“Ronny, do it slowly.”
“Oke, I’ll try.”
“Like this?”
“Y- yeah … keep going.”
Bola mata Choi Yong Do melebar. Sementara rahang Park Yiseo mengencang. Gadis itu melepaskan napas berat, lantas memalingkan wajahnya. Manik hitamnya menikam papan berwarna cokelat yang merupakan satu-satunya penghalang antara tempatnya berdiri dan bilik di sebelah. Tempat di mana dua orang remaja sedang making out. Atau mungkin lebih.
Park Yiseo mengernyit saat merasakan ketukan pada pangkal pundaknya. Ia pun mendongak. Gadis itu membulatkan mata. Memberikan tatapan nyalang sambil menggelengkan kepala, tetapi Choi Yong Do juga tak kalah memberikan tatapan keras pada Yiseo.
Keringat tampak keluar dari pori-pori, membasahi wajah dan sekarang mulai menetes. Namun, Park Yiseo masih tidak mengerti maksud isyarat mata yang sedang diberikan Choi Yong Do.
“YES. FASTER, NOW!”
Secara spontan Choi Yong Do dan Park Yiseo menelengkan wajah mereka ke samping. Bunyi entakan terdengar kasar dan cepat. Desahan tadi terganti erangan dan kini mulai menguasai ruangan.
“Diamlah, nanti ada yang kemari.”
“I don’t fu’cking care. Just do it. As fast as you can.”
Park Yiseo menjatuhkan wajahnya. Menatap ke bawah. ‘Situasi macam apa ini,’ batinnya. Sampai saat ini dia masih tidak mengerti mengapa dirinya bisa terjebak situasi tidak masuk akal bersama pria ini.
Sekali lagi Park Yiseo mengernyit. Ia mendongak. Dilihatnya, Choi Yong Do mengetuk punggung tangan Yiseo. Seketika Park Yiseo tahu apa yang membuat Yong Do sedari tadi mengetuk pangkal pundaknya. Gadis itu langsung menarik tangannya yang sedari tadi menyumbat mulut Yong Do.
“Hah … Hah ….” Mulutnya megap-megap. Berusaha mengeluarkan napas. Dia sampai harus membungkukkan badan dan memegang kedua lutut. Sementara matanya mengerjap berulang kali.
Butuh beberapa detik bagi Choi Yong Do sampai ia kembali menegakkan badannya.
“Kau ingin membunuhku?!” Yong Do berucap dengan suara rendah, tetapi memberikan tatapan nyalang pada Park Yiseo.
“Shht!” Park Yiseo mendesis sambil menaruh telunjuknya di bibir. Bola mata hitam itu juga melebar. Memberikan tatapan yang tak kalah nyalang.
Da’da Yong Do naik turun. Melepaskan napas gusar. Pria itu memalingkan wajahnya. Berharap semuanya akan lebih baik setelah itu, akan tetapi yang dia hadapi hanyalah kegugupan. Perasaan gugup yang sedari tadi terus mengungkungnya. Membuatnya tak bisa berpikir jernih.
‘What for now, Yong Do? Dia di sini. Bersama kau. Di dalam toilet, dan … di sebelah kalian ada sepasang kekasih yang sedang.’
“Just shut up!”
Park Yiseo mendelik kaget. Ia membolakan matanya pada si pria yang barusan mendesis rendah. Gadis itu tak ragu menarik bahu Choi Yong Do. Membuat wajahnya terlempar ke arah Yiseo. Gadis itu melebarkan mata sembari mengangkat kedua bahu.
Seolah-olah dalam pandangannya itu, Park Yiseo ingin menanyakan penyebab Choi Yong Do mendesis barusan. Namun, hal berbeda dirasakan Choi Yong Do saat gadis di depannya berulang kali memberikan tatapan membunuh padanya.
Ada sesuatu dalam tatapan itu yang membuat Choi Yong Do terdiam. Terintimidasi dan terhakimi, tetapi dengan perasaan berbeda yang akhirnya membuat jantungnya kembali berdetak dua kali lebih cepat.
‘Apakah harus gadis ini? Apakah tak ada lagi manusia di muka bumi ini yang bisa dijadikan objek untuk ….’
Gumaman dalam hati Choi Yong Do terhenti dan dia memilih untuk memalingkan wajahnya.
‘It doesn’t make sense!’
Berulang kali Choi Yong Do menentang perasaannya. Perasaan berdebar-debar di dalam hati yang kini mulai membuat wajahnya terasa panas.
“Oh crap! You are very big, Ronny.”
Suara gadis di seberang bilik membuat Yiseo bergeming. Ia pun memutar tubuh. Mendekatkan wajah ke pintu dan memastikan jika sepasang remaja itu telah selesai melakukan pertukaran hasrat. Terdengar suara berdecap-decap pertanda kalau mereka masih melakukan ritual terakhir sebelum akhirnya benar-benar selesai.
Saat terdengar bunyi derik pintu, secara spontan Choi Yong Do dan Park Yiseo mendesah bersama. Kemudian keduanya saling menatap.
Hening, tak ada yang bicara selama beberapa detik yang panjang. Entah bagaimana dan entah apa penyebabnya. Sejurus kemudian kedua remaja itu tertawa bersama. Suara mereka menggema di dalam ruangan. Park Yiseo menggelengkan kepala. Berbalik lalu menekan gagang pintu.
“Oh, my God!” gumam gadis itu. Ia membawa satu tangannya meremas dahi, tetapi bibirnya tak bisa berhenti tertawa.
“How come!”
Di belakang Park Yiseo, ada Choi Yong Do yang juga masih tak mengira jika kejadian yang baru berakhir semenit yang lalu benar-benar nyata.
Park Yiseo mengernyit. “Apa maksudmu?” tanya gadis itu. Dia berdiri di depan wastafel. Memandang Yong Do dengan kening yang melengkung ke tengah.
“What?” Choi Yong Do balik bertanya.
Park Yiseo mengerjapkan matanya sekali, lantas mendelikkan keningnya dan mengangkat kedua bahu.
“Well, kau hidup di Australia sejak kecil. Seharusnya situasi seperti tadi sudah tak lazim lagi. Aku heran tadi kau bilang ‘bagaimana mungkin’ sudah pasti kau tahu. Mereka berpacaran dan berpacaran gaya Australia,” ujar Yiseo.
“Tapi aku tidak pernah tahu gaya berpacaran orang Australia,” kata Yong Do. Pria itu menunduk, lantas mengusap tengkuknya.
Terlihat Park Yiseo memberengut. Gadis itu membawa kedua tangannya terlipat di depan da’da. Dahinya terlipat dan keningnya melengkung ke tengah. Dia masih memandang Choi Yong Do.
“Oh ya?” tanya Yiseo.
Choi Yong Do mendongak sekilas. Menatap Park Yiseo ragu-ragu, lantas menganggukkan kepalanya. “Ya. Karena aku tidak pernah keluar rumah selama sepuluh tahun.”
“WHAT?!” pekik Yiseo.
Terdengar embusan napas panjang dari Choi Yong Do. Dia mengulum bibir kuat-kuat, lalu memutar tubuhnya. Pria itu menggeram rendah di kerongkongan. Mengapa juga dia harus memberitahukan hal memalukan itu pada Park Yiseo. Padahal dia tahu bagaimana sifat gadis itu. Menyadari hal tersebut, membuat Choi Yong Do kembali memutar tubuh.
“Kumohon, jangan beritahu siapapun soal tadi,” ucap Yong Do.
Untuk beberapa detik Park Yiseo memilih untuk diam, dengan bola mata yang masih terbuka lebar mengikuti mulutnya yang masih menganga. Gadis itu tengah menelaah ucapan Choi Yong Do barusan. Sembari dalam hati dia bertanya-tanya, bagaimana mungkin?
Seketika memori menerbangkan Park Yiseo pada kejadian di hari pertama mereka datang ke Golden Smart School. Di hari itu, Park Yiseo melihat bagaimana Choi Yong Do memiliki sifat skeptis dan itu semua menjadi masuk akal saat mengetahui jika Choi Yong Do tak pernah keluar rumah selama sepuluh tahun lebih.
Mendengar kenyataan itu, sekejap membuat Park Yiseo seperti merasa bersalah. Padahal dia tidak melakukan apa pun. Bahkan dia tidak melukai perasaan pria itu. Namun, ada saja satu sisi dalam dirinya seperti merasa bersalah.
“Yiseo-ssi,” panggil Choi Yong Do. Ssi dalam bahasa Korea merujuk pada kata ‘nona’ sebuah sebutan yang wajib untuk memanggil seseorang lebih sopan. “Yiseo-ssi.”
Park Yiseo bergeming. Refleks mengerjapkan mata. Melepaskan napas dan kembali membawa atensi penuhnya kepada Choi Yong Do.
“Please, don’t tell anybody about me,” kata Yong Do.
Sambil mematri tatapan pada Yong Do, Park Yiseo menggelengkan kepalanya. Satu hal yang tidak bisa dimengerti oleh Park Yiseo adalah mengapa dia harus merasa iba kepada Choi Yong Do. Tatapan keragu-raguan yang sedang terarah kepadanya, membuat Park Yiseo seolah merasakan kesepian yang dirasakan pria itu. Sehingga dalam sedetik, Park Yiseo bisa menyimpulkan apa yang membuat pria Asia itu memiliki sifat seorang sosiopat.
Di tempatnya berdiri, Choi Yong Do mulai merasa dirinya begitu bodoh. Apa yang dia harapkan dari Park Yiseo? Tidak mungkin dia bisa memohon pada seorang Park Yiseo. Sementara Choi Yong Do tahu sendiri bagaimana sifat gadis itu.
Saat tidak mendapatkan jawaban atas permintaanya, Choi Yong Do mendesah panjang dan memilih untuk meninggalkan tempat tersebut. Dia sendiri sudah pasrah. Pasti sekarang Park Yiseo sedang memikirkan cara bagaimana untuk mempermalukan Choi Yong Do di kelas. Sekali lagi mendengkus. Choi Yong Do memutar tubuhnya. Mengambil langkah panjang menghampiri pintu. Tangannya memanjang siap menekan gagang pintu.
“I promise!”
Seketika pergerakan Choi Yong Do terhenti. Ia mendongak dengan mata membesar. Pria itu menoleh ke belakang. Tepat saat itu juga Park Yiseo memutar pandangannya. Menatap Choi Yong Do.
“Aku tidak akan menceritakannya pada siapapun. That’s my promise as Asian,” ucap Yiseo.
Entah Choi Yong Do sadar atau tidak, sekarang dia sedang menarik kedua sudut bibir. Memberikan senyum yang hanya bertahan selama dua detik.
“Thanks,” ucap Yong Do. Dengan begitu pria itu menekan gagang pintu.
Setelah melewati pintu itu dan kembali menutupnya, Choi Yong Do berdiri di depan daun pintu dan menoleh ke belakang. Dirasakan pria itu debar-debar di jantungnya yang kembali meningkat. Sehingga Choi Yong Do harus menaikkan tangannya untuk bisa menahan degup dan dentuman kencang itu.
Namun, rasanya jauh berbeda dari sebelumnya. Satu hal yang disadari Choi Yong Do adalah ternyata Park Yiseo tak seburuk yang dia kira.
‘Your mom is so right, isn't she?’
Choi Yong Do mengulum bibir. Membentuk senyum simpul di wajah. “Ya,” gumamnya. Untuk pertama kalinya Choi Yong Do menyetujui apa yang dikatakan batinnya.
Sambil terus tersenyum, Choi Yong Do kembali mengambil langkah. Meninggalkan lorong sunyi itu. Oh, sekarang tidak lagi sunyi. Ada beberapa pasang remaja yang sedang berduaan dan bermesraan di lorong ini.
“Dude!”
Choi Yong Do menoleh. “Hey, Pete.”
Peter mengernyit melihat ekspresi di wajah Yong Do. “You okay?” tanya Peter.
Kali ini giliran Choi Yong Do yang mengernyit. “Of course. Kenapa sedari tadi kau bertanya apa aku baik-baik saja. Tentu. Am I looking like freaking i***t?” tanya Yong Do.
“No,” jawab Peter. Namun, kerutan di dahinya masih terlalu kentara. Pertanda kalau pria itu masih cukup bingung dengan ekspresi Choi Yong Do. “You smile,” kata Peter.
Choi Yong Do mengerjap. “Oh!” Pria itu memalingkan wajahnya.
Tingkah Choi Yong Do membuat Peter terkekeh. Ia pun merangkul tubuh Yong Do dari samping.
“It’s okay, Dude!” Pete menepuk pundak Yong Do. “Lagi pula apa yang salah dengan senyummu, hah?”
Sekilas Choi Yong Do menatap pria di sampingnya. “Y-ya,” ucap pria itu. Dia berusaha keras untuk tidak tersenyum lagi, tetapi tampaknya itu sangat sulit.
Untuk pertama kali dalam hidupnya, Choi Yong Do membiarkan wajahnya tertawa. Lelaki muda Choi itu tak butuh alasan untuk tertawa. Debar-debar di da’da terganti dengan perasaan indah. Entahlah. Walaupun masih abu-abu dan terlalu samar. Namun, satu hal yang pasti dari semua ini adalah … dia mulai menilai Park Yiseo dari sudut pandang berbeda.
Begitupun dengan Park Yiseo yang memilih untuk diam dan berpikir sejenak. Gadis itu menonjok pelan dagunya dengan kepalan tangan.
‘Jika dia tidak pernah keluar rumah selama sepuluh tahun lebih, apakah itu artinya selama ini dia belajar di rumah? Oh, ya Tuhan! Bagaimana rasanya? Tidak pernah berkomunikasi dengan dunia luar selama sepuluh tahun lebih. Aku tidak mungkin bisa.’
Ada kegelisahan dirasakan Park Yiseo. Hanya karena mengetahui sebuah kebenaran. Dia yakin itu bukan lelucon. Pria itu sampai memohon pada Yiseo, mana mungkin dia berbohong.
“Oh crap!”
Seketika hati Park Yiseo dipenuhi kerisauan. Sejurus kemudian dia memikirkan sesuatu. Matanya menyipit. Mempertimbangkan apa pun yang baru saja terbisik di dalam kepalanya.
“Apakah aku bisa?” gumamnya. Sedetik kemudian Park Yiseo menghela napas panjang. Embusan napas, menyertai anggukkan kepalanya. “Ya, aku pasti bisa. Aku Park Yiseo,” ucapnya.
Dengan penuh keyakinan, dia pun memutar tubuh. Bergegas meninggalkan toilet.
“Oh my God!” Park Yiseo tersentak saat melihat wajah seorang pria tepat setelah ia menarik gagang pintu. Kening gadis itu melengkung ke tengah. “Nick?!”
Pria bermata hijau itu mematung. Deru napasnya terdengar kasar. “Yiseo ….” Dan nama itu keluar di antara gigi yang terkatup.
“Kau kenapa?” tanya Yiseo santai. “Oh!” Gadis itu menoleh ke belakang. “Kau kebelet? Masuk saja,” ucapnya santai.
Tanpa memikirkan apa pun, Park Yiseo langsung melangkah. Melewati tubuh Nicholas yang masih mematung. Sejurus kemudian terdengar kertakan gigi. Park Yiseo berjalan santai meninggalkan toilet. Namun, dia tidak tahu kalau sekarang Nicholas sedang marah.
“Kau berhutang penjelasan padaku, Yiseo,” gumamnya. Kepalan tangan pria itu semakin mengencang. Bersamaan dengan tulang rahangnya yang makin kelihatan. Napas Nicholas berembus kasar. Dia tak bisa berhenti menatap punggung Yiseo. Perlahan-lahan wajah pria itu mulai bergerak. Kali ini memberikan tatapan membunuh pada bilik-bilik kecil yang pintunya terbuka di dalam toilet.
“Dasar pecundang Asia. Berani-beraninya kalian bermesraan di fratku.” Nicholas terus bermonolog dengan dirinya.
Sementara ada sesuatu yang serasa menggedor-gedor di dalam da’danya. Amarah dan rasa kecewa menyatu. Dengan kedua matanya, dia melihat bagaimana lelaki Asia bernama Choi Yong Do baru saja keluar dari ruangan ini. Memori Nicholas masih berfungsi. Merekam bagaimana raut wajah pria itu yang tampak sumringah. Bagai seseorang yang tengah jatuh cinta.
“Cih!” decihan kasar kembali meluncur dari bibir Nicholas. Dengan kepalan tangannya itu, dia memukul dinding di sampingnya. Tampak wajah Nicholas bergetar. Manik birunya berubah merah dengan tatapan tajam dan penuh teror.
“Awas saja kau, Choi Yong Do.”
__________________