Semilir angin yang melintas di depan wajahnya membuat pria itu refleks mengejap lalu tersadarkan. Entah sudah berapa lama dia terjebak dalam lamunan. Seisi kepalanya dipenuhi wajah si gadis Asia yang sedari tadi tampak menikmati musik EDM.
Entah juga apakah Choi Yong Do sadar atau tidak. Barusan dia mendengkus. Entakan jantung yang sempat berdetak normal kembali berdetak sedikit cepat saat matanya lagi-lagi terpaku. Menatap sepasang remaja yang tengah berdansa mengikuti irama lagu yang mulai memelan. Berbeda dari musik sebelumnya.
Seketika Choi Yong Do menyadari jika suasana di tempat ini telah berubah. Semua orang berpelukan di lantai dansa. Terkecuali dirinya dan si bartender yang kini mulai menatapnya seperti memberikan hinaan pada tatapannya itu.
“Oh, God! What am I doing here,” gumam Yong Do. Mencoba untuk bertanya pada dirinya sendiri. Sedang apa dia?
Pria itu memutar bola mata jengah sambil melepaskan napas kasar. Saat mocktail tak dapat lagi menghibur, ia pun memilih segelas bir. Menenggaknya dengan cepat, lantas menaruh gelas yang sudah tandas itu ke meja.
Choi Yong Do menaruh kedua siku tangan ke atas meja bar. Memegang kepalanya supaya tak lagi bergerak, tetapi usahanya tidak berhasil. Seakan-akan pikiran dan tubuhnya sedang tak sinkron dan tubuhnya mulai memberikan reaksi irasional. Lagi-lagi Choi Yong Do menoleh. Seketika dia mendengkus. Dia juga tidak mengerti. Mengapa dia harus kesal hanya karena menatap dua remaja yang berdiri berhadap-hadapan. Bergerak pelan mengikuti alunan musik dengan tempo rendah. Lantai dansa dipenuhi berpasang-pasang manusia yang tengah memaduk kasih lewat tatapan mesra.
Melihat pemandangan itu, membuat Choi Yong Do mendecih halus. Pria itu menggelengkan kepalanya. Kembali memutar tubuh, lantas menegak bir ke-dua.
‘Kau cemburu?’
Choi Yong Do mengernyit saat mendengar suara itu barusan di kepalanya. “What? Are you kidding me?”
‘I am not –to be kidding you! Aku mencoba untuk memperjelas perasaanmu saat ini. You are jealous now, Choi Yong Do. Mengaku saja.’
Ya. Choi Yong Do mencoba untuk menyangkal. Namun, apakah itu berhasil? Tentu tidak.
“Shut the hell up!” maki Yong Do. Entah apakah memaki dua remaja itu, atau memaki dirinya sendiri. Atau memaki suara-suara di kepalanya.
Pria itu seakan-akan mendengar gelak tawa di dalam kepalanya. ‘Oh, my little Yong Do. Kau jatuh cinta. Yes. You Are. Kau sedang jatuh cinta pada gadis Asia itu. Sounds fun, hah?!’
Choi Yong Do berdecak kasar. “It’s ridiculous,” gumamnya.
“Ya.”
Choi Yong Do tersentak dan secara naluriah memutar tubuhnya. Pria itu mengernyit. “Pete?”
“Ya,” ucap pria yang baru saja menegur Yong Do. Tatapan Peter tampak menyelidik. “Aku berdiri di sana dan kulihat kau sedang berbicara sendiri,” ucap pria itu.
‘Oh, God! I must look like a freaking i***t,’ gumam Yong Do. Merutuki dirinya.
Peter mengerutkan dahinya. “Dude?” panggil Pete.
“Y- ya!” Choi Yong Do memalingkan wajah, di saat bersamaan mengembuskan napas kasar.
“You okay?” tanya Pete. Sekarang raut wajah pria itu tampak sedang mengkhawatirkan Choi Yong Do.
Pria Asia itu mengangguk sambil menutup matanya. “I’m okay,” gumam Yong Do.
“You sure about that?” Peter masih tidak percaya.
Sambil menghela napasnya, Choi Yong Do kembali mengangguk. “Ya,” kata pria itu. “aku baik-baik saja. Kurasa aku hanya butuh ke toilet.” Lanjut Yong Do.
Kening Peter semakin melengkung ke tengah. “Apa kau butuh ditemani?” Peter bertanya dengan ragu.
Choi Yong Do menggeleng. “Tidak. Tunjukan saja di mana toiletnya,” kata pria itu.
Tampak da’da Peter mengembang saat ia menghela napas panjang. Pria itu memutar tubuh, lantas menjulurkan tangannya.
“Di sana. Lurus saja. Lorong terakhir. Hanya ada satu toilet di sini dan itu digunakan oleh pria dan wanita,” ucapnya.
Choi Yong Do sedikit ragu, tetapi dia tidak punya pilihan lain. Sepertinya dia butuh air untuk mencuci mukanya. Akhirnya pria itu mengangguk. Sambil mengulum bibir, Choi Yong Do memberikan senyum simpul yang bertahan selama dua detik.
“Thanks, Pete.”
Peter merengut, lantas mengedikkan kedua bahunya. “Don’t hesitate,” kata Pete.
Choi Yong Do menelengkan wajahnya sekilas dan itu kembali membuatnya mendengkus. Dengan kedua tangan yang mengepal, Choi Yong Do mengambil langkah meninggalkan keramaian.
‘Apa yang mereka bicarakan?’
‘Kenapa kau peduli?’
‘Aku hanya khawatir.’
‘Tidak mungkin. Kau cemburu.’
“Sial!” desis Yong Do.
Semakin lama, semakin napasnya berembus kasar. Choi Yong Do mempercepat langkah. Menekan gagang pintu, lantas melesat menuju wastafel. Pria itu memasang kran dengan cepat lantas membasahi wajahnya. Gerakan tangannya cepat. Mengambil air, membilas wajah lalu menyekanya dengan kasar.
‘Easy, Yong Do. Easy! Jangan lukai dirimu. Seharusnya kau bangga. Kau sedang dalam masa pubertas.’
“Get the hell out in my head!” Choi Yong Do berteriak. Berusaha menyangkal perasaannya dan mencari-cari alasan jelas mengapa dia merasa begitu kesal dan mengapa dia harus terus menyangkal perasaannya sendiri.
‘Jangan tersesat, Yong Do. Tetap berada di jalurmu. Ini hanya sebuah perasaan. Perasaan yang indah. Tak perlu disangkal. Cukup dinikmati.’
Choi Yong Do mendengar gelak tawa, menggema di dalam kepalanya.
“NO!” teriak Yong Do.
Pria itu mendongak. Menatap wajahnya yang bergetar dengan tetesan air dari rambut hingga ke wajah.
“Aku tidak sedang jatuh cinta,” desis Yong Do. Hidungnya kembang-kempis melepaskan napas gusar.
“Aku tidak mungkin jatuh cinta pada dia. Tidak untuk gadis seperti itu,” gumamnya.
‘Lalu, apakah kau bisa memberikan alasan mengapa kau merasa begitu kesal?’
Untuk beberapa saat Choi Yong Do terdiam. Seketika tenggorokannya terasa kering sehingga ia perlu menelan ludah untuk membasahi kerongkongannya.
‘Close your eyes,’ gumam suara yang sejak tadi menggema di dalam kepalanya.
Sambil menarik napas perlahan, Choi Yong Do menutup matanya.
‘Katakan padaku apa yang sedang kau lihat.’
Choi Yong Do tak bisa menjawab. Di sini terlalu gelap. Sangat gelap sebelum sebuah cahaya rembulan masuk. Menyinari wajah seorang gadis yang sedang berdansa dengan seseorang. Seseorang yang begitu familier bagi Yong Do.
‘Apa yang kau lihat, Yong Do?’
“Aku tidak tahu,” gumam Yong Do. Kedua matanya masih tertutup.
‘Keep focus.’
Bulu mata itu bergetar selama beberapa detik, lantas berhenti sewaktu matanya terpaku pada visual yang tengah berdiri tak jauh dari tempatnya. Sepasang remaja tengah berdansa. Dia mengenali salah satu wajah dari dua orang tersebut. Si gadis bermata hitam dengan bulu mata yang lentik. Rambut panjang dengan bagian ujung yang di-curly.
Di sini terlalu tenang. Tak ada suara, selain degup jantung yang menggema dengan tekanan stabil. Tampak kening Choi Yong Do mulai melengkung ke tengah. Merasakan degup jantung ini, tetapi dia yakin jika bukan detak jantungnya yang kini sedang ia dengar.
“Those are two heartbeats that I hear,” gumam Yong Do.
‘Dengarkan lebih jauh.’
Choi Yong Do mengangguk dengan gerakan lambat. Ada dua orang di lantai dansa. Mereka saling berpelukan dan sang gadis menyandarkan wajahnya ke sebelah bahu sang pria, lalu pria itu menyandarkan wajahnya ke kepala si gadis. Mereka terlihat begitu menikmati alunan musik.
‘Who’s the guy?’ tanya suara di dalam kepala Yong Do.
Mulut Yong Do terbuka dan diam selama beberapa detik. “Ak- aku … ak- aku tidak tahu,” ucapnya.
‘Lihat baik-baik, Yong Do. Lihat baik-baik,’ gumam suara di kepalanya lagi.
Choi Yong Do kembali terdiam. Mengambil waktu untuk meraup udara sambil berusaha menenangkan hatinya yang sempat meracau. Kelopak mata yang sedang tertutup itu kembali bergetar.
“The guy is …,” gumaman itu terlalu panjang.
Fokus Yong Do masih pada dua remaja yang sedang berdansa di lantai dansa itu, tetapi semilir angin bertembak. Membawa konsentrasi Choi Yong Do berpindah pada si pria. Si pria dalam balutan kemeja sutra. Rambut hitam potongan wavy. Wajah kaku dengan tatapan skeptis. Detak jantung yang mulai bertalu cepat.
Seketika mata Yong Do terbuka. “Me?!” Choi Yong Do mengernyit. Menatap wajahnya dari pantulan cermin.
Mulut Yong Do terbuka. Kesadarannya seperti terbagi dua. Yang satu tertinggal di lantai dansa dan yang satunya lagi berusaha untuk keluar. Sehinga Choi Yong Do menemukan ketidakseimbangan dengan kesadarannya. Mendadak entakan jantungnya meningkat dua kali lebih cepat. Sehingga tekanannya terasa sampai ke tulang rusuk.
Pria itu memutar lututnya. Bergegas menghampiri bilik. Ada sesuatu yang berputar di perutnya. Memaksa dikeluarkan dan mulai terasa menyumbat pernapasan. Wajahnya membesar bagai balon dan ia mulai tak tahan dengan semua ini.
Pria itu menjatuhkan tubuhnya sampai kedua lutut mendarat kasar di atas lantai. Mulutnya kembali terbuka. Ada sesuatu, seperti deburan ombak di pantai tak mampu ditahannya. Matanya ikut terbelalak saat perutnya menembakkan sesuatu. Choi Young Do menggeram.
Dadanya masih naik turun dengan napas kacau. “Suck up!” makinya untuk kesekian kali. Baunya memang tidak sedap dan dia tahu penyebabnya. Pria itu menekan tombol untuk membersihkan muntahannya. Seketika da’danya terasa longgar, tetapi tubuhnya melemah.
“Oh crap …,” gumam Yong Do. Ia menutup mata. Membiarkan tubuhnya berada di atas lantai dan punggungnya bersandar di dinding. Oh, sial. Tidak lagi untuk bir. Pasti ini karena bir.
“Ya.” Choi Young Do menyetujui apa pun yang menjadi pembelaannya pada dirinya sendiri. Pria itu mengerjap dan bersiap untuk berdiri, akan tetapi saat tubuhnya telah berdiri tegap dan dia siap meninggalkan ruangan tersebut, tiba-tiba terdengar suara keras yang timbul akibat daun pintu yang dibanting.
Choi Yong Do menahan langkah ketika rungunya menangkap bunyi sepatu boots hak tinggi yang mengetuk lantai dengan kasar. Sejurus kemudian terdengar suara dari kran air. Choi Yong Do mengernyit. Ada seseorang di luar. Dia bisa saja keluar dan pergi, tetapi entah mengapa langkah kakinya malah tertahan.
“Sial. Dasar pria tidak tahu diri. Berani-beraninya dia. Dia pikir dia siapa, hah?! Pria kecil yang hidup di bawah kekuasaan sang ayah. Cih! Sudah bagus aku mau berteman dengannya. Dasar pengatur. Sudah cukup. Aku sudah bersabar selama tiga bulan. Pikirnya dia itu hebat, hah? Selalu pamer ini itu. Motor sport, mobil sport? Cih! Apa gunanya semua itu jika hanya milik ayahnya. Siapa dia? Cih!”
Bola mata Choi Yong Do melebar lambat-lambat. Bersamaan dengan entakan jantungnya yang berdetak meningkat. Mendengar suara yang sangat familier di telinganya.
Suara yang belakangan ini menemani tidurnya. Suara yang seringkali bertengkar dengan kepalanya. Suara itu juga yang sedari tadi mengganggunya. Suara yang mengacaukan pernapasan Yong Do. Suara yang memberantakan degup jantung Yong Do. Suara yang ternyata … menjadi jawaban atas segala kerisauan di dalam hatinya. Suara itu. Suara dengan nada tajam dan ucapan-ucapan sarkasme. Mengapa ada sesuatu yang seakan meremas jantungnya dengan kuat? Seperti ada seseroang yang sedang menggali lubang di dalam hatinya.
Entahlah. Perasaan ini benar-benar irasional. Namun, dari semua itu mengapa jantungnya yang tak bisa berdetak normal? Mengapa entakannya begitu kuat? Seperti mendorong sesuatu dari dalam tubuhnya.
Adrenalin. Adrenalin yang dipicu oleh sesuatu yang tidak masuk akal. Dan tubuh Yong Do mulai bergerak tanpa perintah.
Kepala Yong Do yang sempat tertunduk, perlahan mendongak. Tangan kirinya semakin mencengkram gagang pintu. Didorong oleh naluri-nya, Choi Yong Do mulai menarik gagang pintu itu. Bunyi daun pintu yang berderik membuat seseorang yang sedang berdiri di depan wastafel itu mendongakkan wajahnya.
Ada keheningan yang panjang meliputi ruangan ini. Hanya suara angin, sayup terdengar. Disusul bunyi detak jantung yang menggedor kuat. Choi Yong Do mematung di tempatnya. Menahan debar-debar di d**a sambil mematri tatapan pada sepasang manik hitam di depannya.
‘Yes. You like her.’
Choi Yong Do mendengar suaranya sendiri. Berbicara padanya dan dia tak mampu menyangkal. Lebih daripada itu, Choi Yong Do masih sangat awam dengan perasaan seperti ini.
Dia tidak pernah mengalami situasi di mana degup jantungnya berdetak tiga kali lebih cepat dan membuat tubuhnya membeku. Mendorong Choi Yong Do berada dalam posisi di mana ia tak bisa menggunakan akal sehatnya. Apakah ini efek samping dari bir? Seberapa banyak kadar alkohol dalam bir sehingga mampu membuat tubuhnya membeku dan napasnya terasa sehangat sauna juga debar-debar di jantungnya?
“Hell! Aku tidak tahan lagi, Ronny.”
“This way, Sweetheart.”
Samar terdengar suara dari sepasang manusia yang mendekat. Entah apa yang membuat gadis berambut hitam panjang yang juga ikut membeku itu memutar tubuhnya dengan cepat. Seketika ia dilanda rasa panik. Memutar pandangannya ke arah pintu dan ia mendengar langkah kaki sepasang manusia itu semakin mendekat.
Refleks, kakinya bergerak. Tanpa berpikir dan tanpa melihat di mana arah tujuannya. Detik seperti melambat. Membuat Choi Yong Do bisa merekam pergerakan gadis itu. Sepatu boots-nya mengetuk lantai dan rungunya hanya merekam lima ketukan.
BUK
Choi Yong Do tersentak saat punggungnya menabrak dinding. Suara pintu yang dibanting membuat kesadarannya kembali pada fungsi normal. Namun, semua itu berbeda dengan tubuhnya yang kini membeku. Pria itu semakin bingung saat melihat kedua tangannya terangkat hingga ke atas kepala. Namun, semua itu belum cukup membuatnya sangat terkejut. Selain sepasang manik hitam yang kini berada tepat di bawah dagunya.
“Yi-“
“Sshhh ….”
Desisan itu sanggup membuat Choi Yong Do bungkam. Gerakan kepalanya yang menggeleng cukup memberikan tanda jika Choi Yong Do tak boleh banyak bergerak saat ini. Sehingga yang bisa dilakukan Choi Yong Do hanyalah menganggukkan kepala.
“Kau yakin tak akan ada yang datang di sini?”
“Ya. Aku yakin.”
“And you sure we will do it here?”
“Yes. As long as you don’t scream.”
“Apa mengerang boleh?”
“I’m not sure. Rather than you just-“
“Ah ….”
Bola mata Choi Yong Do melebar. Begitupun dengan gadis bernama Park Yiseo. Sejurus kemudian keduanya menutup mata saat mendengar entakan demi entakan di bilik sebelah.
“What the he-“ Gumaman Choi Yong Do terhenti saat Park Yiseo membungkam mulut Yong Do dengan telapak tangannya.
Manik hitam itu semakin membola. Kembali lagi dia menggoyangkan kepala, menyuruh Choi Yong Do untuk diam. Padahal dia sendiri juga merasakan kegugupan yang sama.
Ya Tuhan, situasi macam apa ini.
________________