23. I Have a Sneaky Plan

1186 Words
“Ayo,” kata Nick sembari mengedikkan mata menunjuk pintu keluar. Sambil mengulum bibir membentuk senyum simpul, Yiseo pun menganggukkan kepalanya. Gadis itu bangkit dari tempat duduk. Mengambil tas lalu menghampiri Nick. Lelaki muda itu merangkul tubuh Yiseo dari samping, lantas mengedikkan kepala. Memberikan isyarat pada Justin dan temannya itu pun bangkit. Satu per satu murid mulai keluar dari kelas ketika jam pelajaran telah berakhir. Sementara itu Cardi dan Jase berdiri. Menghalangi Lucy yang hendak meninggalkan kelas. Gadis blonde itu mendongak. Memberikan tatapan sinis pada dua gadis di depannya. “Lucy, kurasa kita perlu bicara.” Cardi yang pertama angkat bicara. Seketika Lucy berdecak kesal. Ia menunduk sekilas lalu kembali mendongak. “Oke,” kata Lucy. “Kita ke Vellichor,” ucapannya menyebut basecamp mereka. Tiga orang gadis itu menaiki lift menuju lantai lima. Memasuki sebuah ruangan yang didominasi warna lilac. Lucy duduk di sofa tunggal sementara Cardi dan Jase duduk di berhadapan. “Luz, tidakkah kau perlu minta maaf pada kami?” ucap Cardi. Seketika wajah Lucy berubah. Ia terkekeh sinis. “Maaf katamu?” tanya gadis itu. “Ya!” sahut Jase. “Karena kau kami jadi seperti ini.” Jase menekan setiap kalimat yang ia ucapkan. Bukannya merasa bersalah, Lucy malah terus terkekeh sinis. Ia pun menggeleng dan memalingkan wajahnya. “Kau yang punya masalah dengan gadis Asia itu,” ucap Cardi. Seketika Lucy kembali memutar pandangannya pada dua orang gadis di depannya. “Aku?” tanya Lucy dengan nada melengking. “Ya,” sahut Jase. Mulut Lucy terbuka. Kali ini ia terkekeh kasar. Ia kembali menggelengkan kepalanya. “Kalian juga bernafsu ingin menghabisi gadis itu. Lagi pula ada apa dengan kalian, mengapa kalian malah menyalahkan aku? Bukankah kita sudah sering melakukannya?” “Ya!” teriak Jase. Wajahnya bergetar. Gadis itu yang merasakan trauma paling besar. “Kita memang sering melakukannya, Lucy. Dan mengapa kali ini kau sangat takut, hah? Bahkan kulihat kau tidak berani menyahut ucapan gadis Asia itu.” Lucy menghela napas panjang lalu mengembuskannya dengan cepat. “Daripada menyalahkan aku, mengapa tidak kalian tanyakan rencanaku, hah?” “Untuk itulah kami memanggilmu di sini,” ujar Cardi. Sudut atas bibir Lucy naik membentuk seringaian. Gadis itu membawa punggungnya hingga menyentuh sandaran sofa. Meletakan kedua tangan di atas armrest dan mulai memainkan jemarinya. Mengetuk armrest hingga menimbulkan bunyi berirama. “Kita sudah salah menyerang. Saat ini yang bisa kita lakukan hanyalah memperlihatkan jika kita telah kalah darinya.” “Aku tetap akan membawanya ke sidang komite sekolah,” sergah Jase. Lucy kembali terkekeh sinis. “Silahkan,” kata gadis itu. Ia memutar bola mata menatap Jase. “Aku tidak melarangmu melakukannya. Itu hak kalian. Tapi maaf saja aku tidak bisa bersaksi.” “LUCY!” “Jangan berteriak padaku, Jase!” Lucy tak kalah melengkingkan suaranya. Dalam sekejap wajah Jase berubah. Rahangnya mengencang dan tatapannya terlihat mengerikan. Da’danya naik turun melepaskan napas yang bergemuruh. Lucy menutup mata dan kembali menghela napas panjang. Mengembuskannya perlahan-lahan. “Girls, listen.” Lucy kembali membuka matanya. Memberikan tatapan pada kedua temannya. “memangnya kalian bisa apa di sidang kesiswaan, hah? Kalian tidak dengar jika Nicholas akan memberikan dirinya sebagai alibi untuk gadis itu? Lagi pula aku yakin sekali sepertinya kita yang telah masuk ke dalam jebakannya,” ujar Lucy. Tangannya mengepal dengan kuat. Ia menatap lurus ke depan. “Aku punya sesuatu yang lebih menarik daripada menyeret gadis itu ke sidang kesiswaan.” Lucy kembali berucap. Bola matanya bergerak memberikan tatapan serius pada dua temannya. “Kuharap rencanamu itu akan bisa mengalahkan si gadis Asia. Aku sungguh menginginkan gadis itu untuk lenyap,” ujar Cardi. “Hah!” Lucy terkekeh untuk kesekian kalinya. “Bahkan ini lebih mengerikan daripada sekedar kematian,” ucap gadis itu. Matanya menyipit dengan kepalan tangan yang makin terbentuk. “Dia sudah menghinaku. Seorang Lucy Bennett. Dia juga sudah melukai kedua temanku.” Lucy mengangkat dagunya lambat-lambat. Ia berbicara tanpa melihat teman-temannya. “Dia memang tak sama dari para gadis yang pernah kita bully. Namun, aku Lucy Bennett. Aku selalu tahu cara yang tepat untuk mengalahkan musuh. Tak peduli jika dia sama kuatnya denganku. Mungkin juga kami sama-sama licik, tetapi aku bersumpah akan membuat gadis itu sangat menderita. Dan untuk itu aku perlu bantuan kalian,” ujar Lucy. Kali ini dia kembali menatap teman-temannya. “Kalau begitu katakan rencanamu dengan jelas,” ucap Cardi. Sedangkan Jase memilih untuk diam. Namun, kepalan tangannya sudah mengencang di atas pahanya. Lucy mencondongkan tubuh. “Jadi ….” Perlahan-lahan sudut bibir Cardi naik. Begitu juga dengan raut wajah Jase yang berubah. “Interesting,” gumam Cardi. Sambil menyeringai, Lucy kembali menegakkan badannya. “Shuffle off that Asian-hao,” gumam Lucy. *** Golden Smart School 12.35 pm __________ Sementara itu di kantin sekolah Park Yiseo sedang menikmati makan siangnya bersama para Stronghold. Gadis Asia itu sangat mampu menyesuaikan diri dengan candaan teman-teman Nick. Memang Park Yiseo ini seorang extrovert. Ia mampu melebur dengan suasana dan dengan sangat muda mendapatkan teman-teman. Walaupun ada saja bagian dalam dirinya yang sebenarnya tidak begitu menikmati suasana yang berada di sekelilingnya. Namun, untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru Park Yiseo harus membiasakan bibirnya supaya tetap menyunggingkan senyum. “Oh ya, besok weekend. Kau janji akan jalan denganku, ‘kan?” tanya Nick. “Wow!” Justin menyahut. Ia memandang dua orang di depannya dengan pandangan terkejut yang dibuat-buat. “Kalian sudah di tahap serius ya?” Justin menyikut lengan dua orang pria di sampingnya. Seketika mereka terkekeh bersama. “That’s not your business,” gumam Nick. Ia kembali menatap Park Yiseo. “Kau tidak akan ingkar janji, kan?” Park Yiseo menyeringai. “Kau bisa memegang janji gadis Asia,” ucap Yiseo. Ia kembali menyendok es krim lantas membawanya ke mulut. Sudut bibir Nick naik membentuk seringaian. “Oke,” kata pria itu. “akan kujemput kau. Oh ya, di mana apartemenmu.” “Clarver Rose,” jawab Yiseo santai. “WHAT?!” pekik Justin bersama dua temannya. “Kau tinggal di apartemen mewah itu?” Yiseo hanya memanyunkan bibir lalu mengedikkan kedua bahu. Justin memutar wajahnya, ke kiri dan ke kanan. “Hol* s**t!” gumamnya. “Ternyata kau sangat kaya. Apa ayahmu punya kartel?” Justin menutup ucapannya dengan gelak tawa. Nick bergumam sembari menggelengkan kepalanya. “Jangan pedulikan perkataan mereka,” ucap Nick. Park Yiseo tersenyum. “It’s okay,” katanya. Ia memutar pandangannya pada Nick. “mereka lucu.” Nick tertawa sinis. “Their ugly,” ucapnya. Saat hendak memutar pandangan, manik hitam Park Yiseo tak sengaja menabrak sepasang iris cokelat yang tampaknya sedari tadi tengah memerhatikannya. Mereka mematri tatapan cukup lama. Seolah-olah ingin menyampaikan sesuatu yang tak bisa disampaikan lewat mulut. ‘Aku tahu apa yang kau pikirkan.’ Yiseo membatin sambil terus menatap si pria Choi yang duduk menyendiri di sudut kantin. ‘Padahal kau bisa saja bicara dan mengatakan kalau kau melihat kami, tapi kenapa kau diam, hah? Apa kau sepengecut itu?’ Park Yiseo menggelengkan kepalanya. Ia akhirnya memutuskan kontak mata dengan pria Asia itu dan kembali menyahut ucapan Justin dan teman-temannya. ‘Berhenti memikirkan dia Yong Do. Dan berhenti menatapnya.’ “Sial!” desisan itu mengalun pelan dari bibir Yong Do. _________________
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD