Chapter 5

1056 Words
Seorang gadis dengan kaki telanjang tanpa mengunakan alas berlari di pinggir trotoar. Rok berwarna putih yang digunakan kotor. Ia berlari menerjang apa saja. Tidak peduli rumput, tanaman bahkan jalan yang licin karena sisa turun hujan. Gadis itu berlari sekencang mungkin sambil melihat ke belakang. Empat orang berbadan besar mengejarnya semakin dekat. Membuat jantung gadis itu semakin berdetak cepat karena takut. Napasnya naik turun Jika ia tidak mencari tempat persembunyian untuk berhenti ia akan tertangkap karena kehabisan tenaga. Tenaganya semakin melemah cepat sejak tadi tidak berhenti berlari. Pandangannya terus saja ke belakang. Untuk tetap waspada. "Jangan lari! Atau kami akan menyiksamu setelah tertangkap!" Teriakan pria yang sedang mengejarnya membuat gadis itu semakin kencang berlari sambil merasakan ketakutan luar biasa. Ia tidak henti-hentinya terus berlari sambil berdoa dalam hatinya. "Papa, Mama, tolong ... mereka akan menyakitiku," ucapnya menoleh ke belakang. Mereka tidak nampak membuatnya sedikit lega. Jantungnya seperti ingin lepas saat tiba-tiba pergelangan tangannya ditarik oleh seseorang. Gadis itu bersiap akan berteriak dengan cepat mulutnya dibekap pria asing memiliki manik mata biru yang sama sekali tidak ia kenal. Pria itu ialah David dengan paksa memasukkan gadis itu ke lorong sela-sela rumah yang berukuran kecil. Kemudahan ia berbalik untuk menutupi supaya tidak terlihat. "Lebih baik kau diam saja, daripada tertangkap oleh mereka," ucap David. Sambil berdesis sebab gadis itu tidak bisa diatur masih berusaha ingin tetap lari. Sehingga keduanya terdiam saat mendengar derap sepatu empat orang. Mereka berhenti tepat di belakang David. David berpura-pura membuka resleting celananya. Sehingga terlihat seperti seseorang yang sedang ingin buang air kecil. Namun tampaknya empat orang itu masih saja penasaran. Ingin melihat ke arah lorong hadapan David. "Apa yang sedang kalian lakukan? Kalian semua ingin mengintip?" David melirik salah satu dari mereka. "Apa apa kalian berempat, juga penyuka sesama sepertiku?" David mengigit bibir bawahnya bersikap seolah menggoda. Sehingga membuat mereka berempat bergidik ngeri kemudian memutuskan untuk meninggalkan tempat itu. Akhirnya David membuat gadis itu merasa aman dari kejaran empat orang berbadan besar. Ia mundur dan mempersilahkan gadis cantik berkulit putih itu keluar dari lorong. "Kau aman sekarang. Silahkan pergi, Jika tidak bertemu dengan mereka lagi," ucap David. Kemudian beranjak meninggalkan gadis itu sebab ia tidak memiliki urusan lagi dengannya. "Tuan, tunggu!" pekiknya menghentikan langkah David. "Meskipun engkau bukan lelaki normal, tapi ... Saya rasa, harus tetap mengucapkan banyak terima kasih. Kalau boleh tahu siapa nama Anda?" tanya gadis berambut panjang itu. "Jangan sembarang mengatakan, Nona. Saya adalah pria normal." David idak terima jika dikatakan bukan pria sejati. Gadis itu menggigit bibir bawahnya sambil berpikir. "Tapi ... baru saja, kau ... mengatakan pada mereka kalau kau--" David tergalak. "Itu hanya sebagai alasan untuk membuat mereka pergi, Nona ...." Ia berkacak pinggang sambil menahan tawa. "Benarkah?" Dari situ kakak belum mempercayai. "Tapi sudahlah ... Kita tidak terlalu penting buat saya. Yang terpenting saat ini saya bisa lolos dari kejaran mereka semua," ucapnya sambil mengelus d**a. "Kalau boleh tahu siapa nama Anda? Saya berhutang Budi banyak padamu? Oh ya, perkenalkan nama saya Venia. Apakah asli penduduk wilayah ini? Kalau aku hanya datang untuk suatu tujuan. Entah kenapa empat orang tadi tiba-tiba mengejar ku," ucap Venia. Gadis itu bahkan menjawab pertanyaannya sendiri sebelum David membuka suara. Benar-benar membuat hatiku ingin tertawa. "Baik. Perkenalkan nama saya David, jika kau mengira saya adalah seorang asli penduduk sini. Sayang sekali dugaanmu salah, karena saya pendatang seperti dirimu." Venia tersenyum sumringah menemukan seseorang yang sama sepertinya. Ia begitu antusias setelah mengetahui. Karena masih takut jika bertemu dengan empat orang yang mengejarnya tadi, Venia memutuskan untuk ikut dengan David ke rumah tuan Albern. Sampainya di sana ia bertemu dengan Ardika yang sedang sakit. Kebetulan Venia adalah seorang dokter. Ia memeriksa keadaan Ardika. Walau tanpa menggunakan alat setidaknya ia tahu cara memberi perawatan pada orang sakit seperti Ardika kini. Pilihan meminta David untuk mengambil handuk kecil dan air hangat dalam wadah. Kemudian ia menggunakan jari-jemarinya itu untuk memeras handuk kemudian menempelkan ke dahi Ardika supaya membantu menurunkan panas. "Seharusnya sejak semalam kau mengompresnya. Hingga panasnya berkurang," ucap Venia. Memasukan handuk yang sudah mengering kemudian memerasnya lagi lalu menampilkan ke dahi. "Jika kau sebelumnya mengatakan mata dia naik ke atas itu karena efek dari panas tinggi. Dan dia juga sedang kedinginan, maka dari itu, matanya naik ke atas. Untung saja semalam cepat kembali normal, ya." Venia mengajak bicara Ardika yang terluka lemas berbaring di atas tikar. "Apakah kau sudah makan?" Ardika menggeleng. Sejak tadi Tuan Albern mencoba menyuapinya. Namun, ia menolak sebab menunggu David sampai tiba. "Kau harus makan, pria tampan. Karena kalau tidak obat pun tidak akan bekerja, yang tidak ada asupannya, mengerti?" Ardika mengangguk. "Anak pintar," ucap Venia sambil ucap-ucap rambut Ardika. Setelah anak itu tidur, Venia dan David berbicara di belakang rumah Tuan Albern ada dua buah kursi menghadap ke taman kecil kata kolam ikan di tengahnya. "Sebaiknya kau harus mencari tempat tinggal sendiri daripada tinggal bersama orang lain sekarang," ucap Venia. "Ah, tidak. Ini hanya untuk sementara. Setelah ini saya akan mencari tempat tinggal sendiri," balas David sambil melihat melempar makanan ikan ke kolam. "Jika kedatangan saya ke pulau ini untuk mencari keberadaan istri. Lalu bagaimana denganmu? Apa masih ada sangkut-pautnya dengan kedokteran?" "Bukan itu, tapi ada misi lain. Ini semua karena orang tuaku yang kini mulai sakit-sakitan, mereka merindukan Kania, adikku. Yang sudah lama meninggalkan rumah," balas Venia. Membuat membuat David terkejut. Seketika menoleh pada gadis itu. "Apa dia juga pergi ke rumah Darius?" "Iya, bagaimana kau bisa tahu?" tanya Venia. "Karena istriku juga berada di sana, kita berdua satu misi? Ini akan menjadi kerjasama, Nona." "Kau benar, David. Tak perlu kau tahu, memasuki rumah Darius tidak semudah memasuki pasar." "Iya aku tahu pasti itu akan sangat sulit. Bagaimana kalau kita mencoba lagi untuk datang ke sana?" tanya David. Begitu antusias sebab, menemukan seseorang yang memiliki tujuan sama dengannya. "Tidak untuk sekarang, Tuan David. Kamu juga harus memikirkan kesembuhan Ardika." "Kalian tidak perlu khawatir tentang Ardika, karena aku akan membantu untuk menjaganya." Tiba-tiba tuan Albern mm muncul dari belakang. Membuat David dan Venia saling menatap bingung. Takut jika tuan Albern mendengarkan percakapan mereka tentang rumah. "Tapi bagaimana dengan pekerjaan Anda sendiri, Tuan?" tanya David. Merasa tidak enak. "Pekerjaan? Tidak, aku hanya di rumah sepanjang hari, biaya sehari-hariku dari uang pensiun, itu saja sudah cukup," ucap Tuan Albern. "Saya berhutang banyak pada Anda, Tuan." David merasa tidak enak. "Semua itu tidak terhitung, jika saya menganggap kalian adalah keluarga," ucap Tuan Albern.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD