Dua Sembilan

1550 Words
Balikpapan Rafly terus mencari tahu tentang Sita di dunia maya, namun sayang sekali pencariannya belum juga membuahkan hasil. Bahkan akun instgam milik Yudha yang sengaja dia ikuti, juga pun belum ada konfirmasi diterima. "Apa Sita nggak punya akun sosmed ya? Atau ia sengaja bikin akun dengan nama lain yang jauh berbeda?" lirihnya menduga-duga. Rafly berfikir sejenak, ia mencoba mengingat kembali siapa nama teman dekat Sita sewaktu masih kuliah dulu. "Rani Puspitasari." ucapnya spontan. Ibu jarinya segera mencari nama tersebut. Dulu Rani dan Sita adalah teman baik. Siapa tahu ada titik terang yang bisa ia dapatkan dari akun milik Rani. Ada beberapa nama yang muncul dalam menu pencariannya. Rafly mencoba membuka akun yang muncul di paling atas. Beruntungnya akun tersebut tidak di kunci. Dan beruntungnya lagi, setelah melihat foto-foto di dalamnya, akun tersebut memang milik Rani yang Rafly cari. "Nah, ini Rani Puspita! Aku masih ingat betul wajah dia yang ada tompel kecil di pipi bagian kiri. Iya, ini orangnya." ucap Rafly. Dengan penuh kesabaran Rafly mengamati setiap foto ya g di unggah oleh Rani. Bahkan ada sekitar 500 foto harus dia lewati, hingga akhirnya berhenti di foto terakhir. Wajah Rafly kembali lesu. Naasnya, dia tidak menemukan petunjuk apapun tentang Sita. Tidaka ada foto kebersamaan Rani dengan Sita. Bahkan saat acara wisuda, tidak terlihat Sita ada di barisan teman-teman melasnya. "Kayanya aku harus lebih sabar menunggu hasilnya. Semoga saja ada titik celah dimana nanti aku bisa bertemu dengan Sita." batinnya penuh harap. Rafly menutup ponselnya, kembali berkutat pada beberapa lembar tumpukan file yang ada di atas mejanya. *** Waktu menunjukkan pukul sebelas lewat tiga puluh menit. Jam kedua perkuliahan telah selesai. Sandrina, Michel, Rony, Zaky, dan Keinara yang tergabung dalam sebuah gank yang mereka namai, gank Nerow telah bersiap-siap untuk ke kantin mengisi perut mereka karena sudah sangat terasa keroncongan. "Mari kita kemon gaes. Lapar banget nih perut!" seloroh Rony si tukang makan. "Lah, kamu mah setiap menit juga lapar kali!" ejek Michel. "Hehehe, tahu aja ichel ih!" timpal Rony malu. "Ya udah yok, ke kantin! Aku juga pengen nyari teh anget, agak puyeng kepalaku." sahut Keinara. Keinara bangkit dari duduknya, ada sedikit rasa aneh yang memeng ia rasakan saat ini. Kepalanya terasa berat, pandangannya juga sedikit kabur. Zaky yang melihat gelagat aneh Keinara, segera menyusul untuk bangkit. "Kei? Kamu nggak apa-apa kan? Kaya geleyoran gitu badannya?" tanya Zaky yang sudah sangat khawatir, memegangi lengan Keinara. Keinara memejamkan matanya sebentar. Sandrina ikut bangkit, memeriksa keadaan Keinara. "Ya ampun, Kei! Pucat banget gini. Mending duduk lagi dulu deh!" saran Sandrina. Kemudian ia memegangi lengan Keinara bermaksud menjaganya supaya tidak oleng. Baru saja Keinara ingin duduk kembali, tiba-tiba saja dia ambruk menimpa ke arah Zaky. Dengan reflek, Zaky menangkap tubuh Keinara. "Kei!" seru anak-anak bersamaan. "Astaga Keinara kenapa sih?" seru Michel yang langsung bangkit dari duduknya. Rony tak kalah panik, ia juga bangkit dan segera mendekati Keinara. Teman-teman kelas yang lain juga heboh dan mendekati Keinara hingga menjadi sebuah tontonan gratis di dalam kelas. "Ky, bawa ke klinik kampus aja yok!" seru Sandrina. "Iya, San." Zaky dengan cekatan segera mengendong Keinara menuju ke klinik kampus. Sementara Michel meraih tas milik Keinara dan menyusul di belakang. "Kei, kenapa sih, tiba-tiba pingsan! Ya ampun, Kei." ujar Rony seraya berjalan. Kekhawatirannya tidak dapat ia sembunyikan. Sesampainya di klinik, Keinara langsung ditangani oleh dokter yang bertugas. "Yang lain mohon tunggu di luar ya!" seru sang dokter. Anak-anak, termasuk Zaky keluar dari ruangan klinik, menunggu di depan pintu. Terlihat sekali rasa khawatir di raut Zaky. Meluapkannya dengan berjalan mondar-mandir seperti gangsingan yang talinya putus. "Kei, semoga nggak terjadi sesuatu yang serius ya sama kamu." Ujar Michel yang juga tak kalah khawatirnya. Tak selang beberapa lama, dokter membuka pintu dari dalam. "Teman-teman Keinara!" ucapnya di tengah pintu. Sandrina, Michel, Rony, dan Zaky sigap mendekati sang dokter. "Gimana dok? Keadaan teman kita? Baik-baik aja kan?" tanya Zaky dengan cepat. Dokter tersenyum, "Alhamdulillah Keinaranya sudah sadar. Tidak ada sesuatu yang serius. Hanya kelelahan saja." "Alhamdulillah." sahut ke empatnya. "Boleh kami masuk, dok?" tanya Zaky. "Boleh masuk. Silakan!" Begitu dokter membalikkan tubuhnya, Zaky segera gerak cepat mengikutinya masuk. Terlihat sekali kekhawatiran di wajahnya. Membuat Sandrina, Michel, dan Rony justru saling menatap penuh pertanyaan. *** Rumah Sakit Umum Cipta Medika Suasana sore ini sedikit lenggang, terlihat jumlah pasien yang memerlukan penanganannya tidak sebanyak hari-hari yang lalu. Pasien rawat inap juga sudah jauh berkurang. Vira tengah meluruskan bahunya di sandaran kursi biasa ia bekerja menangani pasien-pasiennya. Tiba-tiba saja terlintas bayangan Yudha di matanya. Membuat Vira sedikit melengkungkan bibirnya. Tanpa sadar ia seperti terbius oleh pesona Yudha yang dari dulu memang selalu digandrungi oleh para wanita. "Mas Yudha, dari dulu sikapnya tidak berubah. Selalu malu-malu, hemmm." ujarnya lirih. Pukk Mendadak Vira menepuk mulutnya sendiri. "Ya Allah, astaghfirullah. Kok pikiranku malah jadi jalan-jalan gini sih. Ingat, Vir, Mas Yudha udah punya istri. Ya Allah!" ucap Vira seraya menarik nafas dalam-dalam. Ia mencoba mengingat kembali, saat terakhir kali masuk ke ruangan Ayah Yudha, ia melihat ada sosok perempuan disana, yaitu Sita. Vira menyangka jika Sita adalah istri Yudha. Beberapa hari yang lalu, setelah mencari tahu di akun sosial media milik Yudha, Vira juga menemukan beberapa foto Yudha yang bersama dengan seorang gadis, dan wajah gadis itu juga mirip dengan Sita. *** Terlihat sebuah mobil berhenti di depan butik milik Sita. Itu adalah mobil Zaky. Zaky keluar dari dalam mobil, dengan cepat ia berlari kecil menuju pintu kiri. Zaky memapah Keinara masuk ke dalam rumahnya. Segera Zaky membawa Keinara ke lantai atas. Sita yang kebetulan sedang melayani beberapa pelanggan di butiknya, kaget melihat keadaan Keinara yang sangat lemah. Sontak Sita berlari ke arah Zaky dan Keinara, tidak memperdulikan situasi butik yang sedang ramai pelanggan. Zaky mendudukkan Keinara di sofa dengan pelan. "Zaky! Ini kenapa Keinara?" seru Sita begitu khawatir. "Tadi Keinara pingsan di kelas, Bunda. Alhamdulillah pas sadar langsung saya bawa pulang aja." terang Zaky. "Ya ampun Kei, kamu kenapa sih, Nak?" ujar Sita seraya memegangi pipi sang putri. Keinara tersenyum. "Hehehe nggak apa-apa, Bun. Nggak usah panik gitu ah. Tadi udah di rawat sama dokter klinik di kampus." "Nggak kenapa-kenapa, kok kamu bisa pingsan gini?" sahut Sita. "Kata dokter, Keinara kecapekan aja, Bun, dan kebetulan badannya lagi nggak fit, jadi pingsan deh." terang Zaky. Zaky mengeluarkan bungkus obat dari dalam tas Keinara. "Kei, kamu makan dulu ya, terus minum vitamin yang dikasih sama dokter tadi." ucap Zaky. Keinara mengangguk pelan. "Emm, Bunda bisa tolong ambilkan Keinara makanan, biar segera minum vitaminnya. Hehe, maaf ya, Bun, malah jadi nyuruh-nyuruh orang tua begini, hehe." ucap Zaky merasa sungkan. "Nggak apa-apa, Ky. Sebentar ya, Bunda ambilkan dulu." Sita bangkit, bergegas menuju dapur mengambil roti dan juga segelas air putih. Sita gerak cepat kembali ke sisi Keinara. "Dimakan dulu, nak!" titahnya seraya menyodorkan piring yang berisi roti tawar. Keinara perlahan memakannya, sedangkan Zaky terlihat sibuk menyiapkan vitamin yang akan diminum oleh Keinara. "Zaky, sepertinya sangat perhatian sama Keinara. Kelihatan sekali, rasa khawatir itu jelas tergambar di wajahnya." batin Sita, seraya sedikit mencuri pandang ke arah Zaky. "Ini vitaminnya, Kei!" memberikan beberapa butir vitamin ke hadapan Keinara. Keinara mengambil air dan segera memasukkan beberapa vitamin tersebut ke dalam mulutnya. "Sudah?" Zaky mengulurkan tangannya untuk meminta gelas dari tangan Keinara. Keinara memandang sang Bunda yang masih terlihat khawatir. "Bun, itu banyak pelanggan di bawah. Bunda malah disini! Kasihan pelanggannya nanti pada kabur lho. Keinara udah baik-baik aja kok." ucapnya. "Tapi, Kei_" "Kei udah nggak apa-apa. Beneran itu kasihan pelanggan di bawah pada dicuekin. Udah Bunda ke bawah aja!" "Iya udah, Bunda ke bawah ya. Tapi nanti kalau perlu apa-apa, kamu langsung panggil Bunda ya?" "Siap, Bun." "Emm, kalau gitu saya juga mau pamit dulu ya, Bun. Mau balik ke kampus, bentar lagi ada kuliah tambahan." "Owh, iya, Ky. Sekali lagi makasih ya, udah mau nganterin Keinara pulang." "Sama-sama Bun. Oh iya, sepeda motor Keinara masih ada di kampus, nanti biar Zaky yang bawa kesini." "Iya, Ky, makasih banyak ya, sudah banyak merepotkan." timpal Sita. Zaky mengambil tas ranselnya, bersiap meninggalkan kediaman Keinara. "Kei, aku ngampus dulu ya. Kamu cepat sembuh, biar besok bisa masuk kuliah lagi." "Iya, iya. Udah buruan berangkat, telat semenit aja nanti nggak bakalan dikasih masuk tuh sama Pak Abbas! Hehe." "OK, bye!" Zaky meninggalkan kediaman Keinara. *** Malam hari "Kei, gimana, udah enakan badannya? Ini Bunda bikinin wedang Jahe, biar anget badannya." ucap Sita seraya meletakkan secangkir wedang jahe ke atas meja di samping Keinara. "Udah enakan, Bun. Pusingnya juga udah nggak kerasa. Makasih ya, Bun. Malah jadi ngerepotin Bunda nih." sahutnya tak enak. "Ngerepotin apa sih? Sama anak sendiri ya nggak repot lah!" "Ya kan harusnya Bunda udah istirahat, udah tidur. Ini malah masih ngurusin Kei." timpal Keinara. Sita tersenyum. "Nggak apa-apa sayang, Bunda senang bisa melakukan sesuatu untuk kamu." Keinara mengambil cangkir yang berisi wedang jahe tersebut, meminumnya perlahan, lalu menyimpannya kembali ke tempat semula. "Eemm, Kei. Bunda mau tanya sekali lagi sama kamu. Tapi Bunda mohon, kamu jawab dengan sejujur-jujurnya, tanpa ada yang harus ditutupi. OK?" Keinara diam sejenak, hatinya terasa berdebar begitu kencang. Apa yang hendak sang Bunda tanyakan, sepertinya itu sangat lah penting. "Bunda mau tanya apa?" ucap Keinara ragu-ragu. Sita menghela nafasnya, menghembuskan perlahan. "Hubungan kamu sama Zaky itu seperti apa? Apa kamu dan Zaky saling memiliki rasa?" Duuaarrrr Mendadak Keinara melebarkan matanya. Ia bahkan tidak pernah berfikiran jika sang Bunda akan bertanya seperti ini. Keinara masih diam, urung menjawab pertanyaan sang Bunda.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD