39. Don't Let Anyone Dictate Yourself

1677 Words
“Hai.” Seketika langkah Choi Yong Do terhenti saat mendengar suara seorang gadis yang begitu familier di telinganya. ‘Oh, s**t!’ Pria itu mengumpat dalam hati. Semilir angin bertiup ke tengkuknya. Dengan cepat mengantar aroma white musk yang tajam, padu padan dengan wangi rose wine yang membabukan. Sekejap, pikiran Choi Yong Do teralihkan oleh parfum yang dipakai sang gadis. Namun, secepat kilat ia menggoyangkan kepala untuk mengembalikan kesadaran. “Hai,” sapa Yong Do dengan senyum sumringah. Gadis bertubuh jangkung dengan rambut pirang bergelombang di depannya malah mengernyit. Matanya menyipit. Menatap Choi Yong Do dengan pandangan menyelidik. “What the hell are you doing here,” ucap gadis itu. “What am I doing?” tanya Yong Do. Seketika jantungnya berdegup kencang, membuat bicaranya jadi gagap. “A- a- aku … ak- ak.” Mulut Choi Yong Do megap-megap dan ia semakin gugup oleh karena tatapan sang gadis yang makin mengintimidasinya. “Hey, Dude!” Seorang pria menepuk pundak Choi Yong Do. Membuat pria Asia itu mendesah kasar, tetapi dalam hati ia berteriak. Berterima kasih pada seseorang yang baru saja menyelamatkannya. Lelaki yang tengah merangkul tubuh Choi Yong Do dari samping itu tampak mengerutkan dahi saat melihat gadis di depannya. “Lucy?” Si gadis yang namanya baru saja disebutkan mendesah kasar. Dia mendelikkan matanya ke atas. “Hai, Pete.” Seketika wajah Lucy berubah masam. Peter tertawa ringan. Ia menepuk-nepuk bahu Choi Yong Do, membuat pria itu bisa bernapas lega. Sambil mengangguk-anggukan kepalanya, Choi Yong mengarahkan telunjuknya pada pria di samping. “I came with him,” ucap Yong Do. Kali ini ada sedikit keberanian ketika ia mengucapkan kalimat barusan. “Wow!” Lucy tergelak. “Ini pertama kalinya kulihat kau bicara, tapi bukan itu yang membuatku terkejut. Well, an antisocial boy, came in to the frat party,” ucap Lucy. Gadis itu sengaja menekan setiap kalimat yang dia ucapkan. Sambil bersedekap, ia memandang Choi Yong Do dengan tatapan penuh penilaian. Disertai seringaian tajam. “Sounds ridiculous.” Lanjut Lucy. Choi Yong Do tidak ingin repot-repot menyangkal ucapan Lucy, karena kenyataan itu memang benar. Namun, pria yang berdiri di samping Choi Yong Do itu terkekeh sinis mendengar ucapan Lucy. “Satu-satunya yang konyol dari semua ini adalah sudut pandangmu, Luz,” protes Peter. Lucy mengernyit. Mengalihkan tatapan sinis pada Peter. “What?” gumamnya. Sambil menghela napasnya, Peter menarik satu tangannya dari atas pundak Yong Do. Dengan sikap tenang namun tatapan penuh intimidasi, Peter menaruh kedua tangan ke dalam saku celana. Ia tak mau mengedipkan mata dan fokus menatap manik mata Lucy. “Ada apa dengan Choi Yong Do yang berada di frat, apakah dia bukan manusia sehingga kau menyebutnya konyol?” tanya Pete. Membuat Lucy tergelak. Gadis itu menggelengkan kepala, lantas memalingkan wajahnya. Seakan-akan sangat tidak ingin menatap Peter. “Dan satu lagi manusia sampah,” gumam Lucy. “Kau tahu, Yong Do-” Seketika mata Yong Do melebar sewaktu Peter menyebutkan namanya. Pria Asia itu langsung memutar pandangannya pada Peter. Dilihat Yong Do, bagaimana mata Peter menyipit. Mempertajam pandangannya. Sehingga pria Asia itu kembali memusatkan atensinya pada Lucy. “Dunia ini akan menjadi begitu sempit saat kau berurusan dengan Lucy Bennett,” ucap Peter. Pria itu memutar wajah. Menghadap Yong Do. Di saat bersamaan, Choi Yong Do juga menatapnya. “You don’t have to listen what her said. You’re not ridiculous. You just you. Don’t let anyone dictate yourself.” Lanjut Peter, lantas memberikan tatapan sinis lewat sudut matannya. Kepada gadis berambut pirang jangkung di sampingnya. “Come on,” ucap Peter. Menarik pundak Choi Yong Do dan membawanya pergi dari hadapan Lucy. Lucy mendecih sinis sembari menggoyangkan kepala. “Dumbass,” gumamnya. Untuk beberapa saat, Choi Yong Do terdiam. Otaknya sibuk mengingat ucapan Peter barusan. ‘Jangan biarkan orang lain mendikte kehidupanmu.’ Sebuah ungkapan yang terdengar sepele, tetapi percayalah ucapan Peter seperti menghajar satu sisi dalam diri Yong Do. Satu sisi yang selama ini selalu membiarkan orang lain mendikte kehidupannya dan entah mengapa Choi Yong Do baru menyadarinya sekarang. Sepuluh tahun lebih mengurung diri. Hanya karena ucapan beberapa orang yang tak menyukainya. Ucapan yang mengintimidasi dan terlalu melukai hatinya, sehingga Choi Yong Do membiarkan ucapan mereka menjadi mimpi buruk dan membuatnya menjauhkan diri dari lingkungan sekitar. Tanpa sadar, dia sendiri menghukum dirinya atas kejahatan yang tidak dia lakukan. “You okay?” tanya Peter. Choi Yong Do bergeming. “Y-ya,” gumamnya. Langkah peter terhenti. Kedua lelaki remaja itu berdiri di antara kerumunan banyak orang. Tampak Peter tersenyum menatap Choi Yong Do. Pria itu kembali menepuk pangkal bahu Yong Do. “Bung, aku memang memperhatikan jika kau penyendiri, tetapi itu tidak berarti kau seorang antisosial. Well, bahkan jika itu benar lalu kenapa? Semua orang punya hak untuk diri mereka sendiri, tetapi jika kau menyendiri hanya untuk menghindari ocehan orang lain, akan lebih baik kau menyangkal mereka. Your life is your rules. Persetan dengan semua orang yang punya sudut pandang berbeda dengan kita. Sekali lagi, kau hanya akan membuang waktumu mendengarkan apa yang mereka katakan. Now, listen to me. Yang perlu kau lakukan adalah menjadi dirimu sendiri. Well, aku memang tidak mengenalmu dengan baik dan kita baru berbincang malam ini, tapi aku melihat kau sangat terintimidasi dengan ucapan Lucy. Benar, kan?” Untuk beberapa alasan, Choi Yong Do lebih memilih untuk diam. Sebenarnya, tadi dia bukan terintimidasi karena takut pada Lucy. Ya. Memang Choi Yong Do kaget dan takut dalam artian dia tidak ingin Lucy menyadari sesuatu. Choi Yong Do tidak mau kalau Lucy tahu jika sejak tadi dia menguping, tetapi untuk takut pada omongan orang lain? Jawabannya adalah, ya. Dalam artian, Choi Yong Do memang gampang terdikte ucapan orang lain. Itulah yang membuatnya menjadi antisosial. “Dude, listen up. Aku paling tidak suka pada orang-orang yang selalu menghakimi orang lain hanya karena orang tersebut berbeda dari cara mereka bergaul. Atau cara mereka berpikir dan cara mereka berpakaian, or whatever!” Peter menggerakan kedua tangan. Mengacak-acak udara. “Dude, I swear. Life too short. Jika kau membiarkan dirimu terus dikungkung oleh omong kosong orang lain, maka mereka akan selalu menang dan kau akan selalu dalam posisi pecundang. So, you must shake it off!” Peter kembali menggerakkan tangannya. Seakan-akan sedang mengusir sesuatu. Lantas pria itu lanjut menggerakkan tangan pada sudut da’da, seolah-olah sedang mengebaskan debu. Perlahan-lahan sudut bibir Yong Do mulai berkedut. Naik dan membentuk senyuman. “You right,” gumam Yong Do. Ia mulai mengarahkan tatapannya pada Peter setelah beberapa detik yang panjang terjebak lamunan. “Yeah!” Peter mengedikkan kepala sambil mendorong kepalan tangan, meninju udara. “Life is too short and better up to enjoy it.” “Exactly!” Peter mengangguk sambil menunjuk wajah Yong Do. Pria itu memberikan tepukan sebanyak dua kali pada bahu Choi Yong Do lalu kembali berucap, “nikmati, hadapi dan lalui.” Lanjut Peter. Untuk pertama kali dalam hidup seorang Choi Yong Do, dia mendengarkan sebuah kalimat yang akhirnya membuka pikirannya. ‘Ya. Peter benar. Selama ini aku telah menjadi pecundang hanya karena omong kosong orang lain. Peter benar. Aku tidak seharusnya mendengarkan ucapan anak-anak itu sepuluh tahun yang lalu. Mungkin, itulah yang mereka mau. Menjauhkan aku dari ruang lingkup sosial karena aku berbeda dan mungkin karena aku lebih baik dari mereka. Now, that’s enough.’ Choi Yong Do membatin sambil menatap Peter. “You right, Pete,” ucap Yong Do. Sekali lagi Peter mengangguk tegas. Ia kembali merangkul tubuh Choi Yong Do dari samping. “Now, let yourself feel like a teenager. Sorry-“ Pete memejamkan mata sambil menggelengkan kepala. “I mean, you are a teenager,” koreksi pria itu. “namun, anggap saja ini kali pertamamu menjadi remaja sungguhan.” Lanjutnya. Untuk beberapa saat Choi Yong Do terdiam. Matanya bergerak. Mengitari seisi ruangan. Memandang rupa-rupa remaja yang berada dalam ruangan ini. “Yeah …,” gumam Yong Do. “they looks like … free,” ucap Yong Do. Ia kembali memandang Peter. Tampak pria itu memberengut sambil mengedikkan kedua bahu. “We are Australian teenager and of course we are free,” ucap Peter antusias. Semakin lama semakin Choi Yong Do merasakan ada sesuatu yang mendorong adrenalinnya dari dalam. Membuat jantungnya menggedor-gedor dengan perasaan antusias. “Yeah,” gumam Yong Do sekali lagi. Makin lama, senyum di wajahnya makin melebar. Namun, saat bola matanya tak sengaja bertabrakan dengan sepasang manik hitam milik seorang gadis, tiba-tiba saja senyum di wajah Yong Do mulai memudar. ‘Well, sepertinya kita tak perlu menunggu hingga pentas sekolah selesai.’ ‘It’s perfect time to shake the b***h from Asia.’ “Yong Do.” Suara Peter kembali menarik Choi Yong Do pada kenyataan dan ia mengerjapkan matanya. “What’s wrong?” tanya Peter. Ada desahan kasar yang keluar dari mulut Yong Do sewaktu alam bawah sadar menegurnya dan memberitahu hal penting apa yang harus dia lakukan malam ini. Pria itu kembali mendongak. Menatap Peter. “Kau baik-baik saja?” tanya Peter. Sekali lagi. “Y-ya,” ucap Yong Do. Tiba-tiba suaranya terasa berat, sehingga ia harus berdehem. “Aku baik-baik saja.” Lanjut Yong Do. “Sure?” Choi Yong Do memaksa senyum kaku di wajah. “Hem,” gumamnya. Lelaki muda Choi itu menganggukkan kepalanya. Sekilas, Choi Yong Do kembali mengarahkan pandangan pada seorang gadis bermata hitam yang baru saja dilihatnya. Namun, betapa terkejutnya Choi Yong Do saat tidak melihatnya lagi. Dia mengedarkan pandangan. Memutar tubuh. Berusaha mencari visual si gadis Asia yang baru saja dilihatnya semenit lalu. Kepanikan menjalar cepat dan berkelebat di dalam kepalanya. “Yong Do, what you looking for?” tanya Peter. Dia juga ikut panik melihat tingkah Yong Do. “Yi- Yiseo,” ucapnya. Tiba-tiba jantung Yong Do berdetak meningkat. Kegelisahaan yang sebelumnya telah pudar, kini menyeruak. Menguasainya. “Yi-Yiseo.” Choi Yong Do terus menggumamkan nama si gadis Asia dan semakin lama, semakin dirinya merasa panik dan gelisah. “Hey, Dude,” panggil Peter. “Sorry, Pete. I have to go.” Choi Yong Do menepuk lengan Peter. Dan tanpa melihat lagi ke arah Peter, pria itu langsung melangkahkan kakinya meninggalkan Peter. “Yiseo, di mana kau. Kumohon … oh, ya Tuhan.” __________________
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD