tiba, ponsel Yudha berdering. Yudha merogoh ponsel yang bersarang di saku celananya. Terlihat nama Vira tertera di layar depannya. Keinara yang melirikpun tidak bisa menahan untuk berkata. "Vira? Siapa tuh?" selorohnya. Yudha melotot ke arah Keinara. "Husss! Berisik!" semprotnya. Yudha memilih bangkit dan menjauh dari Sita dan Keinara. Keinara menoleh ke arah sang Bunda. "Vira siapa sih, Bun?" tanyanya penasaran. "Emm, itu lho perempuan yang waktu itu ngobrol seru di pernikahan Mbak Lastri. Ingat nggak?" Keinara mengingat sejenak. "Owh, yang tinggi, yang cantik itu ya?" "He emm!" Keinara manggut-manggut. Yudha memilih keluar dari rumah, mojok di depan pintu garasi. "Halo, Vir! Kenapa?" "Mas, Mas Yudha sekarang dimana? Udah sampai rumah ya?" "Ini aku lagi di tempat keponakan. Mampir sebentar. Ada apa gitu?" "Owhh, ini Mas. Aku udah selesai tugasnya, kalau mau ketemu sekarang terus kalau Mas Yudha nggak sibuk, aku bisa." Sontak ajakan Vira di sambut baik oleh Yudha. Siapa yang berani menolak ajakan wanita yang selama ini namanya selalu tersimpan rapi di relung hatinya yang paling dalam tersebut. "Kamu beneran ini?" tanyanya memastikan. "Ya bener lah, Mas. Masak bohong." "OK! Ya udah kalau gitu kita ketemu di cafe yang tadi aja ya. Kebetulan nggak jauh dari rumah keponakan aku." "Ya udah nggak apa-apa, Mas. Sekarang juga aku jalan. Sampai ketemu disana ya. Daaa." "Siap, Vir. Aku juga langsung jalan ini." Sambungan telepon terputus. "Yeesss! Jadi juga ketemu sama Vira." ungkap Yudha dengan dangat girangnya. Yudha berjalan menuju ke pintu masuk butik, hanya melongokkan kepalanya. "Ta, Kei. Aku jalan dulu ya. Ada urusan mendadak." pamitnya. "Nggak makan dulu, Mas?" sahut Sita. "Nggak lah, nanti aja gampang. Udah ya aku berangkat, dadaaa semuanya, muaachh!" Yudha membalikkan tubuhnya dan berlalu. Sita dan Keinara saling menatap dengan penuh tanya. Lalu keduanya terlihat menggeleng bersama. "Pakde mau kemana sih, Bun? Kaya girang banget gitu deh! Aneh!" ujar Keinara, masih menikmati setiap potongan-potongan brownies yang masuk ke dalam mulutnya. Sita mengangkat bahunya. "Bunda juga kaga tahu! Tapi emang aneh sih. Nggak biasanya Pakde Yudha kaya gitu. Kesambet peri mana ya, Kei?" "Malah balik nanya, Bun. Tapi tadi sekilas Kei lihat nama Vira, Bun di panggilannya. Apa Pakde mau ketemu sama dia ya?" Keinara menduga-duga. Sita diam sejenak. "Eemm, bisa jadi tuh, Kei. Wah, roman-romannya sih ada yang beres antara mereka berdua. Kayanya Bunda perlu jadi detektif buat menyelidiki ini semua deh. Setuju nggak, Kei?" "Hahaha! Kei sih setuju aja, Bun. Kalau butuh bantuan Kei buat jadi mata-mata, Kei siap deh, Bun!" "OK dah! Lusa kita mulai penyelidikan, hehehe." Kedua Ibu dan anak itupun saling tertawa bersamaan. *** Balikpapan Rafly terlihat sedang menghubungi seseorang melalui pesawat telepon. "OK, makasih banyak ya! Minggu depan aku akan ke Jogja dan kita butuh untuk bertemu." "Siap, bos! Saya tunggu." "OK! Sementara ini sudah cukup!" Rafly langsung menutup sambungan teleponnya. Rafly membuang nafasnya melakui mulut. "Akhirnya, aku akan bertemu dengan Sita dan juga anakku. Waktu itu ternyata akan tiba juga. Mungkin ini adalah cara yang Tuhan tunjukkan untukku agar bisa menebus segala dosa-dosaku di masa lalu. Walaupun semuanya tidak akan pernah sebanding dengan perbuatan yang sudah aku lakukan." ucapnya sendiri. Rafly masih berada di ruang kerjanya. "Tapi, bagaimana aku menjelaskan dengan Sukma? Kalau dia tahu aku bakalan ke Jogja lagi, dia pasti memaksa untuk ikut. Apa sebaiknya aku mencari alasan lain lagi untuk mengelabuinya?" ujarnya lagi. Rafly terlihat mengusap wajahnya dengan kasar. Ia sebenarnya sudah lelah harus selalu berdrama di depan Sukma. Ia sadar, sesuatu yang dimulai dari sebuah kebohongan, kedepannya juga pasti akan menciptakan kebohongan selanjutnya. "Bagaimana juga dengan perasaan Zaky nanti, ya? Kalau dia tahu, dia dan Keinara ternyata bersaudara?" Kepala Rafly kian memanas. Akhirnya ia memilih untuk meninggalkan ruang kerjanya, kembali pulang ke rumah. *** Sita baru saja hendak berdiri. Namun tiba-tiba ucapan Keinara membuatnya berhenti. "Bun, nanti malam aku mau keluar sama Zaky ya? Mau beli perlengkapan buat camping besok. Abis isya' gitu deh. Boleh ya?" ucap Keinara meminta izin. Sontak Sita membalikkan badannya. "Harus ya, sama Zaky?" timpal Sita datar. Keinara yang sedang asyik menikmati brownies kesukaannya, tiba-tiba melebarkan matanya. "Lho, kok Bunda bilang gitu sih? Kan biasanya Kei juga pergi sama Zaky. Ada yang salah?" tanya Keinara. "Ya nggak salah, nak. Cuma menurut Bunda, kalau terlalu sering pergi berdua gini kan nggak enak juga dilihat sama tetangga, malam-malam pula. Mending pergi sama Bunda aja atau minta tolong sama Pakde kan bisa! Kamu WA Pakde, minta nitip beli keperluannya, nanti biar diantar kesini." jelas Sita. "Tapi, Bun!" Belum selesai Keinara melanjutkan kata-katanya, sudah dulu di sambar oleh sang Bunda. "Nggak ada tapi-tapi. Udah ya, Kei, Bunda mau tutup butik dulu, udah malam." Tanpa menunggu balasan dari Keinara, Sita melanjutkan langkahnya. Sementara Keinara masih terlihat bengong, tak habis pikir, kenapa tiba-tiba sang Bunda berubah secepat ini. "Bunda aneh nggak sih? Kok jadi tiba-tiba nggak izinin aku pergi sama Zaky? Apa iya alasannya karena nggak enak sama tetangga. Tapi kok mendadak gini?" batin Keinara yang masih tak paham dengan sang Bunda. Sementara Sita terus saja berlaga cuek dengan sikap yang Keinara tunjukkan. Sikap bingung dan terlihat shock. "Maafin, Bunda ya, Kei. Bunda saat ini harus mulai tegas. Bukannya Bunda nggak sayang sama kamu, tapi Bunda tidak mau lagi berurusan dengan apapun yang masih ada hubungannya dengan keluarga Rafly." batin Sita, menahan perih harus mematahkan asa sang putri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD