3.2

942 Words
Cerita mengenai Ilham tidak butuh waktu bahkan seperempat hari bagi Icin untuk mendengar dari teman baiknya cowok itu. Satu setengah jam Icin sudah mengetahui semua tentang Ilham meskipun harus menunggu beberapa menit karena Shakka kadang lupa bagaimana tingkah Ilham saat masih SMA. Sekarang Icin tau bahwa selain perokok –kenapa dihidupnya Tuhan selalu menghadirkan cowok perokok sih? –ternyata cowok itu tidak bisa lepas dari cewek bernama Solene Ariana. Sekarang yang tersisa adalah tubuh Cyntia Zahrah yang tidak bertenaga, ia bahkan hanya menatapi gelas jus mangga yang disodorkan Shakka. “Empat bulan mengenal Ilham hanya melalui teks, dilanjut lebih dari satu setengah tahun terakhir lo tau orangnya, lo bener-bener suka sama temen gue?” tanya Shakka setelah meminta adiknya untuk mengantarkan jus pesanan Keysha ke kamarnya. Hari ini Shakka benar-benar menjadi pesuruh tertampan yang ada di muka bumi ini bagi kembarannya. “Sejelas itu?” tanya Icin nanar, jika saja tidak mengingat bahwa Shakka termasuk orang asing baginya Icin sudah pasti menangis. “Engga, gue cuma nanya dan respon lo barusan udah jelasin semuanya,” ucap Shakka memberikan gelas berisi cairan oranye ke tangan Icin. Icin pening, telinganya berdenging. Tidak pernah seumur hidupnya Icin menyayangi seseorang melebihi ini. Dan tidak pernah pula Icin begitu yakin Ilham tercipta untuknya. Kemudian disinilah Icin berada, dirumah orang asing dengan kenyataan pahit dan tanpa Rega di sampingnya. “Ka, boleh gue duduk lebih lama disini?” tanya Icin dengan suara bergetar. “Boleh, kalau lo segitu tergoncangnya lo bisa tidur di kamar kembaran gue dulu.” Icin menatap Shakka tidak percaya, jika saja saat ini Icin tidak sedang error maka ia pasti akan langsung menolak karena takut Unna ataupun Bella akan mencabik-cabiknya jika mengetahui hal ini. Namun sekarang Icin merasa tawaran Shakka adalah hal paling tepat untuk diterima. “Boleh? Tapi lo jangan bilang Ilham ya? Eh- maksud gue, terserah, gue juga bukan siapa-siapanya,” ucap Icin dan segera menatap langit-langit, menghalau air matanya agar tidak jatuh. “Mama lo ga akan nyariin kan?” tanya Shakka yang sedang memimpin jalan menuju kamar yang bisa Icin gunakan untuk istirahat, tepatnya mengistirahatkan pikirannya, jangan-jangan nanti mamanya Icin melaporkan pada polisi jika anak gadisnya hilang. Kemudian Shakka harus menginap di hotel prodeo selama beberapa malam, kan tidak keren sama sekali. “Gue udah ga punya mama.” “Sorry.” “Don't have to.” Ucap Icin lemas. Shakka berbalik dan menemukan Icin berpegang pada dinding dengan mata tertutup, ia tidak pernah tau bahwa cewek jika terguncang bisa tampak seperti orang sakit keras seperti yang sedang ditunjukkan Icin. Atau jangan-jangan Icin ini yang tipe-tipe bucin akut? “Lo keberatan ga kalo gue bantu pegang, pundak lo aj-” “Ga usah Ka, makasih.” Dan ternyata cewek kalo udah suka sama orang lain dia bahkan ga mau di pegang dengan alasan apapun. Awas aja Cyntia Zahrah kalo sampai jatuh guling-guling dan bikin masalah dirumahnya. Seumur hidup Shakka tidak pernah merasa jarak dari anak tangga pertama menuju lantai atas sejauh ini, ia memang tidak jadi membantu Icin berjalan, Shakka hanya mengawasi Icin dari belakang perempuan itu. “Buat diri lo nyaman, Key ga akan muncul dikamarnya malam ini. Dia dikamar gue,” ucap Shakka menunjuk kamarnya sendiri. Shakka juga meminta kalau-kalau nanti Icin butuh sesuatu, jangan ketuk kamarnya, ketuk kamar Abid saja atau kamarnya Fay. Shakka tidak ingin istirahat Keysha terganggu. “Cin?” panggil Shakka sebelum menutup pintu dari luar. “Hm?” “Ng- ga jadi, istirahat aja,” ucap Shakka dan menutup pintu kamar Key. Inginnya Shakka menasehati Icin untuk berhenti berharap pada Ilham karena sejak mengenal Ilham, Shakka tau dengan baik bahwa hanya Solene Ariana yang mampu mempengaruhinya. Diam begitu lama ternyata tidak –sangat tidak –cocok bagi Icin. Semenjak memasuki kamar yang begitu cantik ini dirinya hanya diam, mengagumi lukisan Shakka dan wajah kembaranya serta memikirkan Ilham. Pintu kamar terjeblak terbuka memperlihatkan adik Shakka yang bernama Abid dengan sebuah nampan berisi makanan, air putih dan jus naga. “Siapa yang suruh lo sembunyi?” tanya Abid melirik sedikit ke arah belakangnya, Icin tidak melihat siapapun sampai sebuah kepala muncul di balik dinding. Apa keluarga ini emang punya gen bangsawan ya? Tanya Icin melihat gadis belia yang masuk bersungut-sungut dan berdiri disamping Abid. “Bang Shakka suruh gue ngantar makan buat lo, kak.” “Kakak beneran pacar abang?” tanya si cantik begitu Abid selesai dengan omongannya. “Fay!!! Lo gue aduin abang, ya!” “Kan penasaran aja Bid, lagian kamu ga usah teriak-teriak! Kamu kan lagi butuh bantuan aku jagain kakak ini,” ucap Fay melipat tangan di d**a dan duduk dipinggir ranjang. “Gue ga butuh bantuan lo, lo sendiri yang dari tadi ngekorin gue,” ucap Abid mendorong Fay agar menjauh dari ranjang. “Kak.. lo bisa makan sendiri kan? Jangan bikin gue jadi punya banyak kerjaan karena di rumah ini nambah orang sakit. Apalagi mama lagi ga dirumah dan cuma gue yang bisa diandalkan,” ucap Abid sambil menyindir Fay. Sementara yang disindir sedang mencibir. “Makasih, Bid,” ucap Icin. “Kakak butuh temen ngobrol?” tanya Fay ceria. “Ngomong sama lo cuma bikin darah tinggi, sana lo jauh-jauh,” uap Abid ketus.  “Lo kalo digangguin dia teriak aja kak, biar gue matiin dia,” sekarang Abid bicara pada Icin dengan nada yang jauh lebih baik. “Iya, kata orang yang ga tahan untuk ga ngobrol sama aku,” ejek Fay kemudian bergegas pergi. Abid melotot, apa yang barusan ia dengar tidak salah? Dirinya tidak tahan untuk tidak bicara dengan Fay? Buru-buru Abid menyusuli langkah Fay kemudian terdengar perdebatan keduanya yang sama sekali tidak ingin mengalah mengenai siapa yang sangat tidak bisa hidup tanpa siapa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD