“Apa ada pertanyaan?” tanya seorang guru wanita yang sedari tadi memaparkan materi. “Tak ada lagi?” Sekali lagi dia bertanya dan semua murid terdiam. “Oke, aku anggap kalian semua sudah mengerti. Kalau begitu sekian untuk hari ini.” Ia menatap laptopnya selama beberapa detik lalu kembali membawa atensi penuhnya pada seluruh siswa. “Silahkan cek email masing-masing. Aku baru saja mengirimkan tugas dan aku akan menerima balasan dari kalian dalam dua hari.”
Seketika terdengar gumaman masal dari seluruh siswa. Beberapa orang merasa jengah dengan tugas beruntun yang diberikan para guru dan hampir semuanya menuntut untuk segera diselsaikan.
“Minggu depan kita akan mengunjungi lab. Sampai jumpa minggu depan, semoga hari kalian menyenangkan.” Sang guru menutup kelasnya dengan senyum sumringah di wajah, tetapi tidak berlaku untuk para siswa.
Namun, mereka tetap memberikan hormat untuk sang guru. “Thank you Ms. Steinfeld,” ucap para murid serentak.
Bunyi bel menyertai langkah Ms. Steinfeld meninggalkan ruangan kelas. Sementara para siswa mulai berkemas. Tiga jam lebih berkutat dengan ilmu fisika membuat wajah para siswa tampak suram.
“Mick, ayo ke base camp. Kita perlu latihan sebelum tampil.”
“Ya. Aku juga butuh refreshing sebelum mengerjakan tugas yang mencekik ini,” gerutu salah seorang siswa lelaki. Dia mendesah panjang sampai kedua bahunya merosot.
Sementara itu di sisi lain ruangan ini, terlihat ada tiga orang gadis yang baru saja berdiri dari tempat duduk mereka. Salah satu dari mereka mengedikkan kepala menunjuk tempat duduk Choi Yong Do. Ada seringaian di wajah teman-temannya ketika mereka menangkap maksud dari tatapan si gadis berambut blonde, tampaknya dia yang memegang kendali atas teman-temannya.
Di tempat duduknya, Choi Yong Do tengah disibukkan dengan memasukkan laptop dan sebuah buku catatan. Lantas gerakan tangannya terhenti saat seorang gadis menampar mejanya. Choi Yong Do mendongak. Mendapati ada tiga orang gadis yang sedang mengitari tempat duduknya.
Hanya dalam hitungan detik, seseorang sudah menarik kursi dan menaruhnya di depan meja Choi Yong Do. Dengan begitu gampang si gadis blonde duduk di atas kursi terebut. Gadis itu sengaja memangku kakinya dengan gaya paling menggoda. Dia pikir pria Asia di depannya akan tergoda, tapi Choi Yong Do malah memberikan tatapan kurang menyenangkan.
Terlihat dahi Yong Do terlipat. Menatap tiga orang gadis di sekelilingnya dengan tatapan sinis, lantas ia bersiap untuk berdiri. Namun, gerakannya kembali terhenti saat dua orang teman si gadis blonde berdiri di samping meja Yong Do membuatnya tak bisa bergerak ke mana-mana. Lelaki Asia itu mendelikkan matanya ke atas. Memberikan tatapan membunuh pada dua orang gadis yang baru saja menghadang langkahnya. Rahang Yong Do mengencang. Dia selalu benci berada di situasi seperti ini. Apalagi jika lawannya adalah kawanan gadis. Oh, sial. Sudah cukup satu gadis kurang ngajar saja yang merusuh hidupnya. Itu pun dia hampir frustasi. Jangan sampai dia terlibat kasus serupa dengan gadis lain. Jika iya, maka Choi Yong Do akan memohon pada kedua orang tuanya untuk memasukkan dirinya pada daftar home schooling.
“Minggir,” gumam Choi Yong Do dengan tatapan dan nada sinis.
Si gadis blonde di depannya malah menyeringai. “Easy, Baby.”
Choi Yong Do memutar pandangannya pada si gadis yang baru saja bersuara itu. Kelopak mata lelaki itu mengecil dan manik cokelatnya menikam lewat tatapan matanya yang tajam. Namun, si gadis blonde hanya memberengut. Tampak remeh.
“Lucy,” katanya sembari menjulurkan tangan.
Untuk beberapa saat Choi Yong Do terdiam. Bola matanya turun perlahan. Memandang tangan si gadis blonde yang baru saja mengucapkan namanya itu. Ekspresi Choi Yong Do terlihat seperti seseorang yang sedang meneliti sebuah makanan. Menimbang-nimbang dalam hatinya, apakah ini masih layak dimakan ataukah tidak? Astaga!
Ada banyak pertimbangan di dalam kepala Choi Yong Do saat ini dan semua itu hanya untuk menjabat tangan seseorang. Untuk hal sekecil itu, Choi Yong Do perlu memikirkan sebab dan akibat yang akan dia dapatkan setelah berjabat tangan dengan gadis berambut blonde di depannya.
Ahirnya Choi Yong Do memutuskan untuk mengangkat pandangannya dan kembali menatap wajah si gadis blonde. “Yong Do,” ucap pria itu dengan nada datar.
Sikap yang ditunjukan oleh Choi Yong Do membuat si gadis blonde mendecih halus. Sudut bibirnya terangkat membentuk senyum miring. Seketika Choi Yong Do mengingat di mana dia pernah melihat senyum yang serupa.
Lelaki Choi itu memilih untuk bangkit dari tempat duduknya. “Minggir!” desisnya rendah. Tak mendapatkan respon yang baik, Choi Yong Do pun berdecak kesal. Benar-benar tak ada yang bisa menguntungkan seorang Choi Yong Do saat ia terlibat urusan dengan lawan jenisnya. Seperti sekarang ini. Saat tak menemukan cara lain, lelaki Choi itu akhirnya memilih untuk melakukan tindakan kekeran. Ini demi meloloskan dirinya dari amukan yang lebih parah. Sambil mendengkus, Choi Yong Do melesak di antara kedua gadis itu. Bahkan dia harus menabrak dua orang wanita di depannya.
“Awh!” Keduanya meringis ketika bahu kokoh milik lelaki Choi itu menabrak bahu mereka dengan kasar. Choi Yong Do melesat cepat keluar dari ruangan tersebut.
Sementara Park Yiseo masih berada di dalam ruangan itu. Sebenarnya Dia ingin pergi sedari tadi, tapi beberapa hal membuat gadis Park itu menunda langkahnya. Ada sesuatu yang membuat Park Yiseo penasaran hingga dia memutuskan untuk diam sebentar dan melihat reaksi Choi Yong Do. Dan benar saja. Semuanya sesuai dugaan Park Yiseo.
‘Ternyata memang sociopath, ya? Hemmm …’ Park Yiseo bermonolog di dalam hatinya. Sedetik kemudian ia bergeming. Memutuskan untuk keluar dari rungan itu. Dia perlu mengisi perutnya dengan makanan sebelum jam pelajaran kedua dimulai. Lantas Park Yiseo pun bangkit dari tempat duduknya. Dengan begitu percaya diri gadis Park itu berjalan melintasi dua gadis yang tadinya menghadang jalan Yong Do.
Park Yiseo tak memikirkan apa pun. Dia hanya ingin lewat saja. Namun, saat ia hendak melangkah, tiba-tiba saja Lucy melonjorkan kakinya. Sengaja untuk membuat kaki Park Yiseo tersandung. Gadis Korea itu terlempar ke udara hingga da’danya mendarat kasar di atas meja kotak.
Park Yiseo menggeram. Gadis itu memutar pandangan. Melayangkan tatapan membunuh kepada si gadis yang telah sengaja membuatnya celaka.
“Kau!” pekik Yiseo.
Tak ingin menyerah, dia pun hendak menyerang. Namun, belum sempat itu terjadi Park Yiseo sudah mendapatkan tekanan hebat di bahunya. Tubuh Yiseo terhuyung ke belakang. Tak berhenti sampai di situ, mereka pun membanting tubuh Yiseo hingga mendarat kasar di atas kursi bekas tempat duduk Yong Do.
“What the hell!” geram Yiseo. Napasnya berembus kasar saat ia mendongak. Memberikan tatapan nyalang pada dua orang gadis di belakangnya.
“Hei ….” Suara Lucy terdengar rendah.
Park Yiseo menghela napas. Kedua tangannya telah mengepal di atas paha. Dia memutar pandangannya lambat-lambat. Dilihatnya Lucy menyeringai. Sekarang Park Yiseo tahu apa yang akan mereka lakukan. Oh, ia seperti melihat dirinya di sana. Bukankah ini kebiasaan lamanya saat di Seoul?
‘Hemm … mau merundungku, ya?’ batin Yiseo.
Gadis muda itu menarik napasnya dalam-dalam. Saat dia mengembuskan napas, Park Yiseo pun mengubah raut wajahnya. Memasang tampang kalem. Melilit kedua tangan lalu menumpuhnya di depan ulu hati. Park Yiseo ingin mempertegas jika dia bukan lawan yang sepadan untuk tiga orang ini. Napasnya yang barusan berembus, mengentak dengan kasar. Park Yiseo mendorong punggungnya perlahan hingga menyentuh sandaran kursi.
Kelopak mata Lucy mengecil. Menatap Park Yiseo lekat-lekat. Wajah tirus yang putih. Benar-benar sangat putih. Tanpa cela. Seperti wajah bayi. Tak ada pori-pori di sana. Tak ada t**i lalat seperti kebanyakan gadis negara ini. Ada sesuatu yang membuat Lucy menjadi geram. Di mana dia tidak bisa menemukan satu pun kekurangan dari wajah seorang Park Yiseo. Bibirnya tipis dan dia lihai menggunakan lip tinth. Lucy melihat sebuah ancaman besar dari wajah tanpa ekspresi di depannya.
Sedetik kemudian gadis berambut blonde itu terkekeh. Kekehannya berubah menjadi gelak tawa dan tawanya menggema di dalam ruangan ini. Park Yiseo mengecilkan matanya.
“Kau menyuruhku duduk hanya untuk melihat mulutmu yang menganga dan wajah jelekmu saat tertawa?”
Seketika gelak tawa Lucy terhenti. Wajah Lucy yang awalnya terdongak, perlahan mulai turun. Dia memutar pandangannya lambat-lambat. Seketika raut wajah Lucy berubah drastic. Menjadi sangat dingin. Gadis berambut blonde itu melipat kedua tangannya di depan d**a.
“Apa kau bilang?” desis gadis itu.
“Kau tuli?” balas Park Yiseo. Nadanya terdengar sarkasme. Oh, hallo. Ini Park Yiseo. Dia seorang gadis Park dengan watak angkuh dan sombong. Tidak mungkin dia kalah pada seorang gadis Australi ini.
Lucy tersenyum samar. Matanya mendelik menatap dua orang gadis yang berdiri di belakang kursi Park Yiseo. Ada gestur yang ia kirimkan dan membuat salah seorang gadis di belakang Yiseo menyeringai. Dia menundukkan wajah, lalu meraih topi baret di kepala Yiseo.
Park Yiseo tidak menggubris. Dia diam. Seolah-olah sudah mengira jika semua ini akan terjadi. Bahkan saat rambutnya diacak-acak dengan kasar, dia tetap diam. Park Yiseo tidak marah. Tidak juga berniat menyuruh mereka berhenti. Dia membiarkan dua orang gadis di belakangnya melakukan apa pun yang mereka inginkan.
Semua ini bukan tanpa alasan. Park Yiseo mendelikkan matanya ke atas. Ada dua kamera pengawas di sini. Akan berbahaya kalau dia membalas perbuatan dua gadis di belakangnya.
“Sudah puas?” tanya Yiseo. Dia pun dengan sangat berani mencondongkan wajah. Menaruh satu lengannya di atas meja. Dagunya terangkat memberikan tatapan menantang pada Lucy. “Mau main kroyokan, hah?” Gadis itu terdiam menunggu reaksi Lucy. Namun, ada sesuatu dari tatapan Park Yiseo yang mengintimdasi Lucy. Membuatnya tak bisa berucap dan hanya bisa mengatupkan mulut.
Park Yiseo menyeringai. “Bukan di sini tempatnya.” Lanjutnya.
Lucy menanggapinya dengan kekehan. Namun, secepat kilat raut wajahnya kembali terganti. Dia ikut mencondongkan tubuh. Menaruh wajahnya lima inci di depan wajah Yiseo lalu mendesis dengan nada tajam, “Barbie beast.” Lucy menutup ucapannya dengan seringaian.
Napasnya mengentak dengan kasar. Menyapu kulit wajah Park Yiseo. Gadis itu berdiri. Namun, tak pernah sekali pun ingin melepaskan tatapan matanya dari Yiseo. Gadis Kore Selatan itu juga tak ingin repot-repot menanggapi ekspresi Lucy.
Bukan begini caranya. Seekor ular terbiasa merayap dan menyerang dengan satu kali gerakan mematikan. Tindakannya sistematis. Hingga saat ia menyerang, mangsanya tak bisa lepas.
Untuk saat ini Park Yiseo hanya bisa menyeringai. Berlagak bak seorang pengecut yang tak bisa melakukan apa pun, tapi percayalah Park Yiseo adalah kata lain dari licik dan sadis.
‘Seorang predator tahu waktu yang tepat untuk menyerang. Kau adalah Park Yiseo. Keluarga Park selalu berada di puncak tertinggi dalam rantai makanan. Pemangsa yang paling ditakuti dari segala pemangsa yang pernah ada,’ batinnya menegur.
Tiba-tiba Park Yiseo teringat perkataan ayahnya, ‘Ingat. Jangan buat kasus di hari pertama. Aku tidak akan pernah mentolelir jika kau terlibat kasus di sekolah barumu. Ingat untuk memikirkan semua tindakanmu, Yiseo. Ini bukan di Seoul. Aku tidak bilang agar kau menyerah, tapi kau harus memikirkan semua tindakanmu agar kau tidak berada pada posisi yang disalahkan. Kau bisa mengerti perkataanku?’
Seketika Park Yiseo menyeringai. Ia kembali melelit kedua tangan di depan da’da, lantas mengistirahatkan punggungnya kembali ke sandaran.
“Mau merundungku, hah?” gumamnya. Sudut bibirnya makin naik. Bersamaan dengan dagunya yang ikut bergerak naik. Iris cokelat itu mengecil. Otaknya mulai berputar memikirkan rencana untuk membalas perbuatan Lucy. Ini tidak bisa dibiarkan.
“Heh!” Park Yiseo terkekeh kecil. “Kau salah mengusik seeokor ular. Akan kutunjukan bagaimana cara merundung yang sebenarnya,” gumam Yiseo.
_______________