Park Yiseo masuk di kelas dengan begitu percaya diri. Ia bahkan tak ingin melepas tangannya dari dalam genggaman Nick. Sementara pria muda itu meletakkan tasnya ke atas meja.
“Kau duduk di sini,” kata Nick. Menunjuk kursi di belakang tempat duduknya.
“Itu tempat Lucy,” sahut Cardi.
Nick memberikan tatapan sinis pada Cardi. “Apa ada yang memberikan hak bagimu untuk bersuara?” tanya lelaki muda itu.
Tak berselang lama muncul presensi seorang gadis blonde yang baru saja memasuki ruang kelas. Langkahnya terhenti sewaktu ia melihat Nick menarik tangan Yiseo lalu mendudukkan gadis itu ke tempat duduknya. Seketika napas Lucy berubah. Menderu dan berembus kasar. Gadis itu mengangkat kakinya menghampiri Nick dan Yiseo.
“Ada apa ini?” tanya Lucy. Menatap Nick dan Yiseo bergantian.
Dengan santai Nick memutar tubuh menghadap Yiseo. Lelaki muda itu mengangkat dagunya lambat-lambat. Memberikan tatapan tak kalah sinis. Sambil mulai menyelusupkan tangannya ke dalam saku celana.
“Ada masalah denganmu?” tanya Nick santai.
Untuk beberapa alasan Lucy lebih memilih untuk terkekeh sinis. “Kau tahu tempat duduk siapa itu, Nick. Dan-“
“Dan apakah aku harus mempedulikanmu?” sergah Nick.
Seketika Lucy mengerutkan keningnya. Mulut gadis itu terbuka dan tatapannya berubah nyalang. Ia memindahkan tatapan penuh teror kepada si gadis yang mengambil alih tempat duduknya. Tampak gadis berambut hitam itu melingkarkan tangannya di depan da’danya dengan sangat santai. Ia pun mendongak. Memberikan tatapan dingin pada Lucy.
Tak ada kalimat yang keluar di bibir Park Yiseo selain sudut bibirnya yang terangkat membentuk seringaian. Seketika membunuh seluruh keberanian yang dimiliki Lucy Bennett. Apalagi manik hitam bulat itu. Tatapan yang sangat mengintimidasi. Alam bawah sadar Lucy akan selalu melihat ada sesuatu yang sangat menakutkan di sana. Bayangan anaconda tak bisa lepas dari ingatan Lucy. Membuat kakinya refleks mengambil langkah mundur sementara wajahnya berubah pucat.
Baik Nick dan seluruh pasang mata yang berada dalam ruangan ini, memberikan atensi penuh mereka kepada Lucy. Beberapa di antara para murid saling melempar tatapan sambil mempertanyakan perilaku tidak lazim dari seorang Lucy Bennett. Perubahan raut wajah yang sangat signifikan hanya karena melihat Park Yiseo.
“Ada apa dengannya?”
“Tidak tahu.”
“Aneh.”
“Hem.”
Seketika Lucy melayangkan pandangannya pada satu per satu murid. Sehingga dilihat gadis itu bagaimana mereka saling berbisik satu dengan yang lain. Dan Lucy Bennett begitu yakin jika dialah yang menjadi topik gosip mereka saat ini.
“Hei!” teriak Lucy. Gadis itu kembali memperbaiki raut wajahnya. Memasang tampang arogan, tetapi tidak dengan tangannya yang bergetar. Napasnya kembali berembus kasar saat menatap si gadis Asia yang tengah duduk sambil memeluk da’danya itu.
“Apa yang kalian lihat, hah?!” Lucy masih berteriak. Rahangnya mulai mengencang. Sekencang kepalan tangannya pada kedua sisi tubuh. Terjadi adu tatap antara Lucy dan Park Yiseo, tetapi gadis Asia itu tampak biasa saja. Detik seperti berhenti berpindah dan suasana berubah mencekam.
Seluruh pasang mata bahkan tak mau berkedip. Memerhatikan sebuah pemandangan yang begitu langkah di kelas gold ini. Bagaimana seorang Lucy Bennett bisa dengan mudah dikalahkan oleh seorang siswa transfer. Semuanya masih sangat mencekam sampai terdengar suara yang langsung memecahkan keheningan.
“Good morning.”
Seperti mendapat komando. Serentak seluruh murid memutar pandangan. Di depan mereka telah berdiri seorang pria dengan kemeja abu-abu dan celana kain hitam. Dengan iPad di tangannya. Lelaki berkacamata itu tersenyum memandang kelasnya yang hening.
“Apa tak ada yang akan menyahut sapaanku?”
Seketika seluruh siswa pun membuka mulut. “Good morning, Mr. Albert.”
Mr. Albert kembali tersenyum simpul, lantas pandangannya tertuju pada dua orang siswa yang masih berdiri.
“Mr. Hamilton, Ms. Bennett, ada masalah apa?”
Nick tak menjawab dan langsung membanting tubuhnya ke tempat duduk. Lucy masih memberikan tatapan sinis pada Yiseo. Namun, akhirnya ia pun mengalah. Mengambil tempat duduk di depan Choi Yong Do. Sikap yang ditunjukan Lucy membuat Cardi mendecih halus.
“Ms. Fenty,” panggil Mr. Albert menyebut nama belakang Cardi. Gadis itu pun menoleh. “Ada apa dengan tanganmu?”
Cardi terdiam. Bola matanya bergerak. Menatap si gadis berambut hitam panjang dengan topi baret abu-abu.
“Ms. Fenty?”
“Arrrggghhh!”
Semua orang tersentak saat mendengar teriakan Jase. Gadis dengan perban di kepalanya itu mengacak-acak rambutnya. Ia berdiri. Dan napasnya berembus dengan cepat.
“Dia!” teriak Jase. Tangannya bergetar menunjuk pada gadis bertudung topi baret merah. Seketika mata Jase berubah nyalang. “Dia menganiaya kami kemarin,” kata Jase dengan lantang.
Seantero kelas dibuat tercengang. Sehingga mereka mengarahkan tatapan kepada Park Yiseo. Salah satu di antara tiga puluh dua murid itu terlihat mengecilkan tatapannya. Sebagian dalam dirinya menjadi sangat penasaran dengan maksud perkataan Jase.
“Ms. Quinn bisa jelaskan maksud Anda dengan jelas?” tanya Mr. Albert.
Da’da Jase naik turun. Menahan napas yang bergemuruh. Tak beraturan. Membuat hidungnya kembang kempis.
“Dia menganiaya kami. Aku, Cardi dan Lucy. Dia mengurung kami di dalam toilet lalu menganiaya kami semua.”
Terdengar kekehan menggumam masal. Jase memutar pandangannya ke sekeliling. Dilihatnya bagaimana teman-teman sekelasnya menggelengkan kepala. Hanya dua di antara mereka yang menanggapi ini dengan serius dan mereka adalah Lucy dan Cardi.
Mr. Albert mengerutkan dahinya, lantas memusatkan perhatiannya kepada si gadis berambut hitam panjang yang tampak begitu santai di tempat duduknya.
“Cih!” Decihan kasar itu mengalun dari bibir Nick. Lelaki muda itu kembali menggelengkan kepalanya. Lantas ia pun memutar tubuhnya ke belakang. “Apa tidak terbalik?” tanya Nick. Sinis.
“Ya,” sahut Justin dari tempat duduknya. “sejauh yang kulihat kalian yang sering merundung Yiseo.” Lanjutnya.
“Hem.” Siswa yang lain ikut bergumam.
Tak berselang lama seorang siswa lelaki mengeluarkan ponsel dan menyerahkannya pada Justin. Sempat pria muda itu mengerutkan dahinya ketika melihat isi rekaman yang tengah ditunjukan temannya itu. Namun, sejurus kemudian Justin berdiri. Sambil membawa ponsel, ia pun menghampir Mr. Albert dan menyerahkan gawai di tangannya pada sang guru.
Mr. Albert mengerutkan dahi. Dilihatnya tiga orang gadis sedang merundung seorang siswa dan bahkan menginjak-injak tubuhnya.
“Ini terjadi beberapa hari yang lalu di kantin sekolah. Di hari pertama Park Yiseo masuk ke sekolah ini,” ujar Justin.
Masih memegang gawai di tangannya, Mr. Albert pun mendongakan wajah. Menatap satu per satu gadis yang terlibat dalam video ini. Jase masih berdiri dengan deru napas panjang dan kasar.
Tampak Mr. Albert bergeming. “Aku akan meneruskan ini pada bagian kesiswaan yang bertanggung jawab. Kumohon, Jase untuk tenang dan kembali ke tempat dudukmu.”
“Tidak!” teriak Jase.
Ia menghampiri Park Yiseo. Tangan gadis itu meraih kerah baju Yiseo lalu mengangkatnya. Namun, Park Yiseo masih tidak mengubah ekspresinya. Seakan-akan merasa begitu tidak terganggu dengan situasi yang terjadi saat ini. Hanya saja keningnya agak mengerut. Menatap Jase tepat berada di depan wajahnya.
“Katakan pada mereka yang sebenarnya. Katakan yang kau lakukan pada kami kemarin. CEPAT KATAKAN!” Jase berteriak di akhir kalimatnya.
Seketika raut wajah Yiseo berubah. Bibirnya bergetar dan matanya mulai berubah nanar. “Ak- aku … ak- aku.”
“Ck!” Nick bangkit dari tempat duduknya. Ia langsung menarik tangan Jase lalu mendorong tubuh gadis itu. Menjauh dari Yiseo.
Jase tak bisa melepaskan tatapan membunuh pada Yiseo. Wajah gadis itu berubah menjadi merah padam. Sementara Park Yiseo menggunakan keahliannya. Bahunya naik hingga ke rahang dan wajahnya memperlihatkan ketakutannya pada Jase.
“Cepat katakan yang sebenarnya! Kau … kau hampir membunuh kami kemarin dan sekarang kau berlagak seperti anak kelinci yang ketakutan. Kau pikir kau bisa membohongi kami, hah?”
“JASE!” teriak Nick. Jase langsung memutar pandangannya pada Nick yang berdiri di samping Yiseo. “Hentikan omong kosong ini!” tegas Nick.
“Nick, gadis itu tak sebaik yang kau pikirkan. Dia ini monster!” Jase masih menaikkan suaranya.
Mulut Nick terbuka melepaskan kekehan sinis. “Kau menyebut gadis ini monster, hah? Lalu kau dan dua temanmu apa, hah? Lagi pula kalian tidak punya bukti yang bisa memperkuat omong kosongmu. Sudah jelas siapa perundung paling terkenal di sekolah ini,” ujar Nick. Ia pun memutar pandangannya. Menatap dua Cardi lalu menatap Lucy. “KALIAN!” teriak Nick. “Kalianlah perundung yang sebenarnya.” Lanjut pria itu.
“Ya. Semua orang tahu itu.”
Seketika Jase mendengkus. Ia mengepalkan kedua tangannya. Gadis itu memutar tubuh. Lantas melempar tatapannya pada gadis blonde yang merupakan pimpinan mereka.
“Lucy!” seru Jase. “Katakan pada mereka yang sebenarnya, Luz.”
‘Aku ingin masukkan kepalamu ke dalam toilet agar kau bisa meminum air dari sana. Namun … akan kulakukan itu nanti. Mungkin saat kau mencoba melaporkan apa yang telah kulakukan pada kedua temanmu.’
Lucy menelan salivanya saat kelebat ucapan Yiseo menggema di dalam rungunya. Ia pun memindahkan pandangannya pada Park Yiseo sehingga ia bisa melihat seringaian di wajah gadis Park tersebut.
‘Ingat kata-kataku, Blonde. Aku tidak akan mengampunimu setelah ini.’
“Lucy!” teriak Jase yang langsung membuat Lucy tersadar.
“Ti-tidak,” ucapnya.
Mulut Jase terbuka sementara keningnya melengkung ke tengah. “Lucy, katakan yang sebenarnya.” Jase tak sekalipun menurunkan volume suaranya. Lucy menutup mata sembari mengatupkan mulutnya.
“Lucy!” teriak Jase untuk kesekian kalinya.
“Aku tidak tahu, Jase!” pekik Lucy. Embusan napas panjangnya kembali menggema dengan kasar. Ia memutar tubuh. Menatap Jase, tetapi melirik Yiseo bersamaan.
“Lucy kau ada di sana dan kau melihat yang dilakukan gadis itu pada kami.” Cardi akan bicara.
Raut wajah Lucy menampilkan kecemasan yang luar biasa hingga ia tak sadar jika saat ini dia sedang memilin jari-jarinya sendiri.
“Jangan libatkan aku, Cardi,” ucap Lucy. Kembali menatap temannya yang satu. “Jase.” Lanjutnya.
Seketika Cardi mendecih sinis. Ia pun menggelengkan kepalanya. “Aku benar-benar tidak percaya semua ini, Lucy.”
“Anak-anak, tolong dengarkan.” Mr. Albert akhirnya kembali berucap setelah berdiam diri beberapa lama. Memperhatikan situasi sengit yang sedang terjadi di kelasnya. “Apa pun masalah yang sedang terjadi di sini, aku ingin kalian menyelesaikannya secara baik-baik.”
“Tidak ada yang baik-baik di sini, Mr. Albert.” Jase menyergah. Wajahnya bergetar oleh amarah yang tidak terkendali. “Aku dan Cardi dianiaya dan semua ini karena perbuatan si gadis Asia, tapi-“
“Jase,” gumam Nick.
“TAK ADA YANG MAU MEMPERDULIKAN KAMI!” Jase berteriak sangat kencang sampai suaranya memenuhi seisi ruangan.
Tampak Nick menghela napas. Memutar pandangannya lalu dengan cepat kembali pada Jase.
“Demi Tuhan,” gumam Nick.
“Aku tidak tahu apa yang terjadi padamu, Nick dan aku tidak peduli denganmu. Gadis ini telah melukai kami dan tak akan kubiarkan ini terjadi lebih lama,” ujar Jase. Mengarahkan tatapan nyalang pada Yiseo.
Nick menarik tubuh gadis itu makin dekat ke arahnya sehingga Park Yiseo bisa bersembunyi di dalam pelukan Nick.
“Aku akan mengadukan ini pada dewan sekolah dan aku bersumpah kau akan mendapatkan hukuman paling berat,” desis Jase.
“Kalau begitu lakukan,” ucap Nick. Jase kembali mendongak. Mengarahkan tatapan penuh kebencian kepada Nicholas Hamilton. “bawa kasus ini ke sidang sekolah dan aku akan ada di ruangan yang sama menjadi alibi untuk gadis ini.”
Jase tak bisa berkata apa pun lagi. Ia hanya bisa memandang Nick memutar tubuh dan kembali membimbing si gadis berambut hitam. Kembali duduk di tempatnya. Nick pun menunduk.
“Jangan khawatir. Aku sudah berjanji untuk melindungimu dan kau akan aman. Lagi pula kau tidak bersalah,” ucap Nick. Ia pun menepuk pundak Yiseo sebelum mendongakkan tubuh dan berjalan kembali ke tempat duduknya.
“Tak usah pedulikan longlongan para anjing, Mr. Albert. Silahkan mulai kelasnya,” ujar Nick.
Seketika semua murid membenarkan duduk mereka. Sementara Mr. Albert memilih untuk menghela napas dan menggoyangkan kepala. Bukannya dia tidak ingin bertindak, tetapi pria itu tahu jika semua murid di kelasnya ini tidak bisa ditenangkan oleh para guru.
Selain Nicholas Hamilton dan Lucy Bennett yang memerintah. Para guru pun bahkan tak ada bisa menunjukan taring. Ketika memasuki kelas gold ini, para guru hanya punya satu tujuan yaitu memaparkan materi. Mereka tak boleh ikut campur dengan masalah pribadi apalagi perselisihan yang terjadi di antara para siswa kelas gold.
“Baiklah, semuanya. Mari kita mulai pelajaran hari ini. Silahkan buka iPad kalian dan masuk ke dalam aplikasiku,” ujar Mr. Albert dan suasana menjadi begitu tenang dalam sedetik.
Jase dan Cardi hanya bisa mendengkus sambil memberikan tatapan penuh teror pada punggung gadis bertopi beret abu-abu. Sementara Lucy hanya bisa mengencangkan rahangnya sambil mengepalkan kedua tangan.
Berbeda dengan Choi Yong Do yang sejak tadi terus dilanda perasaan gelisah. Memikirkan jika mungkin perkataan Jase ada benarnya. Dia sendiri berada di sana. Di lantai lima dan dia mendengar bagaimana Lucy dan dua temannya merancangkan rencana jahat untuk Park Yiseo. Dan semua itu menjadi sangat mungkin saat semua kepingan ingatan Choi Yong Do terkumpul menjadi utuh.
Satu hal yang membuat Choi Yong Do bingung. Apakah dia harus memuji Park Yiseo, tetapi dia juga penasaran bagaimana gadis mungil dari negaranya itu bisa mengalahkan dua orang gadis Australia. Didorong oleh rasa penasaran itu, lelaki Choi itu memutar pandangannya. Tepat saat itu juga matanya merekam seringaian yang kini terpatri di wajah Park Yiseo. Ingin rasanya dia memuji gadis itu, tetapi sebagian diri Yong Do cukup dibuat bergidik.
‘Sebenarnya seperti apa kau ini, Park Yiseo. Misterius. Tak pernah ada yang bisa menebak isi pikiranmu. Apakah kau … benar-benar … psikopat?’
Choi Yong Do hanya bisa bergumam dengan dirinya sendiri. Namun, saat ia memutar tubuh ada sekelebat perasaan yang membuatnya mendengkus kesal saat menatap Nicholas Hamilton.
‘Sepertinya mereka memang cocok. Penguasa dan penguasa.’
__________________