“Oh my God!”
Tampak seorang wanita berpakaian formal dengan jas putih berlari menghampiri tiga orang yang menunggunya di lobi rumah sakit. Kecemasan telah dirasakan oleh ketiga orang itu ketika melihat wajah Goo Hae Young yang semakin mendekat, semakin terlihat pucat.
“Yong Do ….”
Dan panggilan itu terlalu lirih. Membuat siapa pun yang mendengarnya sanggup menangkap getaran khawatir yang terlalu besar dirasakan oleh Goo Hae Young. Wanita itu menjatuhkan tubuhnya di depan kursi roda tempat putranya duduk.
“Ya Tuhan, apa yang terjadi padamu, Nak?” Goo Hae Young langsung meraih wajah Choi Yong Do. Jantungnya serasa diremas dari dalam sewaktu menatap wajah sang putra. Perban yang menutupi hidungnya dan ada bercak darah di bagian pelipis juga selapis cairan merah yang menutupi pupil mata kanannya.
“Aku tidak apa-apa, Bu.” Choi Yong Do berusaha menutupi semuanya.
Lantas Goo Hae Young memindahkan tatapannya pada si gadis yang berdiri di samping kursi roda. Goo Hae Young belum mengucapkan apa-apa, tetapi Park Yiseo cukup bisa menangkap apa pun yang ada dalam pikiran Goo Hae Young hanya dengan menatap raut wajah wanita itu. Namun, Park Yiseo tidak menjawab apa pun. Selain desahan panjang dan gidikkan bahu.
Mulut Goo Hae Young terbuka, melepaskan desahan panjang. Wanita itu kembali membawa atensinya kepada sang putra.
“Aku tidak apa-apa, Bu. Aku jatuh di toilet sekolah dan wajahku terbentur lantai. Aku dibawa ke unit kesehatan sekolah, tapi kata mereka aku harus dibawa ke rumah sakit. Jadi aku minta tolong Park Yiseo mengantarkan aku,” ujar Choi Yong Do. Pria itu mendongak. “Benarkan, Yiseo?”
Da’da Park Yiseo mengembang saat ia menarik napas, lantas mengembuskannya dengan cepat. Gadis itu bergumam, “Hem.” Sambil memalingkan wajahnya.
Sekali lagi terdengar desahan panjang dari Goo Hae Young. Wanita itu berdiri. “Baiklah. Kalau begitu, biar Ibu lihat kondisimu,” kata Hae Young.
Awalnya Choi Yong Do menggangguk, tapi sedetik kemudian dia pun menarik tangan ibunya. Membuat Goo Hae Young kembali menurunkan tatapan, menatap putranya.
“Bu, aku tidak akan dioperasi, kan?” tanya Yong Do.
Terlihat kening Hae Young mengerucut ke tengah. “Tergantung kondisimu,” kata Hae Young.
Giliran Choi Yong Do yang mengembuskan napas panjang dari mulut. Mendengar ucapan ibunya, membuat Choi Yong Do semakin khawatir. Ya. Tentu saja. Dia tidak paling takut dengan jarum suntik. Sekalipun ibu dan ayahnya dokter, tetapi ia sangat benci dengan rumah sakit. Melihat tatapan ibunya, seperti mengisyratkan kepada Choi Yong Do kalau kondisinya tidak bisa dibilang sepele. Dia juga tak bohong. Sekarang hidungnya berkedut dan mulai terasa nyeri.
Goo Hae Young memindahkan atensinya pada Park Yiseo ketika ia mengambil langkah. Mengitari kursi roda dan berhenti di belakang Choi Yong Do.
“Kau tidak kembali ke sekolah, Yiseo?” tanya Hae Young.
Untuk sekelebat, Park Yiseo terlihat bingung. Tidak biasanya dia seperti ini. Gadis itu selalu impulsif saat menjawab pertanyaan orang lain. Dan pertanyaan Goo Hae Young cukup sederhana. Namun, entah mengapa Park Yiseo harus bertanya lebih dahulu pada lubuk hatinya dan bahkan ia melakukannya sambil menatap Choi Yong Do.
“Yiseo?” panggil Hae Young sekali lagi.
Park Yiseo pun mendongak. “Tidak,” kata gadis itu. Ucapannya membuat Choi Yong Do mendongak. Menatapnya dengan bola mata yang melebar. Sedikit tidak percaya, tetapi dia juga penasaran.
“Aku akan menemani Choi Yong Do. Lagi pula aku sudah minta izin pada Ms. Thania,” ujar Yiseo.
Tampak Goo Hae Young memberengut dan mengedikkan kedua alis. “Baiklah. Kalau begitu kau ikut denganku ke ruang operasi,” ujar Hae Young.
“Apa?!” Choi Yong Do memekik. Dia menoleh. “Kata Ibu aku tidak akan dioperasi,” ucap Yong Do. Seketika jantungnya berdetak cepat.
Goo Hae Young berdecak. “Ibu tidak bilang seperti itu. Kamu yang bilang begitu. Lagi pula tidak mungkin kau kubawa ke ruanganku. Tidak ada alat-alat medis di sana,” ujar Hae Young.
“Tapi, Bu-“
“Ck! Sudah. Lebih lama di sini, lebih lama kau menahan sakit,” kata Hae Young.
Choi Yong Do hanya bisa mendengkus. Mengikuti sang ibu. Sementara Park Yiseo tetap berada di samping Choi Yong Do. Mereka memasuki lift dan berhenti di lantai tiga. Goo Hae Young membawa putranya pada salah satu ruangan.
“Tenang saja, ini bukan ruang bedah,” kata Hae Young. Sepertinya degup jantung dari Choi Yong Do terdengar jelas di rungunya. Pria muda Choi itu menelan salivanya.
Goo Hae Young mendorong kursi roda hingga ke dekat lampu bundar dengan pencahayaan sangat terang. Sehingga Choi Yong Do refleks menutup mata. Tampak kedua tangan Hae Young bergetar sewaktu hendak melepaskan perban yang menutupi hidung putranya. Sejurus kemudian, wanita itu mengerutkan keningnya. Bola matanya turun, menatap sepasang manik cokelat di depannya.
“Kamu tidak jatuh,” ucap Hae Young.
Choi Yong Do menghela napas dan mengembuskannya dengan cepat. “Ibu tidak percaya padaku?”
Goo Hae Young menggeleng. “Hidungmu patah. Pelipis kananmu berdarah dan bagian ujungnya terbuka. Luka di wajahmu tidak menunjukan jika kamu terbentur dengan lantai,” ujar Hae Young.
Wanita itu mengambil langkah. Menghampiri nakas yang terletak di dekat bangsal dalam ruangan itu, lantas Goo Hae Young mengeluarkan sebuah kotak berisi alat-alat medis yang langsung membuat Choi Yong Do membulatkan matanya.
Goo Hae Young meletakan benda itu di atas nakas kemudian mengeluarkan sebuah senter berukuran seperti ruas jari kelingking. Ia mendekat lagi pada Choi Yong Do.
“Angkat dagumu,” kata Hae Young dan Choi Yong Do melakukan sesuai instruksi sang Ibu. Terdengar decakan dari bibir Hae Young.
“Apa mereka memberimu obat?” tanya Hae Young.
“Aspirin,” jawab Park Yiseo. Goo Hae Young menoleh sekilas pada gadis yang berdiri di belakangnya, lantas ia kembali menatap putranya.
“Pasti sakit,” kata Hae Young.
“Tidak,” sangkal Yong Do.
Goo Hae Young kembali menegakkan badannya. Menaruh senter di kembali pada tempatnya, lantas mendesah panjang. Wanita itu melipat kedua tangan di depan da’da dan kembali menatap putranya.
“Kamu berkelahi, kan?”
Choi Yong Do menggeleng. “Tidak. Aku jatuh,” kata Yong Do.
“Choi Yong Do, kau tahu profesiku dan apakah aku bisa dibohongi? Lukamu hanya berada di bagian kanan wajah. Itu artinya seseorang memukulmu berulang kali di bagian itu sehingga tulang hidungmu bengkok ke kiri. Kamu harus dioperasi dan Ibu mau kau melakukannya hari ini. Jika kau pasienku, aku akan menganjurkan terapi, tetapi kau anakku. Terapi bisa saja dilakukan, tetapi kau harus istirahat total sementara kamu sedang mengikuti ujian di sekolah. Jika hidungmu tidak mendapat perawatan dengan cepat dan tepat, maka kamu akan merasakan sakit jangka panjang dan aku tahu apa yang akan terjadi saat efek samping aspirin mulai berkurang. Besok kau tidak ke sekolah.”
Choi Yong Do langsung memajukan tubuhnya. “Mom,” panggilnya.
“Tidak!” Goo Hae Young mengacungkan telunjuknya. Sambil mendengkus, wanita itu memutar tubuhnya. Menghadap Park Yiseo.
“Honey, kau harus menceritakan semuanya padaku. Aku suka jika kalian berteman dan aku berterima kasih untuk itu, tetapi aku ingin tahu setiap detail kejadiannya. Aku tidak ingin cepat berasumsi, tetapi aku percaya kau akan menceritakan semuanya dengan jujur padaku,” ujar Hae Young.
Sejenak, Park Yiseo terdiam. Bola matanya bergerak, menatap Choi Yong Do dan pria itu menggelengkan kepala.
“Tidak boleh sekongkol,” kata Hae Young.
Park Yiseo pun mendesah. “Baiklah,” kata gadis itu.
Dengan wajah tegas, Goo Hae Young mengangguk. “Bagus,” ucap Hae Young. Dia kembali memutar tubuh. “Sekarang kau ikut aku,” kata Hae Young.
“Kita mau ke mana lagi? Ibu janji kalau aku tidak akan dioperasi,” kata Yong Do. Wajahnya terlihat memelas.
“Kau harus dioperasi. Hidungmu patah. Kau akan kesulitan bernapas.” Hae Young mendesah. Wanita itu menghadapkan tubuhnya pada Choi Yong Do. Terlihat wajah wanita itu berubah. Desahan panjangnya kembali terdengar. Goo Hae Young mengangkat tangannya.
“Kamu lihat ini?” tanya Hae Young sambil memperlihatkan kedua tangannya yang bergetar. “Ibu sangat takut, Yong Do. Kamu pikir ….” Goo Hae Young tidak meneruskan ucapannya. Wanita itu membuang pandangannya ke samping dan kembali melepaskan desahan berat dari mulut. Sejurus kemudian wanita itu menaruh kedua tangannya pada armrest di kursi roda yang tengah diduduki oleh putranya. Goo Hae Young kembali memandang Choi Yong Do.
“Apa mereka melukaimu? Mengapa?”
Buliran bening yang menutupi bola mata Goo Hae Young, mengisyaratkan perasaan emosional yang berusaha ditahannya. Terlebih, cara wanita itu mengulum bibir kuat-kuat. Choi Yong Do tahu persis perasaan ibunya. Sehingga pria itu menundukkan kepalanya.
“Aku tidak apa-apa,” gumam Yong Do. “sungguh. Aku baik-baik saja. Ini hanya salah paham. Aku tidak berkelahi,” ujar Yong Do.
Kembali terdengar desahan, tetapi kali ini tidak datang dari Goo Hae Young, melainkan dari Park Yiseo yang masih berdiri di belakang Yong Do. Gadis itu mendelikkan matanya ke atas lalu melilit kedua tangan di depan da’da.
Terjadi keheningan yang panjang. Choi Yong Do tidak ingin menceritakan apa yang telah menimpanya dan Goo Hae Young memilih untuk menatap kepala putranya yang tertunduk. Sedetik kemudian mulut Hae Young terbuka. Untuk kesekian kalinya melepaskan desahan kasar. Wanita itu meraih tengkuk Choi Yong Do. Mendorongnya lalu menempelkan bibirnya pada puncak kepala Choi Yong Do. Goo Hae Young mencium kepala Yong Do dan dia tidak bisa menahan buliran air mata.
“Bu, jangan menangis. Aku tidak suka Ibu menangis,” ucap Yong Do. Pria itu menarik wajahnya. Memaksa sang ibu melepaskan genggaman tangannya dari tengkuk Yiseo.
Goo Hae Young menyeka air matanya dengan cepat. Wanita itu kembali menatap Choi Yong Do. Goo Hae Young berusaha untuk menarik sudut bibirnya dan membentuk senyum di wajah sendunya. Sejurus kemudian, wanita itu merasa sentuhan pada pangkal pundak yang membuatnya memutar tubuh. Dilihat Hae Young ada senyum yang menghiasi wajah si gadis Asia yang pernah berseteru dengan putranya.
“Jangan khawatir, dia akan baik-baik saja. Kami bisa mengatasi semua ini. Jangan khawatir, Eomma.”
Mulut Hae Young terbuka. Melepaskan tawa, tetapi matanya malah menitikan air bening. Wanita itu meraih tubuh Park Yiseo, lantas memeluknya.
“Aku akan menjaganya, Eomma. Tak akan kubiarkan mereka menyakiti Yong Do,” ujar Yiseo. “ini janjiku. Janji seorang teman.”
Mata Yong Do dan ibunya melebar. Goo Hae Young menarik tubuhnya. Wajahnya terlihat sedikit terkejut. Memandang Yiseo dengan mata membulat.
“Ka- kau bilang apa?”
Park Yiseo tersenyum dan berucap, “Young Do is my friend. One and only,” katanya. Kemudian gadis itu menatap Choi Yong Do. “Benarkan?”
Choi Yong Do mengangguk. “Hem,” gumamnya. Namun, ada sesuatu yang membuat hati Yong Do bergetar. Mendengar kata teman dan ini sudah didengarnya oleh dua orang. Sekarang dia punya dua teman. Rasanya seperti menerima dunia, Choi Yong Do tak pernah bermimpi jika dia bisa berteman lagi dengan seseorang yang nyata. Bukan teman virtual. Namun, teman yang benar-benar teman.
_____________