Enam Belas

1509 Words
Menjelang waktu untuk mengistirahatkan jiwa serta raganya, Keinara menyempatkan untuk menghubungi Zaky terlebih dahulu. Lampu kamar sudah ia matikan, tubuhnya juga sudah tertutup oleh selimut tebal, lalu membuka layar sentuhnya di dalam selimutnya. Menekan kontak bertuliskan 'Yudha'. Tut tut tut "Hih, ini anak kemana sih, lama banget angkat teleponnya!" gerutu Keinara. Tut tut tut "Halo baby! Kenapa beb? Kok malam-malam tumben telpon? Tumben juga jam segini kamu belum tidur. Ada apa?" sahut Zaky di ujung sana. "Kemana aja sih, lama banget angkatnya?" semprot Keinara. "Maaf, tadi lagi di luar sama anak-anak kontrakan! Halah-halah, gitu aja ngambek ih bebeb!" canda Zaky. "Awas ya, bohong! Bilangnya sama anak-anak, tahunya sama cewek lain!" semprot Keinara, lagi. "Astaga bebeb! Ya mana mungkin lah aku sama cewek lain. Kan aku punya kamu, setianya cuma sama kamu! Kurang bukti apa coba, beb?" "Hehe, iya-iya, percaya!" "Harus percaya dong! Hehehe! Eh bebeb, tumben jam segini telepon. Kenapa beb?" "Ini lho, Ky, tadi Bunda tahu lho, kalau kamu abis dari sini. Kayanya pas kamu keluar, bunda datang dari arah belakang. Jadinya bunda lihat tuh bemper belakang mobil kamu." terang lirih, menjaga suaranya agar tak terdengar dari luar. "Oh ya? Terus, gimana dong? Kamu pasti dimarahin ya sama Bunda? Sorry, Kei." timpal Zaky penuh penyesalan. "Hehehe." Keinara justru tertawa kecil. "Kok malah ketawa sih? Aku deg-degan ini." "Hehehe. Aman, Ky! Soalnya, terpaksa deh, aku bohong juga. Aku bilang ke Bunda kalau nggak cuma ada kamu aja. Ada anak-anak yang lain juga yang datang, cuma udah di depan jalannya. Dan untungnya Bunda percaya." tutur Keinara. "Alhamdulillah! Tapi kira-kira nanti Bunda kamu bakalan nanyain ke anak-anak nggak ya? Kalau iya, terbongkar dong semuanya, mati dong kita!" ucapnya khawatir. "Heeemmm, tenang aja. Bunda orangnya nggak sedetail itu kok. Dia kalau udah percaya sama apa yang aku bilang, pasti selesai sampai disitu juga. Jadi ya, menurutku sih aman aja. Kamu nggak usah khawatir, beb." "Kamu yakin, beb?" "Yakin dong." "Syukurlah. Mudah-mudahan Bunda nggak curiga ya beb! Hemmm, ya udah kalau gitu teleponnya udahan ya! Ini udah malam juga, nanti kalau kedengaran sama Bunda habis deh kamu. OK?" "Tenang, bunda kayanya sih udah terbang ke alam mimpinya. Capek gitu, abis jagain Kakek seharian di rumah sakit. Lagian kamar juga udah aku matiin lampunya. Ya pasti paham, kalau lampu udah kati pasti aku udah tidur. Ini bicaranya juga bisik-bisik kan. Supaya terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan. Aman beb! Hehehe." timpal Keinara santai. "Dasar, kamu itu ya. Bisa aja nyari celah dari Bunda, hehehe." balas Zaky seraya tertawa kecil. Sita yang saat itu kebetulan melintas di depan kamar Keinara, pendengarannya seperti sedang mendengar suara bisik-bisik dari dalam kamar Keinara. Saking penasarannya, Sita sampai menempelkan telinganya ke permukaan pintu kamar tersebut. Namun suara itu semakin lama semakin menghilang, tidak terdengar sama sekali. Sitapun kembali melanjutkan jalannya menuju kamar pribadinya. "Ya udah kalau gitu met bobok ya. Met istirahat pacar kesayanganku! Mimpi indah ya, sampai ketemu besok pagi. Jangan lupa ada mata kuliah tambahan dari pak Dody besok ya! Muaaachh!" ucap Zaky yang membuat hati Keinara sontak berbunga-bunga. "Iya honey! Met malam juga, met bobok. Sampai ketemu besok pagi! Muaacchh!" Sambungan telepon akhirnya terputus. Keinara menyimpan ponselnya di meja kecil di sampingnya. Lalu segera berlayar ke pulau mimpi. *** Hari ini Keinara ada jadwal kuliah tambahan pagi. Seperti biasa, sebelum berangkat ia selalu meluangkan waktunya untuk sarapan bersama sang bunda. "Heemmm, bubur ayam bang Ujang ya, Bun? Baunya sampai sini." seru Keinara yang baru saja keluar dari dalam kamarnya, menuju ke meja makan. "Iya. Bunda tadi agak siangan bangunnya. Jadi nggak sempat masak. Beli bubur aja yang cepat, hehehe." sahut Sita yang sedang membuka bungkus bubur ayam dalam styrofoam. Keinara duduk, melepaskan tas gendongnya dan meletakkannya di bawah dekat bangku yang ia duduki. "Ini juga udah enak bun." timpalnya, lalu mengaduk bubur dalam wadah styrofoam tersebut. Sita dan Keinara mulai menikmati sarapan bubur mereka. "Hemmmm, rasa bubur ayam bang Ujang memang nggak ada tandingannya dah! Enaknya sampai meresap di dalam-dalamnya." ucap Keinara sambil terus menelan. "Ini bubur ayam udah ada dari sebelum kamu lahir, Kei. Udah turun temurun resepnya." timpal sang Bunda. "Oh ya?" "He em! Dulu yang jual itu orang tuanya bang Ujang, namanya Mang Engkos. Setelah Mang Engkos nggak ada, dilanjutin deh sama Bang Ujang, sampai sekarang. Dan rasa khasnya dari dulu itu nggak pernah berubah. Selalu nendang di mulut mah." tutur Sita. "Emang kok Bun. Endullls sekali rasanya!" Keinara tampak menikmati sekali sarapan paginya kali ini. Sampai fokusnya tidak bisa diganti. Sita menatap ke arah Keinara. "Kei, boleh Bunda bertanya sesuatu sama kamu?" "Heemm, boleh lah, Bun." jawabnya santai. "Sebenarnya, hubungan kamu sama Zaky itu hubungan yang seperti apa sih? Pacaran, TTMan, atau cuma sahabatan aja?" todong Sita langsung. Keinara yang kalap menikmati bubur ayamnya, mendadak berhenti dari aktifitas menyendoknya. Netranya melebar, hatinya bergemuruh seketika. Perlahan wajahnya ia tegakkan, menghadap sang Bunda. "Waduh, Bunda kok nanya kaya gini ya? Apa jangan-jangan Bunda udah curiga sama aku dan Zaky? Atau malah sebenarnya juga udah tahu? Waduh, gawat!" batinya penuh rasa was-was. "Kok, tiba-tiba Bunda tanya kaya gitu sih?" tanyanya mulai khawatir. "Pengen tanya aja, nak. Tolong jawab yang jujur ya. Bunda nggak mau nanti akhirnya kamu umpet-umpetan di belakang, atau kamu jadi sering bohongin Bunda cuma gara-gara persoalan ini. Kamu tahu kan, Bunda sama sekali tidak pernah mengajarkan pada Keinara untuk berbohong sama orang tua? atau kepada siapapun!" tegas Sita. Keinara masih bingung, ia kembali tertunduk. "Haduhh, gimana dong? Bakalan jadi masalah ini nanti!" batinnya makin khawatir. "Kamu tahu dengan jelas kan, apa alasan bunda belum mengizinkan kamu untuk menjalin sebuah hubungan dengan lawan jenis kamu?" cecar Sita. Keinara mengangguk pelan. "Iya Bun." ucapnya lirih, masih setengah menunduk. "Bunda cuma ingin yang terbaik buat kamu. Buat masa depan anak Bunda satu-satunya. Bunda ingin melihat kamu sukses. Biar Kakek juga bangga sama kamu, sama kita. Bunda ingin membuktikan pada Kakek dan semua orang. Walaupun Bunda sudah menjadi anak yang gagal, tapi Bunda bisa menjadi orang tua yang berhasil. Bunda nggak mau mendidik anak Bunda menjadi gagal juga." terang Sita. Kali ini netranya sedikit berkaca. Keinara makin tak bisa berkilah. Kalau sudah berbicara dari hati ke hati di depan sang Bunda, ia akan sulit mencari celah untuk berbohong. Tapi kali ini situasi mengharuskannya untuk tetap bisa berbohong. Keinara memberanikan diri untuk menegakkan kepalanya kembali. Menatap sang Bunda. "Bunda ini ngomong apaan sih? Aku, Zaky, Roni, Sabrina sama Michel itu kan teman baik, Bun. Kita sahabtan aja. Jadinya kan kita kalau kemana-mana juga pasti seringnya sama-sama kan?" elak Keinara, lalu menunduk kembali, tak berani menatap mata sang Bunda terlalu lama. Sita menyimpan sendoknya ke atas styrofoam. Menghela nafas panjang dan menatap Keinara dengan tatapan yang makin tajam. "Bunda tahu sebenarnya kamu dan Zaky itu dekat. Dan dekatnya kalian itu bukan dekat seperti kamu dengan Sabrina, dengan Michel atau dengan Rony. Bunda bisa melihat dari tatapan mata kalian. Ada sesuatu diantara kalian. Iya kan?" Degh. d**a Keinara makin bergemuruh. Mendengar sang Bunda tiba-tiba menodongnya dengan kalimat seperti itu. Lagi-lagi, ia tidak bisa menjawabnya karena belum siap dengan pertanyaan itu. Ia belum mempersiapkan jawaban yang seharusnya ia sampaikan. "Bunda paham, diusia kamu yang sekarang ini, kamu pasti sudah merasakan, bagaimana rasanya tertarik dengan lawan jenis, bagaimana rasanya menahan perasaan gejolak jiwa muda kamu dengan lawan jenis. Bagaimana kamu harus menahan ketika anak-anak yang lain, yang seusia kamu bisa jalan-jalan sama pacar mereka, bisa malam mingguan, bisa nongkrong di cafe, bisa melakukan apa yang mereka inginkan. Sedangkan kamu harus bertahan karena terhalang oleh izin Bunda. Bunda paham nak! Paham sekali! Tapi, semua itu Bunda lakukan juga buat kamu, untuk masa depan kamu. Karena Bunda tidak ingin menjadi orang tua yang gagal untuk kamu." ucapnya berhenti, mengambil jeda untuk bernafas sebentar. Keinara semakin bingung juga gamang. Dia sangat menyayangi Bundanya, namun dia kini juga sedang terombang-ambing dengan perasaannya terhadap Zaky yang tidak bisa ia kendalikan juga. "Kei, janji Bun. Kei akan selalu ingat pesan dari Bunda. Kalau Bunda nggak suka Kei terlalu dekat dengan Zaky, Kei akan berusaha jaga jarak sama dia." ucap Keinara berat. Mendengar sang putri seperti tertekan dengan sikapnya, Sita mencoba untuk menurunkan egonya. Ia tata hatinya kembali. Ia tidak ingin mengintimidasi anaknya sendiri. "OK! Kalau kamu sama Zaky memang nggak ada hubungan apa-apa. Bunda percaya! Tapi tolong ya, nak. Jangan rusak kepercayaan Bunda. Bunda nggak mau Keinara jadi anak yang suka bohong. Keinara tahu, ketika kita sudah berani memulai sebuah kebohongan, maka kita juga harus selalu siap untuk melanjutkan kebohongan kita untuk menutupi kebohongan kita sebelumnya. Paham, Kei?" Keinara mengangguk pelan. "Iya, Bun! Keinara paham." Sita tiba-tiba menyentuh lengan Keinara. "Bunda sayang sekali sama Keinara. Keinara adalah alasan kenapa Bunda masih bisa bertahan sampai saat ini." ucapnya dalam. Keinara menatap sang Bunda, dalam. Kemudian mengangguk, seolah memastikan jika dia tidak akan mengkhianati kepercayaannya terhadap sang Bunda. Sita tersenyum, walaupun sebenarnya masih ada yang mengganjal di hatinya. "Lanjutin sarapannya ya! Biar nanti bisa berfikir dengan jernih di kelasnya." sambungnya memecah keharuan. "Iya bun!" sahut Keinara seraya tersenyum. Keduanya melanjutkan sarapan yang sempat tertunda beberapa saat. Namun batin Keinara kini menjadi makin tidak tenang. Ia mulai takut, jika suatu hari nanti sang Bunda bakalan tahu dengan keadaan yang sebenarnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD