Chapter 4

2011 Words
David tiba-tiba terbangun saat mendengar suara suara gigi saling terkatup karena menggigil. Saat membuka matanya ia seketika terkejut ternyata Ardika dengan posisi meringkuk, kedua tangannya mengepal di depan d**a kakinya gemetar. David panik mengetahui kondisi anaknya seperti itu. Sebelum ia tadi sebelum tidur Ardika dalam keadaan baik-baik saja. Setelah membereskan kamar bahkan mereka sempat bercerita. Namun, sekarang kenapa tiba-tiba menjadi seperti ini? Lelaki memiliki manik mata berwarna biru itu menempelkan punggung tangannya ke dahi Ardika. Rasa panas menjalari tangannya. Ternyata anaknya itu sedang demam. David semakin panik saat melihat bibir bawah Ardika yang bergetar menjadi berwarna pucat. Ia tidak tahu harus berbuat apa, dengan keadaan panik seperti ini ia bisa kehabisan cara. "Ardika, kau baik-baik saja, kan, Nak? Ap-apa yang kau rasakan?" David berinisiatif untuk menggosok telapak kaki putranya. Namun sudah bermenit-menit selamanya. Usahanya sia-sia sebab Ardika masih menggigil bahkan lebih parah daripada sebelumnya. "Ini sangat dingin, Pa," balas anak itu sambil menahan rasa dingin yang terasa menggigit tubuhnya. "Saya akan minta bantuan pada Tuan Albern. Siapa tahu dia punya obat untuk menyembuhkan kau, Ardika." David langsung beranjak meninggalkan Ardika akan keluar dari pintu kamar. Tiba-tiba langkahnya terhenti saat mendengar suara dari mulut putranya. Dia seperti seorang yang sedang dicekik. Suaranya pun sama, bahkan anak itu memegang lehernya sendiri seiring bola mata yang naik ke atas hanya terlihat putihnya saja. David bingung antara keluar dari kamar atau menghampiri Ardika. Akhirnya memilih berlari keluar dari kamar mencari keberadaan kamar Albern. "Tuan, Tuan ... bisakah kau membantuku?!" serunya sambil mengetuk pintu secara beruntun. Namun tampaknya tuan Albern sudah tertidur sebab membalas dari dalam. Tapi tidak menyerah begitu saja, demi Ardika apapun akan dia lakukan. Termasuk menggedor-gedor pintu kamar pemilik rumah. "Tuan, apakah kau di dalam? Keluarlah saya membutuhkan bantuan Anda. Anak saya sakit secara tiba-tiba!" pekik David. Tangannya terus saja bergerak mengetuk pintu. Hingga membuahkan hasil saat tuan Albern membukanya. "Kenapa malam seperti ini Anda mengetuk pintu kamar saya, Tuan David, apakah ada sesuatu yang penting?" tanya Tuan Albern suara parau khas bangun tidur. "Iya, ini sangat penting. Saya sedang memerlukan bantuan anda." Albern mengurutkan dahinya dalam. Seiring sebelah alis yang terangkat. "Ada apa dengannya? Dan bagaimana dia bisa sakit, padahal Ardika baik-baik saja bukan?" "Iya, saya sendiri juga tidak mengerti. Kenapa bisa dilihat seperti itu. Tuan, kalau kau bersedia lihatlah keadaannya, siapa tau kau menyimpan obat di rumah ini," pinta David dengan memelas. Untung saja Tuan Albern menuruti keinginan. Pergi ke kamar, melihat kondisi Ardika masih saja menggigil seiring bola mata naik ke atas. David kembali duduk menggosok-gosok kaki Ardika lagi. Sedangkan tuan Albern memeriksa keadaan anaknya itu. Ia melihat pria itu memijit kening Ardika dengan ibu jari kemudian mendekatkan bibirnya di telinga. Mengucapkan sesuatu namun entah apa, David tidak bisa mendengarnya dengan baik. Setengah tuan Albern mengangkat wajahnya dari samping telinga Ardika. Kini bocah itu berhenti membulat kan bola matanya ke atas. Meskipun masih menggigil dan panas belum turun tapi setidaknya merasa sedikit lega. "Dia sudah aman sekarang, hanya tinggal panas dan menggigil saja. Itu hal yang lumrah setelah minum obat dia akan baik-baik saja," ucap Tuan Albern. Ucapan tuan Albern membuat David bingung. "Maksud Anda apa, Tuan? Anak saya kenapa tiba-tiba seperti itu dan anda bilang sudah aman. Sesuatu yang anda tutup-tutupi dari saya?" hardik David. "Kalian orang baru di sini, tentu saja itu bukan hal yang baik. Banyak orang-orang di sekitar, ingin menguji ketahanan kalian. Ardika termasuk anak yang kuat karena hanya merasakan kedinginan yang luar biasa. Ada sebagian orang lain jika tidak kuat mendapat serangan ilmu hitam itu akan langsung mati." David seketika menoleh terkejut. Ia benar-benar baru mengetahui hal ini. Pulau ini sangat misterius dengan orang-orangnya. Ia harus pandai-pandai menjaga diri dan terlebih Ardika. "Apa mereka melakukan kepada semua orang yang baru datang kemari, Tuan?" tanya David masih penasaran. "Ya, bahkan mereka bisa melakukan lebih parah daripada ini. Maka berhati-hatilah, jika mereka menawarkan minum jangan mau, berilah alasan untuk menolaknya. Mengerti?" Tuan Albern yang sedang duduk bersila menghadap David itu berdiam sejenak. Kemudian melihat lelaki beranak satu di hadapannya. "Aku punya saran untukmu, alangkah baiknya jika kau berhenti mencari istrimu. Karena ini sangat sangat bahaya terutama buat Ardika. Darius adalah orang yang berkuasa di wilayah ini, orang sepertimu dan tidak akan sanggup melawannya meskipun mempunyai bukti kejahatan yang telah dia lakukan." "Tak bisa tuan, sebab saya sudah memutuskan dari sajak jauh-jauh hari. Untuk keselamatan anak saya sudah berjanji akan menjaga, dan tidak akan membiarkan sesuatu terjadi padanya." "Baiklah terserah padamu saja. Tapi besok kau harus pergi menyeberang membeli obat-obatan untuk Ardika. Kebetulan di sini tidak ada obat-obat seperti itu." Pagi menjelang, seperti yang diperintahkan oleh Tuan Albern, David pergi menyebrang untuk membeli obat. Ia merasa heran sebab penjaga itu membiarkannya lewat begitu saja saat akan menaiki kapal beda dengan sebelumnya. Mahal ini ada sangkut-pautnya dengan tuan Albern? Entahlah. Kini David hanya memikirkan kesembuhan Ardika. Tujuannya fokus untuk pergi ke salah satu apotek. Setelah perjalanan panjang akhirnya ia mendapatkan merk obat yang dia cari. Sehingga membuatmu merasa bahagia ketika keluar dari apotek itu. Namun, begitu selesai menutup pintu tiba-tiba ada seorang lelaki berbadan tegap mendesaknya dari belakang. "Tetap berjalan seperti biasanya. Jangan noleh-noleh ataupun lari," ucap pria itu. Sambil berjalan David merasakan ada sebuah benda yang mendorong tulang pinggangnya. Ia terus berjalan mengikuti intruksi lagi itu. "Kau ingin kita ke mana?" tanya David berusaha menoleh samping untuk melihat wajah pria yang menontonnya dengan senjata itu. Namun sebelum ia menoleh lelaki itu semakin mendorong senjatanya mengancam akan menarik pelatuk. "Ikuti arahan ku, setelah sampai kau jangan banyak bertanya," ucap pria itu. "Apakah tahu benda apa yang menempel di pinggang ini?" Pria itu menutupi tangan yang memegang senjata dengan jaket sehingga membuat orang yang melihatnya tidak merasa curiga. Sedangkan David berwajah enggan itu mau tak mau seperti sebuah boneka. Jangan seenaknya diatur-atur. "Sebenarnya siapa Anda kenapa tiba-tiba menodongkan senjata kepada saya?" "Tidak perlu tahu siapa saya. Yang terpenting kau turuti saja apa permintaanku. Masuk!" Perintah pria itu sambil menodongkan senjatanya satu tangan lagi membuka pintu mobil. Memerintahkan David untuk masuk ke dalam. Namun tampaknya David tidak ingin menuruti. Sebab iya sedang memikirkan Ardika yang sedang terbaring sakit di rumah Tuan Albern. David melirik ke belakang dengan ekor matanya. Ancang-ancang melihat pantulan bayangan pria itu dari kaca mobil. Kemudian ia menghentakkan kaki dengan kencang sehingga pria itu meringis. Sebab David dengan sengaja menginjaknya. Di saat pria itu lengah membungkuk memegang kakinya yang sakit. David segera berbalik menggunakan kaki panjangnya untuk menendang bagian perut. Buat pria itu mundur beberapa langkah sambil memegangi perut. David dengan cepat mengambil senjata api yang terjatuh di atas tanah. Kemudian seiring sorot mata yang memerah menatap tajam pria itu memajukan tangan berbalik menodong pria yang sudah memaksanya untuk pergi itu. Pria itu mengangkat kedua tangannya sambil menyeringai lah mencemooh David. Yang dilarang untuk maju ia terus saja melangkah mendekat. "Apakah kau tuli? Aku bilang berhenti!" Pekik David sorot matanya tajam dan dan kedua tangan maju ke depan memegang senjata siap menarik pelatuk. Lagi-lagi seringai tipis menghiasi bibir pria yang memiliki usia bersamaan dengan David itu. "Tembak saja kalau kau berani, lagipula senjata itu tidak berisi. Jadi ngapain aku harus takut?" Ucapnya dengan santai. Dor! "Wow! Bakat menembakmu boleh juga, jika ada waktu apa mau kau mengajariku, Guru?" Pria itu semakin terlihat seperti mengejek. Membuat David sekarang menarik pelatuk untuk kedua kalinya. Namun ternyata benar saja yang dikatakan, bawa senjata itu kosong. David melempar benda itu ke bawah kakinya kemudian menginjak dengan kasar. Sebagai wujud perasaan kesal. Kemudian lelaki itu menatap tajam ke depan. Sambil mengepalkan kedua tangannya depan badan. Dengan gerakan santai pria lawannya tu maju mengepalkan dua tangan siap melawan David. "Kita tidak saling mengenal tapi oke kita battle?" Ucap pria itu menantang. "Aku sama sekali tidak takut dengan mu, pria gila!" lawan David tak kalah bengisnya menatap mata pria itu. Orang-orang yang berlalu lalang sebelumnya kini menjadi berkerumun. Untuk menyaksikan pertarungan David dan pria itu. Menganggap mereka duduk berdua seperti selayaknya sebuah tontonan yang begitu menarik sangat sayang untuk dilewatkan. Kedua pria dewasa itu saling bertarung ternyata mereka seimbang. Tidak ada yang kalah ataupun yang menang. Pria itu terbahak-bahak ketika selesai bertarung dengan David. Semakin menyulut emosi siapa saja yang mendengarnya. "Bahkan kau sama sekali tidak berubah, kawan. Kau masih sama seperti David 10 tahun yang lalu, David," ucap pria itu. membuat David semakin bingung. Siapa pria kurang ajar ini? kenapa dia berpura-pura begitu akrab denganku? "Apa kau melupakanku? Pria miskin?" "Ah, ternyata itu kau, Pria sombong. Bagaimanakah bisa mengenaliku." Setelah mendengar kata pria miskin David baru menyadari. Sebanyak 1 orang yang memanggilnya seperti itu sejak dulu yaitu, Aaron. "Kau masih hidup ternyata, pria miskin. Aku kira kau sudah lama tewas karena kelaparan." Aaron memang sudah terbiasa sejak dulu berbicara seperti itu pada David. Begitupun sebaliknya, David bisa mengatakan hal yang lebih pedas melebihi temannya itu. "Bagaimana kau bisa mengenaliku, Aaron?" Tanya David. Kini mereka berdua menjadi mengobrol di samping mobil milik Aaron. "Sebelumnya ketika aku ingin masuk ke apotek melihat kau, seperti mengingat seseorang samar-samar. Ya itu salah satu tanganku yang suka tiba-tiba menghilang dari kota dan pergi entah kemana, dia adalah David. Tapi sebelumnya ragu-ragu, takut salah orang. Maka dari itu aku memutuskan untuk mengujinya, dan benar saja ternyata dugaanku kalau kau adalah David teman lamaku pergi dari rumahnya setelah menikah." "Maaf, Aku hanya ingin tenang hidup di pedesaan. Menikmati makanan hasil panen sendiri, biarpun hasilnya cuma sedikit, tapi itu kurasa lebih membahagiakan daripada makan, hasil dari keringat orang tua." Aaron menyunggingkan bibir. Memang seperti Itulah sifat temannya itu sejak lama. "Kau mengatakan hidup di pedesaan lebih nyaman, bukan? Lalu ... apa yang membawamu sampai ke kota ini?" "Untuk apa lagi kalau bukan mencari seseorang yang membuatku hidup di pedesaan. Dan kini sekarang dia pergi ke kota maka aku harus mengikutinya." "Apa yang kau maksud kalian sudah pindah ke kota ini?" Arah masih bingung dengan pernyataan David. "Bukan. Aku hanya datang ingin menjemputnya saja, setelah itu kami akan kembali ke desa hidup bahagia di sana." "Sebenarnya apa yang terjadi? Apa terjadi sesuatu pada istrimu?" "Ya, dia kerja di rumah Darius. Sudah satu tahun lebih tidak kembali. Menurut kabar yang aku dengar beberapa bulan lalu jadi sebuah ledakan di salah satu pekarangan rumahnya. Banyak pelayan dan pegawai di sana yang kehilangan nyawa, bahkan muka mereka sulit dikenali." Aaron terdiam setelah mendengar nama Darius. Ekspresi wajahnya pun turut berubah. Dia mengalihkan pembicaraan ke hal-hal lain seperti menanyakan kabar Ardika. Yang seketika membuat tapi teringat kalau anaknya itu harus segera diberi obat. Aaron mengantarkan David sampai ke dermaga dengan mobilnya sebab ia juga tahu peraturan untuk masuk ke pulau itu. Dilarang menggunakan barang modern. "Ini kartu namaku. Segera hubungi jika terjadi sesuatu," ucap arnan sambil memberikan kartu namanya pada David yang akan menaiki kapal. "Kalau ada apa-apa jangan sungkan untuk menghubungi nomor yang tertera di sana." "Baiklah terima kasih. Semoga di lain waktu kita berdua bisa bertemu lagi di dalam keadaan yang tepat tidak seperti sekarang, aku harus segera kembali karena Ardika sedang membutuhkan obat," ucap David. Orang tersenyum sambil melambaikan tangan kanan. "Pergilah. Jika ada waktu aku akan menemuimu setelah kau memberikan alamat rumah pasti mu." "Sebelum aku pergi apakah kau bersedia menjawab pertanyaanku dengan jujur, Aaron?" Aaron menyunggingkan bibirnya. "Kalau bukan pertanyaan sulit, aku rasakan menjawabnya," jawabnya. "Apakah mengenal keluarga Darius?" Sepertiga alarm tertawa untuk menutupi kegelisahan. Meledak pria itu menjadi salah tingkah. "Kau ini bicara apa? Tentu saja tidak," elaknya. Namun David tidak percaya begitu saja. Ia sangat menghafal temannya itu secara bagaimana ekspresi wajahnya jika sedang berbohong. Tentu saja saat ini pria itu sedang tidak jujur. Namun karena David sedang terburu-buru ia bersikap mempercayai Aaron. "Segera pergilah, David, anakmu sedang membutuhkan obat. Jangan sampai terlambat, mungkin perbincangan kita berdua akan berlanjut di kemudian hari. Sampai jumpa." David memasuki kapal duduk sambil membawa kantong plastik berisikan obat. Ia melihat kartu nama yang telah diberikan Aaron. Dan ternyata dia tidak menyangka kalau temannya itu merupakan seorang anggota polisi. "Ah, kenapa aku tidak memeriksanya sejak tadi. Kalau dia seorang polisi, tentu saja tahu kasus-kasus yang terjadi di rumah Darius. Tapi ... Kenapa dia tadi seolah-olah bersikap tidak mengetahui apapun? Sial! Seharusnya aku bertanya padanya lebih serius tadi," gumam David sambil duduk di kapal menghadap lautan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD