“Yiseo,” panggil Nick.
Ini sudah panggilan ke-tiga dan sampai saat itu juga tak ada respon dari Park Yiseo. Gadis itu terjebak lamunannya sambil menggenggam gelas mocktail dengan kedua tangan. Nick mendengkus. Ia memutar wajahnya.
Sepasang manik cokelat milik seorang pria Asia menjadi pemandangan pertama Nicholas dan itu membuatnya semakin kesal saja. Seketika tatapan Nicholas berubah tajam. Pria itu kembali membawa atensi penuhnya, menatap sisi kiri wajah Park Yiseo.
“Yiseo!”
Nicholas sengaja mengentak suaranya dan itu berhasil memecahkan lamunan Park Yiseo. Namun, gadis itu tak memberikan reaksi terkejut secara dramatis. Ia terlihat sangat santai ketika memutar wajahnya perlahan-lahan. Raut wajah Yiseo tampak biasa saja. Membuat Nicholas makin kecewa.
“Aku minta maaf soal tadi,” kata Nick.
Park Yiseo kembali memutar wajahnya. Meluruskan pandangan. Ia menaruh kedua siku tangan ke atas meja bar dan mulai mendorong gelas kristal ke mulutnya.
“Untuk apa minta maaf padaku,” ucap Yiseo. Gadis itu berucap tanpa melihat lawan bicaranya. Konsentrasi Yiseo ada pada gelas di tangannya, tetapi pikiran Yiseo berada di tempat lain.
“Ya … aku minta maaf karena memukul temanmu.”
Ucapan Nicholas membuat Park Yiseo mendecih halus. Nicholas mendongak. Dahinya mengerut sewaktu memperhatikan ekspresi Park Yiseo. Gadis itu tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Park Yiseo menunduk sekilas, lantas memutar pandangannya. Menatap Nicholas.
“Temanku yang mana?” tanya gadis itu dengan senyum sinis bertahan di wajahnya.
“Y- ya, pria Asia itu. Bukankah dia temanmu?”
Park Yiseo terkekeh sinis. “Dari mana kau menyimpulkan jika kami berteman?” Park Yiseo kembali berucap sambil menatap gelas mocktail.
Tampak Nicholas memberengut. Kedua tangannya terbuka, dia mengangkat kedua bahu. “Ya … aku sering melihat kalian datang di sekolah bersama. Dan … kalian satu tempat tinggal, kan?”
Mulut Yiseo terbuka dan ia memutar pandangannya. Kembali menatap Nicholas. Gadis itu terkekeh sedikit keras dari sebelumnya.
“Tinggal di apartemen yang sama bukan berarti kami berteman, Nick,” sangkal Yiseo.
Bibir Nicholas kembali manyun dan sekali lagi ia mengedikkan kedua bahu. Pria itu mengembuskan napas panjang. “Kupikir sejak tadi kau diam karena aku memukul pecundang itu,” kata Nick.
Ekspresi Park Yiseo kembali berubah datar. “Tapi, aku memang tidak suka tindakanmu tadi,” ucap Yiseo. Gadis itu mendengkus. Mengocok minumannya sebelum kembali mencarak cairan berwarna merah muda tersebut.
“Sebutkan alasan mengapa kau memukulnya,” kata Yiseo tanpa menatap Nick.
“Ya … karena dia pecundang,” ucap pria itu.
Park Yiseo mendecih sinis. Dia menggelengkan kepalanya. “Itu artinya kau merundung, Nick.” Gadis Park itu kembali menyesap minumannya.
“Karena dia menginginkan sesuatu yang seharusnya tak berhak dimilikinya.”
Park Yiseo mengernyit. Ia menoleh ke samping. “Maksudmu?” pancing Yiseo.
Gadis itu bisa melihat ekspresi Nicholas yang berubah. Sekejap menjadi kegelisahan. Pria itu menundukan kepalanya. Dia memainkan jemarinya di atas paha.
“Nick?” panggil Yiseo.
Nicholas menggeleng. “I don’t know,” kata pria itu. Entah mengapa ia jadi tak berani menatap Yiseo. Takut. Mungkin saja gadis itu bisa membaca tatapan Nicholas dan dia tak sanggup mengungkapkan apa yang selama ini menjadi keresahan di hatinya. Belum saatnya.
Lagi pula Nicholas tidak mengerti. Untuk pertama kalinya dia ingin terus berada di sisi seorang gadis. Selama enam belas tahun ini, ia telah bertemu banyak gadis. Namun, tak ada satu pun dari mereka yang sanggup mencuri perhatiannya.
Tiba-tiba saja seorang gadis Asia masuk ke sekolahnya dan saat melihat gadis itu pertama kali memperkenalkan dirinya di depan kelas, Nicholas merasakan ketertarikan yang berbeda.
Satu-satunya gadis yang menurut Nicholas berada setara dengannya. Satu-satunya gadis yang menolak kartu kredit milik Nicholas. Satu-satunya gadis yang tak pernah ragu mengucapkan kalimat sekalipun itu menyakitkan. Bahkan tak pernah ragu menyinggung perasaan Nicholas.
Gadis yang hanya bisa menyeringai. Terkekeh sinis dan tergelak mencemooh. Gadis yang punya kalimat-kalimat sarkasme. Namun, semua itu malah membuat Nicholas merasa nyaman. Dia tidak munafik. Tak seperti kebanyakan gadis yang lebih memilih menjaga image. Park Yiseo selalu menjadi dirinya sendiri.
“Nick, aku bertanya padamu.”
“Because I love you.” Ucapan itu meluncur begitu saja. Tak ada pertimbangan di dalam otaknya. Spontan. Dari lubuk hatinya yang terdalam ingin menyuarakan satu kalimat tersebut.
Hening, tak ada yang berbicara. Selain suara EDM yang sedari tadi berdentum memenuhi seisi frat. Dan di depan bar, terjadi keheningan yang panjang saat kedua remaja beda negara itu memilih untuk saling menatap.
Nicholas Hamilton bisa merasakan entakan jantungnya yang mengetuk dua kali lebih cepat. Tengkuknya terasa panas dan mulai menjalar hingga ke wajah, membuatnya harus menundukkan kepala.
“Pfft!”
Sedetik kemudian Park Yiseo tertawa renyah. Kontan, Nicholas mengangkat wajahnya. Ditatap pria itu bagaimana cara Park Yiseo terbahak-bahak.
“For the God saken, Nicholas!” Park Yiseo masih tertawa.
“W- why?” Nicholas menggagap. “Apanya yang lucu?” tanya Nick.
“Kau!” Yiseo menekan ucapannya, tetapi tidak menghilangkan tawa. Gadis itu kembali menggelengkan kepalanya.
Nicholas mengernyit. “Tapi aku tidak bercanda, Yiseo. Aku serius,” ucap Nick.
Perlahan-lahan gelak tawa Park Yiseo mulai mereda. Menjadi datar seketika. Gadis itu memutar tubuhnya menghadap Nicholas. Tampak Park Yiseo menghela napas panjang lalu mengembuskannya dengan cepat.
“Nick,” panggil Yiseo. Wajahnya berubah serius. “kita hanya berteman. Aku tidak ingin pertemanan ini rusak hanya karena kau menyimpan perasaan padaku. Kumohon, aku sedang tidak dalam tahap di mana aku ingin berpacaran. Bukannya aku menolakmu, tidak. Kau tampan dan semua gadis selalu meneriakan namamu. But ….” Yiseo menaruh kedua tangannya di atas pundak Nicholas. Gadis itu menarik sudut bibirnya ke atas.
“I’m not type of romantic and actually, aku belum ingin berpacaran dengan siapa pun.” Lanjut Yiseo.
Wajah Nicholas berubah murung. “Tapi itu berarti suatu saat aku bisa mendapatkan kesempatan itu, bukan?” tanya Nick.
Park Yiseo mengulum bibir. Dahinya terlipat dan keningnya melengkung ke tengah. “Eumm ….” Gadis itu mengalihkan pandangannya. Tampak sedang berpikir keras. “Maybe,” kata Yiseo. Sambil mengedikkan setengah bahunya.
Nicholas mendesah panjang dan bahunya merosot. “Actually, I’d rather hear you say ‘probably’ setidaknya aku bisa menyimpulkan jika kesempatanku untuk menjadi kekasihmu sekitar enam puluh sampai sembilan puluh sembilan persen,” ujar Nicholas.
Lagi-lagi Park Yiseo tergelak. “Maybe better than not, isn’t?”
Sambil memanyunkan bibirnya, Nicholas kembali mendesah pasrah. Pria itu mengangguk lambat-lambat. Wajah Nicholas bagai anak TK yang tak diizinkan membeli es krim oleh ibunya. Dia akan memberengut kesal.
“Ouh … wajahmu tak cocok seperti itu, Nick. Kau membuatku ingin muntah,” ucap Yiseo. Gadis itu menutup ucapannya dengan gelak tawa.
Gadis itu melompat dari atas barstool, lantas mendelikkan kepalanya menunjuk lantai dansa. Dengan malas Nicholas menggerakkan kepalanya. Menoleh ke belakang.
“You wanna dance?” tanya Nick dengan wajah cemberut.
“Ya, tapi tidak dengan wajah seperti itu. Oh, ayolah, Nick! Aku tidak mau kau berwajah murung. Kita teman oke?”
Nicholas mengangguk. Sambil menarik napas panjang, Nicholas berusaha memperbaiki mimik wajahnya.
“Oke,” kata Nick.
“That’s Nicholas who I knew,” ucap Park Yiseo. Gadis itu meletakkan tangannya di atas pundak Nicholas lalu memeluknya dari samping. “Ayolah … jangan pasang wajah cemberut lagi.”
Sambil mengulum bibirnya, Nicholas berusaha untuk menarik sudut bibirnya ke atas. Memberikan senyum yang terlihat sangat dipaksakan.
Setibanya di lantai dansa, Park Yiseo menarik tangan Nick hingga ke tengah. Dekat sebuah panggung kecil di mana ada dua orang pria yang menjadi disk jockey.
Dentuman musik EDM masih menggema. Memutar lagu Jennifer Lopez dan Pitbull –on the floor– dengan tambahan arangsemen dari dua remaja di depan.
Suasana hati Nicholas yang sempat kecewa, perlahan-lahan mulai membaik saat melihat senyum di wajah Yiseo. Gadis itu mulai menikmati suasana. Tubuhnya mulai meliuk-liuk mengikuti irama musik yang sedang diputar.
“Kau terlihat mahir,” teriak Nick.
Park Yiseo tertawa. “Kau pikir aku tidak pernah clubbing,” ucap gadis itu.
“Kau bilang di negaramu anak remaja tidak bisa masuk club.”
Park Yiseo memanyunkan bibirnya dan mengangguk. “Indeed,” ucap Yiseo.
“Lalu? Bagaimana caramu bisa berdansa?”
Park Yiseo tersenyum. “Siapa bilang?”
“Kau,” kata Nick.
“Kubilang kami punya tempat khusus yang hanya bisa didatangi kaum kelas atas.”
Nick mengernyit. “Club?” tanya Nick.
Park Yiseo kembali memberengut. “… Y- ya … bisa dibilang seperti itu,” kata Yiseo.
Nick mengangguk. “Aku penasaran,” kata pria itu.
“Ouh … yang jelas lebih asyik club di Australia dan juga di frat,” kata Yiseo.
Nicholas menjawabnya dengan mengedikkan kedua bahu. “Kalau begitu mari nikmati.”
“Have a good time,” kata Yiseo.
Semakin lama, semakin irama musik menjadi cepat. Seseorang memberikan komando.
“Are you ready to jump …,” teriak salah seorang DJ.
Semua orang melompat. Park Yiseo tertawa. Entah mengapa. Mendengar musik itu membuat dirinya seperti terbebas. Gadis itu mendongakkan wajahnya ke atas. Menatap lampu bulat warna-warni tepat di atas kepalanya. Park Yiseo merasa ada sesuatu yang selama ini mengikat dirinya kini mulai terlepas.
“Three, two, one. JUMP!”
Seketika semua orang berteriak dan melompat dengan sangat antusias. Park Yiseo menatap ke sekelilingnya. Pada lautan manusia yang membiarkan tubuh mereka berjingkrak-jingkrak di atas lantai. Gadis itu ikut mengangkat kedua tangan. Mengikuti apa yang dilakukan orang-orang di sekitarnya.
“Kau menyukainya?” teriak Nick.
Yiseo mencondongkan wajahnya. Keningnya mengerut. “Hah?” Park Yiseo balas berteriak.
Nicholas mendekat. “Kau menikmatinya?” tanya pria itu sekali lagi.
“APA KAU SEDANG BERCANDA?” Park Yiseo berteriak sambil berjingkrak-jingkrak. Mulutnya kembali terbuka melepaskan gelak tawa.
“AUSTRALIA …,” teriak Yiseo.
Nicholas tersenyum. Ini kali pertamanya bagi Nick melihat sisi lain dari diri Yiseo. Gadis itu terlihat lebih lepas. Lebih bebas. Tak seperti pertama kali ia mengajak Yiseo ke club.
Park Yiseo menyanyikan lagu yang sedang diputar itu dan dia berjingkrak dengan senyum yang menghiasi wajahnya. Gadis itu mendongak ketika seseorang menembakkan confetti. Park Yiseo menarik sudut bibirnya semakin ke atas. Ia mengerentangkan kedua tangan lalu memutar tubuhnya. Gadis muda itu berusaha menangkap confetti yang turun dari atas, tepat di lantai dua dan menghujani lantai dansa.
‘Bebaslah. Buatlah hidupmu seakan-akan seperti confetti yang hanya akan diperhatikan sekali. Sewaktu benda itu ditembakan, orang-orang akan memusatkan perhatiannya pada confetti. Warna-warni yang dimilikinya sedikit banyak akan membuat orang-orang terhibur. Walau hanya dalam hitungan detik. Karena setelah benda itu menyentuh permukaan lantai, maka semua orang tak akan memerhatikannya lagi. Benda yang tadinya menjadi perhatian semua orang kini berada di bawah kaki dan ujung-ujungnya menjadi sampah. Tidak mengapa. Confetti yang indah. Bersinarlah. Nikmati detik-detik sebelum menjadi tak berarti.’
_________________