55. I'm So Glad to Know You

2242 Words
Melbourne – Australia Dua hari kemudian. ** Claver Rose Luxury Apartment. 07.22 am ________ Suara bel pintu menggema di dalam unit 09 tempat di mana Choi Yong Do tinggal. Sementara terdengar desahan kasar mengalun, berbalas-balasan dari tiga orang yang berada dalam ruangan tersebut. Seorang pria muda menggerakkan wajahnya sedikit ke samping. Melewati bahu sang ibu. Sekilas menatap pintu rumahnya, lantas kembali membawa pandangannya kepada ibunya. “Itu pasti Yiseo, kami harus segera ke sekolah,” ucap Choi Yong Do. Lipatan di dahi Goo Hae Young masih ia pertahankan. Bersamaan dengan kedua lengan yang sejak tadi terlipat di depan da’da. Sementara Choi Hye Min tak bisa mengatakan apa-apa. Lelaki itu hanya berkacak pinggang. Sangat dilema sewaktu putranya terus menatapnya. Seakan-akan meminta bantuan, tapi Hye Min tak bisa memenuhi permintaan putranya. “Ibumu benar, Nak.” Mulut Choi Young Do terbuka. Membiarkan desahan panjang mengalun keluar dan lelaki itu mendelikkan matanya ke atas sambil melayangkan kedua tangan ke udara. “Mom, Dad, ayolah. Lagi pula kalian juga harus ke sekolah, kan?” Choi Yong Do mendengkus. Dahinya mengerut dan keningnya melengkung ke tengah, sementara rahangnya mengencang. Sudah pasti pria muda Choi itu sedang bersikeras untuk meredam amarahnya. Oke, sekarang dia kesal. Tidak mendapatkan jawaban dari kedua orang tuanya, membuat Choi Yong Do kembali berdecak kesal. Pria itu memalingkan wajah dengan kasar. “Setidaknya bukakan pintu untuknya. Demi Tuhan!” Choi Yong Do berucap tanpa menatap kedua orang tuanya. Pria itu menaruh kedua tangan di pinggang. Seketika menjadi sangat gelisah. Goo Hae Young menggerakkan wajahnya. Menoleh pada sang suami, tepat saat Choi Hye Min mengangkat pandangannya. Wanita itu memberikan gestur lewat gerakan kepala, menunjuk pintu dan suaminya mengangguk. Choi Hye Min melesat menuju pintu setelah kembali terdengar bunyi bel. Tampak seorang gadis muda berdiri di depan pintu. Bola mata bulat dengan manik hitam itu terlihat terkejut saat memandang sosok lelaki berwibawa di depannya. “Oh, hai, Tuan Choi,” sapa Park Yiseo. Begitu ramah dengan bahasa Korea Selatan yang santun lengkap dengan membungkukkan badannya. Choi Hye Min tersenyum. Kakinya bergerak menghampiri gadis muda di depannya. Choi Hye Min meraih pundak Park Yiseo dengan tangannya, kemudian memberikan tepukan sebanyak dua kali. Menandakan jika Park Yiseo sudah bisa menegakkan tubuhnya kembali. Senyum di wajah cantiknya masih ia pertahankan. Namun, tatapannya terarah pada pria yang berdiri memunggungi mereka. Seketika Park Yiseo mengerutkan kening. Ia kembali memandang Choi Hye Min. “Mengapa dia masih di sana?” tanya Yiseo. Telunjuknya agak ragu menunjuk Choi Yong Do. Terlebih raut wajah Choi Hye Min yang terlalu kentara memperlihatkan tekanan emosional yang sedang ia alami. Kening Yiseo semakin melengkung ke tengah. “Maaf jika aku lancang, Tuan Choi, apakah ada masalah?” Park Yiseo memberanikan dirinya untuk bertanya. Choi Hye Min tidak langsung menjawab. Lelaki itu memilih untuk mendesah. Sekilas menunduk lalu menoleh ke belakang dan kembali menatap Park Yiseo. Tampak sudut bibir Choi Hye Min naik, membentuk senyum di wajah. “Choi Yong Do baru dioperasi kemarin. Aku dan ibunya Yong Do menginginkan supaya dia tetap di rumah hari ini,” ujar Hye Min. Ada gerakan kecil di wajah Yiseo saat matanya menyipit dan memandang Hye Min dengan pandangan menyelidik. “Tapi kami sedang ujian. Kemarin Ms. Thania mengizinkan untuk libur dan kami akan telah membuat kesepakatan untuk melakukan ujian susulan hari ini,” jelas Yiseo. Choi Hye Min kembali menghela napas lalu mengembuskannya dengan cepat. “Ya, tapi kami tetap tidak mengizinkan Choi Yong Do sekolah hari ini. Kurasa dia masih butuh istirahat,” kata Hye Min. Untuk sekejap Park Yiseo terdiam. Namun, sejurus kemudian gadis itu menyeringai. Bukannya ia sedang merencanakan sesuatu yang licik, tetapi seringaian di wajah Yiseo memang telah menjadi ciri khasnya. Senyum miringnya menandakan jika ia mencurigai sesuatu dan sebagian besar instingnya tak pernah membohongi Yiseo. “You want to hide him, don’t you?” tanya Yiseo. Matanya tak henti menyelidik. Choi Hye Min memanyunkan bibir lalu mengedikkan kedua bahu. “Semua orang tua akan melindungi anaknya,” jawab Hye Min. Park Yiseo tergelak. “Tapi kalian tidak perlu menyembunyikan Yong Do. Sudah kukatakan jika akulah yang bersalah. Aku yang memberikan pukulan telak di wajah Nick. Di sini, akulah yang sebenarnya takut ke sekolah. But look at me,” kata Yiseo. Membuka tangannya sambil menunjukan keberanian. Gadis itu mengangkat dagu. Arogansinya menuntun untuk diperlihatkan. Park Yiseo menggelengkan kepala kemudian berucap, “Aku tidak takut. Bahkan walaupun aku tahu konsekuensi yang akan kudapat setelah aku memukul wajah Nicholas. Aku bangga pada diriku,” kata Yiseo. Sengaja melantangkan intonasi supaya wanita yang berdiri sambil memeluk da’danya bisa mendengar keberanian dari seorang Park Yiseo. “Nicholas pantas dihajar karena dia melakukan rasis. Dia juga menghajar Choi Yong Do tanpa alasan dan itu menyebabkan hidung Yong Do patah. Dia mendorong Peter dan membuat lengan pria itu tak bisa digerakan. Semalam Peter sendiri yang menghubungiku dan dia bersedia memberikan keterangan. Peter juga punya video yang akan memperkuat jika Nicholas-lah yang bersalah.” “Tapi kau tahu siapa Nicholas, bukan?” “Ya! Lalu?” tantang Yiseo tanpa ragu. “Ada jutaan high school di Melbourne, apakah aku harus takut dikeluarkan dari Golden Smart? Sekolah itu tak begitu istimewa haruskah ku pertahankan jika terjadi rasisme di sana?” Ada sesuatu dalam ucapan si gadis Park di depan Choi Hye Min yang membuat pria itu bungkam. Bahkan kemampuan yang dimiliki Choi Hye Min bisa menerawang keberanian yang benar-benar meluap dari dalam diri Park Yiseo. Suaranya tegas dan lantang. Tak ada keragu-raguan di sana. “Tapi, apakah Kedubes Park akan membiarkan putrinya melakukan hal seperti ini?” Park Yiseo mendecih sinis. Sudut bibirnya kembali naik. Gadis itu menelengkan wajahnya ke samping. Tatapan arogan itu, tatapan yang seakan-akan tidak takut pada apa pun. Menyala dengan kobaran api keberanian. “Percayalah, Tuan Choi, ayahku bahkan akan bangga padaku saat tahu aku melakukan hal ini untuk memperjuangkan rasku sebagai orang Asia. Dan ya-“ Bibir Yiseo memberengut sewaktu ia mendelikkan mata. “-ini sudah biasa untuk mereka.” Lanjut Yiseo. Menutup ucapannya dengan senyum dingin. Gadis itu mengambil langkah, membuat Choi Hye Min menoleh ke bawah sewaktu mendengar entakan sepatu boots-nya. Dengan percaya diri Park Yiseo melilitkan kedua tangan di depan da’da dan mengangkat dagunya lebih tinggi. “Tuan Choi, remaja adalah kaum paling rentan. Kami rapuh, tetapi tidak banyak yang tahu jika kami memiliki jiwa bagai singa. Meraung, mencakar, menerkam dan menghabisi.” Mata Choi Hye Min membulat. Mendongak. Kembali menatap Park Yiseo dan tanpa sadar lelaki itu mulai mengambil langkah mundur. Memberikan ruang bagi Park Yiseo untuk masuk ke dalam apartemen milik putranya. “Kami lebih kuat sehingga orang-orang seringkali mempersalahkan para remaja untuk hal kecil. Menyebutnya sebagai kenakalan remaja. Padahal, tahukah kalian? Andai di luar sana kami diberikan ruang untuk benar-benar menjadi diri kami, bebas dan tidak terikat aturan, maka kami akan lebih berani dari apa yang dilihat banyak orang.” Choi Hye Min mengernyit. “Apa kau sedang mencoba memakai idiom atau metafora?” Park Yiseo menyengir semakin lebar. “Tidak,” jawab gadis itu dengan santai, tetapi tidak dengan tatapannya yang mengintimidasi. “I’m telling the truth.” Lanjutnya. TAK Langkah kaki Yiseo terhenti. Begitu juga dengan Choi Hye Min. Pria itu masih memandang gadis di depannya, sementara sang gadis menggerakkan bola mata memandang punggung Choi Yong Do. Seakan-akan mendapat komando, Choi Yong Do memutar tubuh. Ia memandang Park Yiseo, lalu memandang ibunya. Park Yiseo kembali membawa atensi penuhnya kepada Choi Yong Do. Namun, ada sesuatu yang sebenarnya menjadi atensi Goo Hae Young sejak tadi, tetapi wanita itu masih tidak ingin menggubris. Berusaha mengabaikan kehadiran Park Yiseo dan berdiri mematung dengan raut wajah tanpa ekspresi. “Seekor burung kecil yang terus berada dalam kendang, tak dapat lari dari incaran elang yang tiba-tiba menyerang kandangnya. Mencabik kerangka kecil yang telah menjadi rumah ternyamannya. Karena panik, anak burung tak bisa berpikir cerdas dan akhirnya membiarkan dirinya dimakan elang. Namun, seekor anak ayam yang tumbuh di peternakan, tahu caranya mempertahankan hidup. Dia yang terbiasa mencari makan sendiri, tidak ada kawanan. Dia telah terbiasa lari dari incaran tikus. Dan untuk seukuran elang yang hanya bisa terbang di atasnya, anak ayam bisa mengelabui sang elang. Cerdik dan licik. Mungkin anak ayam tak bisa mengalahkan seekor elang pemangsa, tetapi setidaknya dia selamat dari incaran predator.” Park Yiseo mengakhiri metaforanya dengan seringaian. Memberikan tatapan penuh arti pada Choi Hye Min sebelum dia kembali mengambil langkah. Gadis itu berhenti tepat di belakang tubuh Goo Hae Young. “Setiap manusia harus punya caranya untuk bisa melindungi diri sendiri dari setiap serangan. Karena tak selamanya kita berada di dalam perlindungan orang tua. Dan ….” Ada jeda dalam ucapan Park Yiseo sewaktu ia mengambil langkah menghampiri Choi Yong Do. Gadis itu berdiri tepat di depan Choi Yong Do, tetapi ia memutar tubuhnya menghadap Goo Hae Young. “Satu-satunya cara untuk melindungi diri sendiri adalah dengan melawan bahaya itu sendiri. Seperti trauma yang hanya bisa diobati dengan menggali lebih banyak tentang trauma itu. Tak ada yang tahu bagaimana rasanya terbakar, sebelum seseorang benar-benar melewati api itu sendiri.” Secara naluriah kedua tangan remaja itu bergerak. Choi Hye Min menyaksikan sendiri bagaimana kedua remaja itu menggenggam tangan satu sama lain dengan sangat erat. Dan entah bagaimana, ada sesuatu yang membuat hati Hye Min seperti tergugah. Sebagian dirinya ingin bangga, tetapi sebagian lagi tak percaya. “We’re all stronger than we know. Jika kita bisa melawan, untuk apa sembunyi? Apakah dengan sembunyi masalah akan selesai?” Tak ada satu pun dari dua orang dewasa itu yang sanggup menjawab pertanyaan yang terdengar sederhana itu. Namun, sebenarnya jauh di lubuk hati terdalam, Goo Hae Young dan Choi Hye Min menjadi sangat malu. Oh ya, Tuhan. Bagaimana seorang gadis remaja mengajari mereka dengan perkataan yang begitu lantang dan berani? Seharusnya Choi Hye Min dan Goo Hae Young-lah yang mengatakan hal itu kepada putra mereka. Ya. Seakan membuka sebuah tabir yang selama ini menutupi akal budi kedua orang tua Choi Yong Do. Seketika mereka menyadari bagaimana dengan bodohnya mereka mengurung sang anak selama sepuluh tahun lebih. Ketimbang mengajarkan cara untuk bertahan hidup. ‘Bu, Park Yiseo sangat keren. Peter bahkan terkagum-kagum padanya.’ ‘Oh ya?’ ‘Hem. Aku mendengar sesuatu, tetapi aku tidak bisa melihatnya saat itu, tapi aku tahu kalau Park Yiseo memang seseorang yang berani dan dia tidak takut pada apa pun. Dia pernah memukul tiga orang gadis yang merundungnya di sekolah. Sampai sekarang Lucy tidak pernah mengganggunya.’ ‘Oh ya?’ ‘Ya.’ ‘My God! Sounds great! Dia benar-benar kuat.’ ‘Aku melihat tangan kecilnya menangkis pukulan Nicholas, tetapi selanjutnya aku tidak sadarkan diri. Namun, aku mendengar suara bogem mentah lalu teriakan Nicholas.’ ‘Wow! Is Park Yiseo a wonder woman?’ ‘She’s more than just a wonder woman. The girl who have powerful. Dan dia tidak takut pada apa pun. I’m so glad to know her.’ Tubuh Hae Young berputar. Semilir angin seperti mendorongnya dari tengkuk, membuat Goo Hae Young mengambil langkah menghampiri dua remaja di depannya. Tatapan wanita itu terlihat bak seekor ayam yang tengah memantau itik di sekitar kandangnya. Namun, sang itik memiliki tatapan tak kalah mengintimidasi. Untuk sekelebat, dua wanita itu terlibat saling tatap. Seketika membuat jantung Choi Yong Do dan ayahnya berdetak penuh kewaspadaan. Dilihat Yong Do bagaimana sengitnya adu tatap di depannya. Membuat Yong Do terlalu bingung menatap Yiseo dan ibunya bergantian. Tampak satu tangan Hae Young mulai bergerak. Seketika membuat Choi Yong Do membuat asumsi di dalam otak kecilnya. “M- Mom …,” panggil Yong Do. Pria itu menggelengkan kepala. Melihat sang ibu mengayunkan tangan dan prediksi Yong Do, telapak tangan itu akan mendarat di bibir Yiseo. Oh, demi Tuhan. Ia tak pernah melihat ekspresi seperti ini dari ibunya. Detik seperti melambat, tak sebanding dengan degup jantungnya yang terasa berjumpalitan. Menggedor dengan tekanan hebat dan membuat wajahnya membesar bagai balon. “Mom!” teriak Yong Do. Tangannya terangkat, tetapi tertahan di udara saat melihat di mana telapak tangan ibunya mendarat. Sejurus kemudian, pria itu memutar tatapannya pada sang ibu. Sekarang Choi Yong Do melihat senyuman di wajah Hae Yong. Wanita itu menepuk-nepuk pangkal pundak Yiseo. “I’m so glad to know you,” ucap Hae Young. Park Yiseo pun tersenyum. “Tak akan kubiarkan mereka menyakiti temanku,” kata Yiseo. Gadis itu menoleh ke samping. Da’da Yong Do masih terasa nyeri. Efek samping menahan rasa takut semenit yang lalu. Pria itu menatap Park Yiseo dengan kening mengerut. “Karena dia satu-satunya temanku yang berharga.” Ucapan dari Park Yiseo seperti meniupkan nyawa Choi Yong Do. Membuat pria itu mengembuskan napas panjang dengan wajah sumringah. Kali ini jantungnya yang bergetar cepat itu, terasa menyenangkan. Tidak takut, tetapi sebuah perasaan melebihi kata bahagia. Goo Hae Young dan Choi Hye Min menitikan air mata. Untuk pertama kali dalam hidup seorang Choi Yong Do ia mendapatkan pengakuan itu. Pengakuan yang pernah menjadi impian masa kecilnya. Terlalu sederhana untuk seorang pria kecil Asia yang menginginkan sebuah lingkungan yang bisa menerima dirinya apa adanya. Kata ‘temanku’ saja sudah sangat berarti, tetapi Park Yiseo menutupnya dengan kata ‘berharga’ “Thank God.” Tak ada kalimat yang bisa menggambarkan bagaimana perasaan Goo Hae Young dan Choi Hye Min saat ini. Dua kalimat di atas, adalah ucapan syukur mereka karena si bungsu dari keluarga Choi telah mendapatkan teman yang selama ini diimpi-impikannya. Wanita itu merasa jika Park Yiseo adalah kado yang dikirimkan Tuhan khusus untuk putra mereka dan Goo Hae Young pun berharap supaya gadis itu benar-benar tulus ingin menjadi sahabat bagi putranya. Sebab Goo Hae Young berpikir jika Park Yiseo mampu memberikan pengaruh yang baik untuk Choi Yong Do. ________________
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD