Para Penyihir

1187 Words
Para Penyihir Bien tiba di kamarnya dan terdiam duduk di tepi tempat tidur berusaha mengingat apa yang telah ia lihat. Seorang gadis cantik dengan rambut panjang hitam berkilau. Kulit putih bersih memantulkan cahaya dari tubuhnya.   “Apa itu hanya ilusi? Tidak ada yang manusia biasa yang bisa masuk ke hutan suci.” Bien merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur dan memjamkan mata hingga terlelap.   Bien−putra dari seorang penyihir hebat dan menjadi salah satu tetua di akademi penyihir menjadi pria yang diberkati dengan kekuatan langit. Kelahirannya ditandai dengan malam cerah penu bintang dan hujan meteor sehingga seperti siang. Ia berhasil mendamaikan penyihir putih dan hitam dan menghentikan peperangan di antara kedua kubu.   “Tuan  muda, Bien.” Terdengar ketukan pintu membangunkan pria tampan itu dari tidur tenangnya.   “Ada apa?” Bien membuka pintu dan melihat pelayan pria berdiri di depannya.   “Para tetua mengajak Anda untuk sarapan bersama,” ucap pelayan dengan tetap menunduk.   “Baiklah.” Bien kembali ke kamar untuk berganti pakaian. Ia berjalan melewati rerumputan hijau yang masih basah. Ada banyak pasang mata yang mengagumi ketampanan dan kesempurnaan pria itu. Semua wanita berharap dapat terpilih menjadi istri dari Bien−calon terbaik sang penyihir agung.   “Selamat pagi, Tetua.” Bien menunduk memberi hormat.   “Kemarilah.” Semua tersenyum menyambut kedatangan Bien yang memiliki kekuatan dan kemampuan di atas para tetua.     “Terima kasih.” Bien duduk di kursi yang masih kosong.   “Berapa usia kamu sekarang?” tanya seorang pria dengan rambut putih dan usia sudah sangat tua.   “Dua puluh satu tahun,” jawab Bien.   “Wah, masih sangat muda. Beberapa hari lagi kamu akan mengikuti ujian menjadi penyihir agung yang hebat,” ucap seorang wanita yang juga sudah cukup tua.   “Setelah lulus ujian itu kamu akan menikah dengan wanita pilihan kamu,” ucap ayah Bien.   “Iya, ayah.” Bien menunduk.   “Mari kita makan dan bicarakan lagi setelah ini,” ucap wanita tua lain. Mereka makan bersama hingga selesai dan berkumpul di aula akedemi. Semua guru dan murid berada di bawah podium. Pertemuan untuk menentukan hari ujian penihir agung yang akan diikuti Bien dan seorang lagi dari penyihir hitam bernama Hecate. Semua mata tertuju pada dua pemuda tampan. Bien dengan rambut perak dan mata biru. Hecate dengan rambut dan mata merahnya. Kebencian terlihat jelas di mata pemuda yang sangat ingin mengalahkan Bien sang penyihir putih. Ia ingin penyihir hitam kembali berkuasa.   “Wah, mereka sangat tampan,” ucap seorang murid wanita.   “Aku lebih suka Bien.” Wanita cantik bernama Morai tersenyum. Ia terlahir dari pernikahan penyihir hitam dan putih.   “Nona Morai.” Wanita yang tadi memuji dua pria tampan segera menunduk karena takut pada Morai. Penyihir wanita yang memiliki kekuatan mengendalikan nasib seseorang hingga bertemu dengan kematian.   “Jangan menakuti murid baru, Morai.” Bell menyentuh pundak Morai.   “Jangan menyentuhku! Bell.” Morai menatap tajam tangan Bell.   “Maaf. Pria di atas sana hanya dua dan ada banyak wanita yang menginginkan mereka. Bagaimana?” Kiki tersenyum.   “Apa kalian akan masuk kandidat istri Bien dan Hecate?” Morai tersenyum sombong.   “Aku dan Kiki termasuk dalam itu.” Bell membalas senyuman Morai.   “Baiklah. Kita lihat saja nanti.” Morai melihat kearah Bien yang hanya diam tanpa senyuman begitu juga dengan Hecate.   “Kita adalah teman. Jangan bertengkar karena memperebutkan pria,” ucap Bell. Penyihir yang bisa menggerakkan benda dari jauh dan mampu membuat racun mematikan.   “Perhatian semuanya. Di sini telah berdiri Bien dari keturunan asli penyihir putih dan Hecate penyihir hitam. Mereka berdua akan bersaing untuk memperebutkan gelar penyihir agung dan menjadi pimpinan,” jelas seorang ketua. Selain bersaing dengan kekuatan dan kemampuan mereka juga harus menjaga kesucian dan keperjakaan hingga melewati api suci.   “Ujian akan dilaksanan bulan depan. Tepat dibulan purnama,” lanjut ketua yang tidak lain ayah dari Morai.   “Siapa saja bisa berdiri di atas sini dan menjadi kandidat penyihir agung. Kalian hanya perlu meningkatkan kemampuan sihir,” ucap seorang tetua yang lain. Tepuk tangan menyambut kegembiraan untuk menunggu ujian istimewa itu.   “Bien, kamu harus menjaga diri.” Hecate tersenyum sinis.   “Terima kasih.” Bien tersenyum tampan.   “Hai, Bell.” Hecate menyapa Bell yang menatap Bien dengan lembut.   “Hai,” jawab Bell. Morai berlari menyusul Bien.   “Bien, tunggu!” Morai menarik ujung kain jubbah putih pria tampan itu.   “Ada apa?” tanya Bien tanpa melihat Morai.   “Kamu harus menang. Hecate sangat ingin menghancurkan penyihir putih,” ucap Morai pelan.   “Terima kasih.” Bien menghilang dengan meninggalkan asap putih.   “Pria yang sombong, tetapi menawan.” Morai tersenyum.   “Apa kamu mencari kesempatan untuk bertemu dengan Bien?” tanya Kiki.   “Tidak.” Morai melihat Bell sedang berbicara dengan Hecate.   “Apa Bell menyukai Hecate?” tanya Morai.   “Aku tidak tahu. Mereka sama-sama penyihir hitam.” Kiki tersenyum.   “Ayo kembali berlatih.” Morai berjalan menuju tempat latihan diikuti Kiki.   “Bell, kami pergi,” teriak Kiki.   “Aku ikut.” Bell meninggalkan Hecate.   “Aku akan menang dengan segala cara.” Hecate tersenyum. Pria tampan itu berjalan kembali ke kamarnya.   “Penyihir hitam harus kembali berjaya dan menguasai dunia.” Pria dengan rambut merah itu tertawa kencang.   “Penyihir putih hanyalah pelaya rendahan,” lanjut Hecate.   Bien duduk di atas menara akademi. Ia penasaran dengan penjara tertinggi yang dapat menyerap kekuatan sihir dan dijaga oleh para penyihir hitam dan putih. Setiap penyihir yang melakukan kesalaan akan dihukum di dalam menara tujuh pilar.   “Sebenarnya keberadaan menara ini mengancam para penyihir sendiri.” Bien memperhatikan kilatan putih yang tersambung dengan tujuh pilar.   “Kenapa mengancam para penyihir?” tanya seorang penjaga pilar.   “Jika kita diserang dan dimasukan dalam menara, maka tidak ada yang bisa dilakukan lagi karena kekuatan sihir telah tersegel,” jelas Bien.   “Anda benar, Tuan muda Bien.” Pria itu tersenyum.   “Ada apa?” tanya Bien heran.   “Tidak ada yang bisa menghancurkan menara ini. Kecuali….” Kalimat pria itu terhenti. “Kecuali?” Bien menatap pria yang mendekatinya.   “Keturunan campuran penyihir dengan ras berbeda,” bisik pria itu.   “Itu tidak akan pernah terjadi karena melanggar aturan dan hukum.” Bien menatap pria yang bernama Sevent−penjaga menara ketujuh.   “Kamu benar. Pengorbanan yang sangat berat dan pasti tidak akan ada yang mau melakukannya,” ucap Sevent.   “Penyihir yang menikah dengan ras berbeda dan memiliki kekuatan akan menghasilkan keturunan yang mampu menyerap kekuatan sihir dari orang tuanya, jika ia seorang pria,” jelas Sevent.   “Ayah melarangku keluar dari akademi agar tidak bertemu dengan ras lain,” ucap Bien.   “Ya, ada banyak mahkluk lain di luar sana. Para peri, vampire, serigala dan tidak bisa disebutkan.” Sevent menepuk pundah Bien.   “Terima kasih, Sevent. Aku hanya bertemu dengan seorang teman yaitu unicon.” Bien tersenyum.   “Hewan suci saja telah memili dirimu. Jaga diri baik-baik, Bien. Ada banyak orang jahat di dunia ini. Para penyihir adalah mahkluk licik.” Sevent tersenyum.   “Kamu sedang mengatai diri sendiri.” Bien tersenyum.   “Itu adalah kenyataannya.” Sevent memejamkan mata dan membeku bagai batu. Pria itu berubah menjadi patung menara.   “Aku pulang.” Bien menghilang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD