The Royal Theresia Hospital, Melbourne
5.24 pm
________
Choi Yong Do baru saja tiba di sebuah rumah sakit yang dikelola oleh Yayasan keluarganya. Sambil memegang skateboard di tangan kiri dan sekotak Italian pastry di tangan kanan. Lelaki itu menghampiri seorang staff rumah sakit yang bertugas di bagian depan.
“Permisi,” sapa Yong Do dengan begitu sopan.
“Ada yang bisa kami bantu?” tanya si staff rumah sakit.
“Apakah dokter Choi berada di ruangannya?” tanya Yong Do.
“Maaf, ada keperluan apa? Apakah Anda sudah membuat janji dengan beliau?”
“Aku ingin bertemu dengannya. Aku putranya,” kata Yong Do.
Mulut wanita di depannya terbuka. Ia tertawa formal. “Maafkan aku, Tuan Muda Choi, saya benar-benar tidak mengenali Anda,” kata wanita itu.
Choi Yong Do mengulum bibir. Tampak tersenyum walau hanya sekilas. “Tak apa,” katanya.
“Akan saya lihat jadwal dokter Choi hari ini,” kata wanita itu. Dia kembali fokus pada layar monitor, sementara jemarinya bekerja dengan cepat di atas keyboard.
Choi Yong Do menunggu dengan sabar sampai gadis itu mendongak kembali.
“Dokter Choi sedang berada di ruang operasi,” kata wanita itu.
“Kalau ibuku?” tanya Yong Do. Dengan cepat ia menggelengkan kepala. “Maksudku dokter Goo, apakah dia sedang bertugas?”
“Baik. Akan saya lihat terlebih dahulu,” kata wanita itu. Tak lama kemudian ia pun berkata, “ternyata nyonya Choi sudah berada di ruangannya sejak setengah jam yang lalu,” kata wanita itu.
“Apa masih ada jadwal untuk dokter Choi dan dokter Goo setelah ini?” Choi Yong Do terus bertanya.
“Hari ini jadwal dokter Choi hanya operasi bypass, dan untuk dokter Goo, beliau tidak menerima pasien rawat jalan di akhir pekan. Biasanya beliau mengunjungi pasien rawat inap, tetapi hari ini dia meminta agar tidak diganggu karena urusan penting yang menyangkut dengan Yayasan,” ujar sang gadis.
Tampak ChoI Yong Do mengulum bibir. Ia menunduk sesaat, kemudian mengangguk lambat-lambat.
“Terima kasih,” kata Yong Do.
Sang wanita pun tersenyum sembari menganggukkan kepalanya. Lelaki muda Choi itu melanjutkan perjalanannya. Menaiki lift khusus staff. Bilik kecil yang ia tumpangi itu berjalan cepat membawanya ke lantai sepuluh. Setibanya di sana, ia langsung memasuki ruangan bertuliskan Goo Hae Young direktur rumah sakit.
“Selamat sore,” sapa Yong Do.
Tampak seorang wanita berwajah Asia bergeming saat mendengar suara putranya. Ia pun melepaskan kacamata yang bertengger pada pangkal hidungnya. Menarik sudut bibir ke atas. Memberikan senyum terbaik untuk sang putra. Ia pun berdiri sambil membuka kedua tangannya. Choi Yong Do menyandarkan skateboard di samping nakas dekat pintu, lalu menaruh box kue ke atas meja. Ia menghampiri sang ibu, lantas memeluknya erat.
Goo Hae Young bergumam sambil mengusap punggung putranya. “Oh, Ibu rindu sekali padamu, Nak.”
Sambil tersenyum, Choi Yong Do menarik dirinya dari pelukan sang ibu. “Aku bawakan kue kesukaan Ibu,” katanya.
Mulut Goo Hae Yong terbuka. Bersamaan dengan matanya yang melebar. Memindahkan tatapan pada kotak kue di atas meja. Wajah yang semenit yang lalu tampak kusut kini semakin sumringah.
“Oh … astaga, betapa beruntungnya aku,” kata Hae Young. Ia kembali menatap sang putra. Bibirnya terus tersenyum. Menghampiri sang putra dan memberikan kecupan kilat di pipi. Choi Yong Do tak keberatan. Ibunya memang selalu seperti itu.
“Ibu mau kubuatkan kopi?” tanya Yong Do.
“Boleh,” kata Hae Young.
“Kalau begitu duduklah. Aku akan buatkan kopi untuk ibu.”
Senyum di wajah Hae Young tak bisa memudar. Anak keduanya itu benar-benar telah dewasa. Melihat bagaimana sang putra begitu perhatian padanya, membuat hati Hae Young tergugah. Penat sepanjang hari akibat pekerjaan yang datang beruntun, sontak mereda ketika melihat senyum satu-satunya anak lelaki keluarga Choi itu.
“Ayahmu masih di ruang operasi, tapi sebentar lagi dia akan selesai,” ujar Hae Young. Membawa tubuhnya pada sofa tunggal yang terletak dalam ruangan itu. Ia menunduk untuk membuka kotak yang dibawa Yong Do. Seketika matanya berbinar. Ia pun memutar tubuh. Menatap punggung Choi Yong Do.
“Sudah lama Ibu tidak makan tiramisu dari Brunetti. Ah, syukurlah anakku mengingatnya. Aku benar-benar sangat lapar, dan aku sangat senang.”
Seketika kening Yong Do mengerut. Ia pun menoleh. “Ibu belum makan apa-apa dari tadi?” tanya Yong Do.
Mulut Hae Young kembali terbuka melepaskan kekehan kecil. “Ahhh … Ibu tadi sarapan bersama ayah. Ibu baru mau memesan makanan. Oh ya, bagaimana kalau malam ini kita makan bersama?”
Choi Yong Do mendengkus. Sambil membawa dua cangkir latte, ia pun menghampiri sang ibu.
“Pengalihan pembicaraan yang bagus, Bu.”
Goo Hae Young tertawa rendah. “Ayolah … Ibu hanya lupa makan siang. Lagi pula ada kau dan kue-kue ini. Ibu pasti akan menghabiskan semuanya,” kata Hae Young. Choi Yong Do masih mendengkus dan ia menggelengkan kepala.
“Oh ya, Bu. Kapan kakak pulang?” tanya Yong Do.
Kening Hae Young mengerut sewaktu ia hendak menyeruput minumannya. “Yi Ahn?” tanya Hae Young. Menyebut nama kakak perempuan Yong Do. Tampak bibir Hae Young mengerucut. “Eummm … dia bilang tidak akan pulang tahun ini. Katanya ada banyak tugas kuliah,” ujar Hae Young. Ia meneruskan meniup minumannya.
Choi Yong Do mendesah, lantas membanting punggungnya ke belakang. “Apa aku saja yang ke New York?” Tiba-tiba perkataan itu meluncur keluar dari bibir Yong Do. Membuat Hae Young menatapnya, bingung.
Choi Yong Do kembali menatap sang ibu lalu bertanya, “Bu, aku sudah bisa buat paspor, ‘kan?”
Lipatan di dahi Hae Young makin kentara sewaktu ia kembali menatap sang putra. Perlahan-lahan wanita itu mulai menjauhkan gelas porselen dari mulutnya. Ia memilih untuk menyandarkan punggung ke sandaran sofa lantas memberikan atensi penuhnya kepada sang putra.
“Kau serius ingin ke New York?”
Choi Yong Do merengut sambil mengedikkan kedua bahu. “Aku tidak tahu harus berbuat apa saat liburan musim panas nanti,” ujar Yong Do.
Sambil mengulum bibir, Goo Hae Young menganggukkan kepalanya lambat-lambat. “Boleh,” kata Hae Young. “nanti kita bicarakan bersama ayah.” Lanjutnya.
Tak berselang lama pintu di belakang punggung Yong Do terbuka. Kemudian muncul presensi seorang pria berkemeja kotak-kotak biru. Wajahnya terlihat kusut. Namun, saat melihat manik cokelat sang putra, seketika ia pun tersenyum.
“Hey, Buddy!”
Choi Yong Do mengangkat tangan. Mendorong kepalan tangan pada sang ayah. Mereka melakukan fist bump. Choi Hye Min mengistirahatkan tubuhnya pada sofa persegi panjang. Ia pun mendesah sewaktu punggungnya bersandar ke sandaran sofa.
“Ayah mau minum kopi?” tanya Yong Do.
Choi Hye Min tersenyum. “Ini milik siapa?” tunjuknya pada gelas di depan Yong Do.
“Kalau Ayah mau, Ayah bisa meminumnya. Aku belum menyicipinya,” ujar Yong Do.
“Oke ….” Choi Hye Min membungkuk. Memanjangkan tangan, meraih gelas porselen putih di depannya.
“Kau tidak buat kopi untukmu?” tanya Hye Min.
Choi Yong Do menggeleng. “Sebenarnya aku sudah minum kopi sebelum kemari,” kata Yong Do.
“Oh ya, Sayang, tadi kata Yong Do dia ingin mengunjungi Yi Ahn ke New York, bagaimana pendapatmu?” ujar Hae Young.
Sama seperti istrinya, Choi Hye Min juga mengerutkan keningnya. Menatap anak bungsunya dengan pandangan menyelidik. Semua itu membuat Choi Yong Do mendesah panjang. Memutar bola mata sambil melayangkan kedua tangan ke udara.
“Ayolah …,” gumamnya. “aku sudah besar. Tak ada yang perlu dikhawatirkan. Lagi pula di sana ada kakak,” ujar Yong Do.
“Ayah tidak bilang kalau kau tidak boleh ke sana,” ucap Hye Min. Kembali menyeruput latte-nya.
“Tapi ekspresi kalian terlihat meremehkan aku.” Seketika wajah Yong Do berubah masam.
“Bukan begitu. Kami hanya kaget. Kau selalu tidak berani keluar rumah sendirian, tetapi sekarang kau bahkan mengunjungi kami. Ibu pikir kau akan terus di apartemen bersama nona Park.” Goo Hae Young menutup ucapannya dengan melirik sang suami dan mengerlingkan mata. Pasangan suami istri itu kompak terkikik. Membuat Choi Yong Do mendengkus kesal.
“Jangan sebut namanya, Ibu. Dia sudah cukup merusuh kehidupanku,” kata Yong Do. Wajahnya makin terlihat masam.
Sambil tersenyum, Choi Hye Min menatap putranya. “Yang Ayah lihat sifat kalian sama saja,” kata Hye Min.
“Apa?” pekik Yong Do. Punggungnya terdorong ketika ia mencondongkan tubuh pada sang ayah. “tidak salah?” tanya Yong Do dengan nada sinis.
Bibir Hye Min manyun sewaktu ia mengedikkan setengah bahunya. Choi Yong Do mendengkus kesal. Mengalihkan tatapan pada sang ibu, tetapi ibunya malah makin menggodanya dengan kedua alis yang bertautan dan senyum penuh arti.
“Astaga!” Choi Yong Do mendesis. “bahkan jika hanya dia satu-satunya gadis di dunia, aku tidak mungkin menyukainya.”
“Yakin?”
Seketika bola mata Yong Do melebar saat mendengar pertanyaan itu keluar secara serentak di bibir kedua orang tuanya. Choi Yong Do kembali mencondongkan tubuhnya.
“Ya!” jawabnya begitu tegas. Embusan napas panjangnya begitu kasar. Ia kembali membuang muka.
Goo Hye Young kembali tersenyum. Melirik suaminya sambil mengedikkan alis menunjuk telinga Choi Yong Do yang mulai memerah, pertanda jika dia sedang tersinggung.
“Biasanya benci itu bisa jadi cinta,” kata Hye Min.
Saat Yong Do memutar wajahnya, Hye Min menunduk. Memilih menatap latte di tangannya, tetapi sudut bibirnya berkedut menahan tawa.
“Ayah ….”
Untuk kesekian kalinya Choi Yong Do mendengkus. Ia menarik kepalanya ke belakang dan kembali melayangkan kedua tangan ke udara.
“Oke, oke.” Hye Min kembali berucap. Terdengar decakan bibir di wajah pria itu. Ia menoleh ke samping pada istrinya yang kini mengedikkan bahu.
“Tapi bagaimana kabar nona Park?”
“Ayah, berhenti menanyakan gadis itu. Aku tidak tahu.”
“Wait … bagaimana bisa? Kalian kan tetangga. Kalian juga satu sekolah, kan?”
Seketika Choi Yong Do memutar wajahnya pada sang ayah. Keningnya mengerut. “Dari mana ayah tahu?” tanya Yong Do dengan wajah sinis.
Mencoba untuk menghindari tatapan menyelidik putranya, Choi Hye Min pun kembali menunduk. Pura-pura meniup minumannya. Saat mendengar desahan kasar Choi Yong Do, Hye Min pun mendelikkan setengah bahunya.
“Ayolah, Sayang,” kata Goo Hae Young. “memangnya apa yang salah dari menanyakan kabar nona Park? Kalian berasal dari Korea Selatan. Ayah dan Ibu benar-benar berharap jika kalian bisa menjadi sahabat. Lebih dari sahabat juga lebih baik,” ujar Hae Young.
Terdengar decakan kasar mengalun dari bibir Yong Do. “Lebih baik aku berteman dengan kuda liar daripada dengan gadis liar itu,” ujar Yong Do.
“Hei, jangan seperti itu.” Choi Hye Min mencoba untuk menasehati.
“Aku bicara apa adanya,” kata Yong Do. Tak mau mengalah. “dia juga tidak sudi berteman denganku.”
Seketika bibir Goo Hye Young manyun. Ia menghela napas panjang, lantas mengembuskannya perlahan-lahan. Desahan panjang pun ikut mengalun dari bibir Hye Young.
“Jangan seperti itu,” kata Hae Young dengan lembut. “Ibu mengerti kalau kau kesal pada nona Park. Ya. Ibu tidak bohong kalau saat pertama kali Ibu melihatnya, dia memang terlihat agak sombong, akan tetapi itu tidak membenarkan jika nona Park itu gadis tidak baik. Seperti kata Ibu, kamu hanya belum mengenalnya.”
Bola mata Yong Do bergerak. Menatap sang ibu hanya lewat sudut mata. “Dia bukan tipe orang yang bisa berteman dengan siapa saja,” kata Yong Do.
Choi Hye Min berdehem. “Seperti seseorang,” gumamnya.
“Ahhh … sudahlah. Aku kemari untuk bertemu Ibu dan Ayah, kenapa malah bicara tentang dia.” Seketika raut wajah Choi Yong Do menjadi merah padam. Sekarang lelaki muda itu benar-benar kesal dan sebaiknya Hye Min dan Hae Young menghentikan lelucon mereka.
“Oke, oke … karena kau sudah di sini, lebih baik kita segera keluar. Ada restoran Korea baru buka di west Victoria. Kita pergi ke sana?” tanya Goo Hae Young.
“Boleh,” jawab suaminya.
Sementara Choi Yong Do tidak menjawab. Namun, tidak ingin berbohong jika kelebat bayangan wajah seorang gadis sempat melintas di pikiran Yong Do. Membuatnya mengkhawatirkan gadis itu.
‘Ck! Menyebalkan,’ batin Yong Do.
_______________