50. Exam

2327 Words
“Kau yakin ingin naik bus?” Park Yiseo mendengkus. Bersamaan dengan langkah kakinya yang terhenti. Gadis itu memutar tubuh. Menghadap pria yang sejak tadi berjalan bersamanya. “Are you borderline idiotic?” Choi Yong Do mengedikkan kedua bahu. Park Yiseo kembali pada pribadinya. Kalimat sarkasme disertai tatapan mematikan. Oh, astaga! Sepertinya Choi Yong Do harus lebih sabar dari sebelumnya. Gadis berambut cokelat panjang itu melipat kedua tangan di depan da’da. Dia mendengkus dan kembali melangkah. “Hei!” seru Yong Do. “Ck!” Tidak ada pilihan lain. Choi Yong Do memanjangkan langkah, menyusul Park Yiseo. “Hei, Yiseo!” Choi Yong Do menjulurkan tangan dan dia berhasil meraih pundak Yiseo. Seketika gadis itu memutar wajah. “Ck! Apa-apaan kau!” bentaknya. Choi Yong Do mendesah kasar sebelum berucap, “Aku tidak yakin kau akan betah di bus sekolah. Kau pernah naik bus sekolah sebelumnya?” tanya Yong Do. Jujur saja sekarang dia cemas dan pria itu benci situasi seperti ini. Mulut Yiseo terbuka. “A-“ Belum sempat Park Yiseo berucap, tiba-tiba sebuah bus berwarna marun dengan tulisan Golden Smart School melintas di depan mereka lalu berhenti di halte yang jaraknya tinggal beberapa meter lagi dari tempat dua remaja itu. Sudut bibir Yiseo naik, membentuk seringaian sewaktu dia kembali menatap Choi Yong Do. Kemudian dia dengan sangat sengaja memanyunkan bibir sambil mengedikkan kepala, menunjuk bus sekolah. Tidak ada kalimat yang keluar dari bibir gadis itu. Sambil menyengir, Park Yiseo memutar tubuhnya. Lagi-lagi hanya desahan panjang yang bisa terlontar dari mulut Choi Yong Do. Pria itu memutar bola mata sambil melayangkan kedua tangan ke udara. “Oh, crap …,” gumam Yong Do. “Hey, Yong Do, you not come in?” Untuk kesekian kalinya Choi Yong Do mendesah panjang. Pria itu kembali menggerakkan kedua kaki. Berlari menghampiri bus sekolah. Sementara Park Yiseo menunggu di pintu masuk. Entah apa yang membuat gadis Asia itu terus-menerus tersenyum. Namun, dalam sekejap senyum di wajah Yiseo berubah saat ia memutar wajah. “Oh God.” Tanpa sadar, Park Yiseo bergumam. Benar-benar bukan pemandangan yang menyenangkan. Kembali terdengar desahan napas panjang di belakang tubuh Park Yiseo. “Sudah kubilang. Seharusnya kau berpikir ribuan kali untuk naik bus sekolah,” kata Yong Do. Kali ini gilirannya yang memberikan tatapan tidak menyenangkan kepada Park Yiseo. “Kids, can you please sit down?” Suara bass berat milik si supir bus membuat Choi Yong Do dan Park Yiseo bergerak. Mereka berjalan sambil mencari-cari tempat yang kosong, tetapi tidak ada selain satu kursi yang terletak di paling belakang. “Kau duduklah biar aku yang berdiri,” kata Yong Do. Park Yiseo mengernyit. “Mengapa tak ada kursi kosong lagi?” tanya gadis itu. Choi Yong Do menarik napas lalu mengembuskannya dengan kasar sambil menutup matanya, lantas pria itu menarik sudut bibirnya ke atas. “Karena sudah tidak ada tempat lagi,” kata Choi Yong Do. “Not necessarily,” kata Yiseo. Gadis itu menoleh pada pria berkacamata yang duduk di samping kursi kosong. Gadis itu memasang senyum di wajah. Bak seekor rubah betina yang pandai menggoda. Ia melempar tubuhnya di samping si pria berkacamata itu. “Hai,” sapa Yiseo. Senyumnya makin berkembang, menguasai wajahnya. “what’s your name?” tanya Yiseo. Si pria berkacamata itu tampak ketakutan. Bak seekor kelinci di bawah kungkungan elang. Seketika menjadi cemas dan tentatif. Sekilas menatap Park Yiseo, lalu menundukkan kepala. ‘Nerdy,’ batin Yiseo. Sekejap gadis itu memanyunkan bibir, lalu memutarnya bersama dengan bola mata. ‘Errrghhhh … I hate this!’ Park Yiseo masih bergumam di dalam hatinya. Sedetik kemudian, gadis itu kembali memasang senyum di wajah. Matanya berhasil menangkap nama pria di sampingnya. “Oh, Deaton!” Suara Yiseo menggema di dalam bus. Membuat semua orang di depannya menoleh ke belakang. Namun, dari mereka semua si pemilik nama yang terlihat jauh lebih terkejut. Dia memandang Park Yiseo dengan wajah terkejut. “Deaton, benar ‘kan?” Park Yiseo bertanya dengan wajah antusias. Pria muda di depannya mengernyit. Menatap Park Yiseo dalam kebingungan yang menjalar cepat di dalam kepalanya. Park Yiseo belum berhenti sampai di situ. Masih mempertahankan senyum di wajahnya, gadis itu menjulurkan tangannya. “Aku Yiseo. Kita pernah sebangku di kelas biologi. Remember that?” Lipatan di dahi Deaton semakin kentara. Pria itu terlihat sedang berpikir keras, tetapi sebenarnya bukan itu yang dipikirkan Deaton. Tentu saja dia mengingatnya. Siapa juga yang tidak kenal gadis di sampingnya. Si gadis Asia yang belakangan ini menjadi pusat perhatian di sekolahnya. Namun, masalahnya untuk pertama kali dalam sejarah seorang Deaton Kanye, ada seseorang yang menyebutkan namanya. “Halo?” Deaton refleks mengejap saat mendengar suara itu. Bersamaan dengan petikan jari di depan wajahnya. Sontak, pria itu menggerakkan wajahnya ke samping. Hampir berada di depan batang hidungnya, wajah cantik si gadis Asia yang sejak tadi mengajaknya bicara. “W- what do you want?” tanya Deaton. “Oh, come on, Deaton! Kau membuatku terlihat seperti pembunuh berdarah dingin,” kata Yiseo. Gadis itu kembali memanyunkan bibirnya. Sengaja memasang tampang murung supaya Deaton merasa bersalah. Ya … atau mungkin merasa tidak enak. “So-sorry.” ‘Yeah!’ Park Yiseo berteriak di dalam hatinya. Oh, astaga! Dasar Yiseo. Dia berhasil memperlihatkan bakat manipulatif-nya. Mendengar permintaan maaf dari Deaton, malah membuat Park Yiseo semakin memanyunkan bibirnya. Gadis itu menundukkan kepala. Menyatukan kedua tangan dan sekarang sedang memilin jari-jarinya. “So-sorry.” Seringaian kembali menucul di wajah Park Yiseo. Akhirnya dia berhasil. “It’s okay,” gumamnya. Sambil memanyunkan bibirnya, Park Yiseo mengangkat wajah perlahan dan kembali memandang Deaton. Refleks, pria itu memalingkan wajah ke arah jendela. Park Yiseo tidak ingin menyerah. Gadis itu menoleh ke belakang. Menatap si pria yang berdiri di sampingnya. Tampak Choi Yong Do mendengkus. Dalam hati dia mulai berasumsi dan mungkin saja pikirannya benar. Choi Yong Do menggeleng dan memalingkan wajahnya dari Yiseo. Gadis Asia itu kembali memfokuskan atensinya kepada Deaton. “Hei, Deaton,” panggil Yiseo dengan nada berbisik. Deaton memandang Park Yiseo hanya lewat sudut matanya. “Hem,” gumam pria itu. Mulut Yiseo terbuka. Sekali lagi menoleh ke belakang, lantas dia mencondongkan tubuhnya ke arah Deaton. Gadis itu mendekati sebelah wajah Deaton. “Deaton ….” “What?!” pekik Deaton. Sontak, pria itu mendongak. Untuk sekelebat dia terdiam sambil mematri tatapan pada Choi Yong Do. Choi Yong Do yang merasa ada sepasang mata yang sedang mengawasinya, lantas memutar wajah lambat-lambat. Pria itu mengerutkan kening saat mendapati Deaton melongo menatapnya. Bola mata hijau milik Deaton mulai bergerak lalu mendapatkan Park Yiseo. Gadis itu masih memanyunkan bibirnya. Memasang tampang iba untuk mendukung ucapan dramatisnya barusan. Park Yiseo pun menganggukkan kepala. Butuh beberapa detik bagi Deaton untuk mengolah ucapan Park Yiseo yang sedikit tidak masuk akal. Namun, melihat bagaimana wajah membalasnya dan kini tengah mengangkat telunjuk dan jari tengahnya maka tergugahlah hati Deaton. Sempat terdengar embusan napas panjang nan kasar dari Deaton, akan tetapi pria itu tetap bangkit dari tempat duduknya. Sedetik memandang Park Yiseo dan akhirnya Deaton memandang pria di depannya. Park Yiseo tersenyum penuh kemenangan saat Deaton melewati kedua kakinya. “Dude,” panggil Deaton. Dengan kening yang melengkung ke tengah, Choi Yong Do menatap Deaton. Pria itu kembali mendesah, lantas menoleh ke belakang. Didapati Deaton wajah Yiseo masih memelas dan gadis itu kembali menganggukkan kepala. Desahan panjang yang terus keluar dari mulut Deaton, membuat pria itu menyerah sepenuhnya. “Duduklah,” kata Deaton. Lipatan di dahi Choi Yong Do semakin terbentuk. “Ada apa denganmu?” tanya Yong Do. Nadanya terdengar seperti tidak senang, tetapi Deaton mencoba untuk mengerti. Dia pun menepuk-nepuk pangkal bahu Choi Yong Do. “It’s okay. Kau duduklah. Biar aku yang gantikan tempatmu,” kata Deaton. Seperti ada sesuatu yang berbisik pada Choi Yong Do, membuatnya memutar bola mata. Matanya menyipit, menatap gadis di belakang Deaton dan gadis tersebut dengan santai menggerakkan jemarinya memanggil Yong Do. Choi Yong Do kembali menatap Deaton. “Kau yakin?” tanya Yong Do. Sambil mengulum bibirnya, membentuk senyum simpul, Deaton mengedikkan kepalanya menunjuk kursi di belakangnya. Choi Yong Do masih terlihat sangat bingung. Berkali-kali dia memandang Park Yiseo dan juga pria di depannya. Namun, saat tak memiliki pilihan lain dan tidak mendapat petunjuk apa pun itu, Choi Yong Do akhirnya pasrah. Dia menepuk lengan Deaton. “Thanks, Dude,” kata Yong Do. “That’s not a big problem,” ucap Deaton. Pria itu mempersilahkan Choi Yong Do mengambil tempat duduknya. “Thanks a lot, Deaton,” kata Yiseo. Seketika wajahnya berubah menjadi sangat ceria. Deaton ikut tersenyum dan dia mengangguk pada Yiseo. Terdengar napas panjang menggema ketika Choi Yong Do mendaratkan tubuhnya pada kursi di samping Park Yiseo. Pria itu menoleh ke samping. “Kau bilang apa pada Deaton?” tanya Yong Do. Sambil mempertahankan senyum di wajah, Park Yiseo menoleh pada Yong Do dan dia menggeleng. Hanya menggeleng dan tak ada niat sama sekali menyahut ucapan Yong Do. Pria berdarah Asia itu juga tidak mau repot-repot bertanya. Dia lebih memilih untuk menyandarkan punggung ke sandaran kursi, lantas memalingkan wajah menatap jalanan di kota Melbourne dari jendela mobil. Park Yiseo kembali menatap Deaton. Dia mengangkat tangan. Membentuk huruf O dari telunjuk dan ibu jarinya. Deaton hanya tersenyum pada Yiseo. Sejurus kemudian, pria itu menggelengkan kepalanya. ‘Sebenarnya Choi Yong Do baru operasi usus besar. Bolehkah dia duduk?’ Entah mengapa Park Yiseo jadi terkikik sendiri saat mengingat ucapannya pada Deaton. “Kau kenapa?” tanya Yong Do. Pria itu menatap Yiseo dengan pandangan curiga. “Tidak,” kata Park Yiseo. Menyahut dengan lantang, tetapi tidak bisa menyembunyikan senyum di wajah. Lagi-lagi Choi Yong Do hanya bisa mendengkus. Menyerah pada sikap Park Yiseo. *** Golden Smart School 08. 23 am _________ “Hahh … hari ini akan menjadi hari yang panjang,” gumam Yiseo. Sejurus kemudian dia memutar tubuhnya. Dua orang remaja itu berada tepat di depan pintu sekolah. “Kau mau pergi denganku setelah latihan?” tanya Yiseo. Choi Yong Do mengerutkan dahinya. “Ke mana?” tanya Yong Do. “Jalan-jalan. Mall, café. Kita hangout. Kau mau?” Seketika Park Yiseo menjadi sangat antusias. Untuk sekelebat, Choi Yong Do mengerutkan dahinya. Dia terlihat sedang berpikir keras. Park Yiseo menunggu dengan sabar. Dan juga santai. “Boleh,” gumam Yong Do. “Oke!” Suara Yiseo sedikit meninggi sebagai bukti antusiasmenya. “Kalau begitu mari selesaikan ujian sialan ini,” kata Yiseo. Choi Yong Do hanya bisa tersenyum. “Sialan?” tanya Yong Do dan dengan santai Yiseo mengangguk. “Hem,” gumam gadis itu. Mereka meneruskan langkah menuju ruang kelas. Ada sesuatu dalam ucapan Yiseo yang membuat Choi Yong Do terkekeh. “Kau ini murid terpintar di Seoul. Dan kau menyebut ujian semester sialan?” “Definitely,” jawab Yiseo. Choi Yong Do kembali menggelengkan kepalanya dan senyum mengejeknya makin berkembang di wajah. Kening Yiseo mengerut. Choi Yong Do berjalan cepat mendahuluinya. “Why?!” seru Yiseo. Choi Yong Do menoleh. “Nothing,” ucapnya. Park Yiseo masih mengerutkan kening dan kebingungan. Untuk pertama kalinya dia tidak bisa menebak isi pikiran Yong Do. Gadis itu memanjangkan langkahnya menyusul Yong Do. Namun, saat tiba di dalam kelas, wajah Yiseo langsung berubah. “Hai, Yiseo.” Seorang pria berambut blonde dengan sepasang mata biru laut menyapa Park Yiseo. Sapaan hangat, lengkap dengan senyum di wajah. Namun, Park Yiseo tak pernah berniat menyahutnya. Gadis itu malah mendengkus. Sejurus kemudian wajah Yiseo berubah ceria saat melihat si pria bermanik mata hijau. “Deaton …,” panggil Yiseo antusias. Dia menghampiri Deaton yang duduk pada kursi depan. Deaton memutar wajahnya. Matanya mengitari seisi ruangan. Memerhatikan ekspresi semua orang di dalam kelas. “Hei, Deaton. Kita bertemu lagi.” Deaton mulai mengangkat wajah dan ia tersenyum ragu-ragu. “Ha- hai, Yiseo.” Deaton mengusap tengkuk dan menundukkan kepala. “Deaton, mataku agak rabun, bolehkah kita bertukar tempat duduk?” Sontak, Deaton kembali mengangkat pandang, menatap Park Yiseo dengan setengah alis yang terangkat. Sekejap memandang Yiseo dalam diam. Gadis Asia itu kembali memperlihatkan wajah memelasnya. Membuat Deaton menyerah dalam satu detik. Pria itu menarik tasnya dan berdiri dari tempat duduk. Deaton terpaksa duduk di belakang si penguasa sekolah. Nicholas Hamilton mendengkus. Tidak terima dengan sikap dingin Park Yiseo, dia pun berdiri dari tempat duduknya. Nick mengetuk pangkal pundak seorang gadis yang duduk di paling depan. Di samping Park Yiseo dan gadis itu menoleh ke belakang. Tidak ada kalimat yang keluar dari bibir Nick selain gerakan kening yang menyuruh gadis itu untuk bangkit dari tempat duduknya dan segera menggantikan tempat duduk Nicholas. Terdengar embusan napas kasar dari seberang tempat duduk Park Yiseo saat Nicholas melempar tubuhnya di kursi. Pria itu duduk sambil menghadap Park Yiseo. “What’s wrong with you?” Park Yiseo menoleh ke sumber suara. “Me?!” “Ya. Kau. Ada apa denganmu pagi ini?” Park Yiseo terkekeh sinis. Dia menggelengkan kepalanya. “Bukankah aku yang seharusnya menanyakan hal itu padamu, Nick?” tanya Yiseo. Gadis itu mengganti ekspresi wajahnya menjadi datar dengan tatapan dingin. Mulut Nicholas terbuka. Dia mendesah seraya mendelikkan matanya ke atas. “Oke, sekarang katakan padaku di mana letak kesalahanku,” ucap Nick. Park Yiseo kembali memutar pandangannya ke arah Nicholas. “Nicholas Hamilton, sepertinya kau bukan anak kecil yang tidak bisa mengingat perbuatan burukmu kepada temanmu.” Nicholas kembali mendesah kasar. “A-“ “Good morning, class.” Ucapan Nicholas terjeda karena seorang guru telah masuk ke dalam kelas. Sambil mendengkus, pria itu kembali memutar tubuhnya ke depan. Namun, tatapannya tertuju kepada gadis di sampingnya. “Oke, jam pertama kalian akan dimulai dengan ujian fisika. Bratt, berdiri dan kumpulkan ponsel teman-temanmu.” Untuk kesekian kalinya Nicholas mendengkus. Tatapan tajam dari bola mata biru itu kini tertuju kepada si pria Asia yang duduk di samping Park Yiseo. ‘Ini pasti gara-gara kau. Awas saja kau. Asian beast!’ Nicholas membatin. Tanpa sadar, kedua tangannya mengepal dengan kuat di atas meja. “Nick?” Pria itu mengerjap. Refleks, mendongak. “Ponselmu,” ucap salah seorang murid. Nicholas meraih ponselnya dari dalam saku jas, tetapi pandangan pria itu tetap tertuju kepada dua orang Asia di samping kiri tempat duduknya. ‘Kuhabisi kau hari ini.’ ________________
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD