Izza terbangun tepat pukul 6 pagi, tetapi ia sudah tak melihat Briona disisinya. Perlahan ia bangkit dan beranjak untuk mencari istrinya keluar kamar. Suasana di rumah itu terasa terlalu sepi untuk pagi yang harusnya sibuk karena Briona akan berangkat kerja.
Benar saja, saat ia mencari Briona, perempuan itu tak ada diseluruh penjuru rumah. Yang tertinggal adalah secarik kertas di atas meja makan berisi tulisan Briona kalau ia sudah berangkat bekerja.
“Dimana kamu? Kalau belum jauh, biar aku antar,” tulis Izza dalam pesan pendeknya ia kirim untuk Briona. Masih ada rasa bersalah karena kejadian di bar kemarin, membuat Izza merasa Briona masih marah padanya.
“Gak perlu, aku sudah berangkat dijemput mas Gerry!”
Balasan pesan Briona membuat Izza mendecakkan lidahnya, ia tahu Briona tengah membalas perbuatannya kemarin.
“Pulang kerja jangan kemana-mana, aku akan jemput kamu!”
“Gak perlu!Pulang kerja nanti aku pulang diantar mas Gerry, lagi pula kami akan makan malam bersama!”
Izza hanya menghela nafas panjang dan kembali membalas pesan Briona cepat, tanpa sadar ada pesan lain yang masuk ke dalam handphonenya.
“Tunggu aku disitu, pulang kerja aku pasti jemput kamu,” tulis Izza dan segera mengirimkan pesannya untuk Briona.
“Benarkah? Mimpi apa aku semalam?! Akhirnya kamu mau nongol lagi dan mau jemput aku hari ini. Za, kebetulan, nanti malam papa ngajakin makan malam, kamu sekalian ikut ya.”
Izza segera menarik nafas dan mencoba menyadarkan dirinya karena merasa heran mengapa balasan pesan Briona tampak aneh. Ternyata balasan itu bukan dari Briona, tetapi dari Liliana yang baru saja mengirimkan pesan dan mendapatkan balasan dari Izza yang seharusnya dikirimkan untuk Briona.
“Shitt! Salah kirim!” gumam Izza dongkol sambil menghempaskan tubuhnya ke atas sofa. Dan iya akhirnya hanya bisa mengiyakan keinginan Liliana karena tak ingin kekasihnya curiga. Izza pun sadar, tak selamanya ia bisa menghindari Liliana dan keluarganya. Ia mengacak-acak rambutnya sebelum matanya kembali membulat saat menyadari bahwa ia mendapatkan pesan lain pagi itu dari orang yang tak disangka-sangka. Ida – ibu sambung Briona.
Ditempat lain Briona tengah duduk termenung sambil memeluk erat tas kerjanya. Entah sudah berapa banyak pintu kereta MRT yang terbuka dan tutup tapi ia lewati. Hatinya masih sedih dengan kejadian kemarin.
“Besok-besok gak ada lagi bercinta sama Izza! Ingat itu Briona!” gumam Briona berbicara sendiri pada dirinya yang malah semakin gelisah setelah bercinta dengan Izza tadi malam. Entah mengapa, hatinya jadi semakin terikat.
Pagi ini ia membalas pesan Izza dengan mengatakan diantar Gerry hanya untuk membalas suaminya, dan setelah itu ia merasa konyol mengapa harus membalas dengan cara seperti itu. Kelihatan sekali kalau ia cemburu.
Suara dering handphone menyadarkan Briona, terlihat nama Gerry yang muncul dilayar dan segera Briona mengangkatnya.
“Bri, aku butuh ketemu kamu… kita gak bisa seperti ini! Aku harus ketemu dan bicara sama kamu!” ucap Gerry cepat saat mendengarkan sapaan halo dari Briona.
“Baiklah, jemput aku sepulang kerja nanti,” jawab Briona pelan.
“Benarkah?! Tunggu aku disitu!” terdengar suara Gerry tampak senang dengan jawaban Briona. Tak lama komunikasi mereka pun selesai.
***
Izza terlihat tampan malam itu. Ia berdandan casual dan tampak santai berjalan digandeng Liliana memasuki salah satu fine dining restoran. Melihat kehadiran Izza dan Liliana, sepasang suami istri setengah baya di sebuah ruangan VIP segera menyambut mereka dengan bahagia.
“Kemana aja sih kamu, Izza? Gak cuma Liliana yang kangen sama kamu, tapi tante juga kangen ditemani belanja sama kamu,” ucap Rosa– ibunda Liliana sambil memeluk calon menantunya.
“Maafkan aku tante, beberapa waktu ini banyak hal yang harus aku kerjakan dan selesaikan,” jawab Izza lembut dan membalas pelukan ibu dari kekasihnya yang selama ini telah menganggapnya seperti anak sendiri.
“Kalau kamu seperti ini terus, kasihan Liliana. Bisa -bisa ia jadi perawan tua karena menunggu terlalu lama. Ingat, usia Liliana juga sudah tidak muda. Kalian harus segera menikah agar masih bisa diberikan keturunan dalam kondisi tubuh yang masih sehat,” ucap Imam — ayah Liliana seolah mengingatkan Izza agar segera melamar anaknya.
Mendengar ucapan Imam, Izza hanya bisa mengangguk perlahan dan tersenyum. Ada rasa tak nyaman dihatinya. Ia merasa kesal pada dirinya sendiri karena apa yang ia lakukan tak seperti rencana awal. Kali ini ia terjebak oleh rencananya sendiri dan terikat antara Briona dan Liliana.
Saat tengah asik berbincang dengan Liliana dan keluarganya, Izza tak menyadari bahwa Briona menghubunginya disaat yang sama. Kali ini Briona juga tengah makan malam bersama Gerry dan merasa gelisah karena seharian ini ia tak membalas satu pun pesan Izza yang dikirim begitu banyak.
“Ngapain sih kamu hubungi dia?! Dia peduli juga nggak! Buktinya, di telepon juga gak dia angkat, mungkin lagi sibuk senang-senang dan mabuk- mabukan di bar itu!” umpat Briona dalam hati karena merasa dongkol Izza tak mengangkat teleponnya.
Ia pun segera kembali ketempat dimana Gerry tengah menunggunya untuk menikmati makan malam mereka.
“Bri,” panggil Gerry lembut sambil mendekatkan dirinya pada Briona.
“Ya?” jawab Briona acuh sambil mencoba menghabiskan makan malamnya dan berusaha tenang walau isi kepalanya sibuk kesal pada Izza.
Perlahan Gerry mengambil salah satu tangannya dan meletakan sebuah cincin ke dalam telapak tangan Briona.
“Menikahlah denganku,” bisik Gerry perlahan. Briona tertegun dan menatap cincin berlian indah yang kini tersimpan di atas telapak tangannya.
“Kejadian ini membuatku sadar, kalau aku sangat mencintai kamu dan yakin bahwa kamu adalah belahan jiwaku, ibu dari calon anak-anakku kelak. Menikahlah denganku, Bri. Aku tahu saat ini kamu tengah bersama yang lain. Tapi dengan cincin ini aku ingin mengikatmu, setelah berpisah dengan Izza nanti, aku akan segera menikahimu. Aku hanya ingin kamu menyimpannya agar kamu selalu ingat bahwa ada aku yang menunggumu untuk bersama.”
Mata Briona berkaca-kaca menatap cincin indah yang terukir namanya dan nama Gerry. Air matanya tumpah ketika Gerry mengenakan sendiri cincin yang lain dan terukir nama yang sama.
“Aku akan pakai cincin ini dan menganggap kita sudah bertunangan, Bri. Percayalah padaku, kita akan cari cara agar masalahmu bisa selesai dan kita bisa segera bersama.”
“Mas… bagaimana kalau orang tuamu tahu kalau keluargaku …”
“Sudahlah, itu urusanku. Biar jadi tugasku untuk menaklukan kedua orang tuaku agar bisa menerimamu secara utuh.”
Gerry menghapus air mata Briona perlahan dan mengecup kening kekasihnya penuh dengan rasa sayang.
“Aku cinta sama kamu, Bri…”
Briona membiarkan Gerry memeluknya erat, air matanya terus mengalir. Ia merasa terharu dan senang dilamar oleh Gerry tapi mengapa ia tak merasa bahagia. Mengapa tiba-tiba bayangan wajah Izza muncul dibenaknya? Mengapa ia malah menikah dengan pria yang tak setia dan mulai menyukainya sedangkan dihadapan Briona ada pria yang mencintainya dengan tulus.
Setelah makan malam, Izza segera kembali kerumah. Ia merasa sangat lega karena tak perlu mengantar Liliana pulang karena kekasihnya kembali bersama kedua orang tuanya. Tapi selain itu ia merasa lega karena tak terlalu lama bersama mereka.
Walau tak akan pernah menjadi sekutunya karena bisnis, tetapi Izza sadar kedua orang tua Liliana tulus menyayangi Izza dan ia tak mampu berlama-lama duduk bersama dan membohongi mereka.
Kini ia menggaruk-garuk alisnya sendiri dan berpikir keras bagaimana caranya bisa melepaskan diri dari Liliana dan keluarganya secara baik-baik.
“Dimana kamu?! Ini sudah jam 10 malam!” tulis Izza kesal dan segera mengirimkannya pada Briona ketika ia sadar saat sampai kerumah istrinya masih juga belum pulang. Tak ada jawaban dari Briona membuat Izza segera menghubunginya dan menunggunya di depan rumah.
Terdengar suara dering telepon dari jauh yang semakin lama semakin mendekat. Terlihat Briona tengah berjalan sambil menggenggam handphone dan menjinjing tasnya. Ada hembusan nafas lega dari Izza melihat Briona kembali kerumah. Ia telah berpikiran buruk kalau Briona tak kembali dan melarikan diri.
“Bri …” panggil Izza sambil berjalan menghampiri Briona. Briona hanya diam dan membiarkan Izza mengambil tas dan juga laptopnya. Sepasang suami istri itu berjalan bersamaan memasuki rumah.
“Kamu sudah makan? Mau aku pesankan sesuatu?” tanya Izza mencoba membuka pembicaraan ketika mereka berdua berada di dalam rumah.
“Mas …” panggil Briona pelan dan membuat Izza menoleh ke arahnya.
“Ya?”
“Berhentilah bekerja di bar itu. Aku tahu gajiku tak seberapa. Tapi aku masih sanggup menanggung semuanya sampai kamu memiliki pekerjaan baru. Biar aku yang menanggung biaya hidup kita berdua.”
“Bri …”
“Aku gak mau kamu kerja ditempat itu…”
Izza berdiri diam menatap Briona yang tengah menatapnya dengan pandangan berkaca-kaca. Ada perasaan sedih, senang dan terharu di hati Izza. Rasanya ini pertama kali ada seseorang yang menawarkan diri untuk membantunya. Mendengar Briona yang rapuh berani untuk menanggung hidupnya membuat ia terharu sekaligus ia merasa sedih, karena Briona tak tahu bahwa ia berniat untuk menggunakan Briona sebagai alat.
Izza menghampiri Briona dan memeluknya erat lalu menempelkan kening mereka satu sama lain. Entah apa yang terjadi, tapi pernikahan ini mengubah semua rencana Izza, dan secara tak sadar mereka berdua saling terikat satu sama lain.
Tak ada jawaban dari Izza, sedangkan Briona hanya bisa membalas pelukan Izza dengan pelukan erat dan merasakan rasa hangat di hatinya karena pelukan suaminya.
Bersambung.