Golden Smart School
10.23 am
_________
Hari ke tiga berada di sekolah baru dan semua masih sama seperti hari-hari sebelumnya. Sejauh ini, Park Yiseo masih bisa menahan semuanya. Menahan siksaan yang diberikan Lucy Banett bersama kedua anteknya. Semua itu masih bisa ditahan oleh Park Yiseo dan semuanya hanya untuk mendukung rencana Park Yiseo. Semua ini demi balas dendam yang menyenangkan.
Pagi ini, seluruh siswa dan siswi tingkat dua kelas gold sedang berkumpul di Golden studio. Sebuah tempat di mana seluruh siswa akan dilatih untuk belajar musik. Salah satu mata pelajaran wajib di sekolah ini. Tentu saja sebagian besar dari mereka bahkan mungkin semuanya sudah memiliki basic tersendiri dalam bermain alat musik. Beberapa murid bahkan dikaruniai bakat dengan suara yang indah.
Berdiri di hadapan seluruh murid, seorang wanita muda pertengahan tiga puluh. Parasnya cantik dengan rambut cokelat menyala. Setelan jas abu-abu membalut tubuh jangkungnya. Wanita yang punya senyum sumringah itu menyapa seluruh siswa yang berada di dalam kelasnya.
“Halo semua, apa kabar hari ini?”
“Sangat baik, Ms. Thania.” Seluruh siswa menyahut dengan raut wajah sumringah.
Wanita muda yang berdiri di depan para murid itu memang lebih senang dipanggil dengan namanya, Thania. Ia menjadi satu-satunya guru terfavorite di sekolah ini. Wanita itu mengajar musik secara khusus piano dan saxophone.
“Ms. Thania, kurasa kau perlu mengenal dua murid pindahan di kelas kami,” ucap salah seorang siswa lelaki. Dia yang selalu tampak begitu berani di dalam kelas. Namanya Nick dan dia yang pernah menggodai Park Yiseo, hanya saja Yiseo sudah lebih dahulu memberikan cap ‘tong kosong berbunyi nyaring’ pada lelaki muda itu. Namun, tak mengapa. Park Yiseo punya sebuah rencana untuk Nick dan Park Yiseo yakin kalau pria itu akan sangat membantu nantinya.
Pria muda itu memutar pandangan pada Park Yiseo yang sangat cantik hari ini dengan rambut panjangnya. Dia telah memperbarui penampilannya dengan menggunakan rambut palsu yang disambung dengan rambut aslinya. Jangan tanya untuk apa. Kemarin Park Yiseo ke salon dan ide untuk memakai rambut palsu terbesit begitu saja, tapi dia sendiri tidak menyangka kalau hasilnya akan sangat bagus. Ditambah topi baret yang seolah tak bisa lepas dari tampilannya.
Park Yiseo tidak tahu saja kalau dia mulai jadi pusat perhatian. Beberapa orang siswa terlalu penasaran dengan wajahnya dan kulitnya yang benar-benar putih. Tidak ada bintik hitam sama sekali. Namun, mereka terlalu gengsi untuk sekadar bertanya perawatan tubuh seperti apa yang dilakukan oleh Park Yiseo. Dan Park Yiseo juga tak ingin repot-repot mengajak para gadis di kelasnya untuk mau menjadi temannya.
Seperti prinsip para klan Park. Tidak ada rayuan. Orang-orang harus datang sendiri padanya. Walaupun dia tak memiliki teman, bukan berarti Park Yiseo harus menjadi seorang penjilat. Tidak. Park Yiseo tetap memilih untuk menjadi penyendiri yang begitu berani. Namun, tekadnya tetap kuat. Dia telah berjanji pada dirinya bahwa dia akan menguasai kelasnya dan itu akan segera terjadi.
“Oh, ada murid pindahan rupanya. Bisakah kalian berdiri dan perkenalkan diri kalian?” tanya Ms. Thania.
Park Yiseo yang berdiri pertama. “Hai, Ms. Thania. Namaku Park Yiseo aku datang dari Korea Selatan,” ucapnya begitu percaya diri.
“Cih!” Lucy Banett mendecih sinis. Telunjuknya bergerak-gerak menggulung rambut kuning panjangnya sedangkan bibirnya mengunyah permen karet. Gadis muda itu tak bisa melepaskan tatapan sinisnya dari Park Yiseo. Sejauh ini dia masih mencari cara untuk membuat gadis Korea Selatan itu benar-benar takut dan tunduk padanya. Lucy Banett sangat berambisi untuk membuat seorang Park Yiseo takluk di depan kakinya.
Lucy menoleh ke samping. “Cardi, apa kau bawa barangnya?” tanya gadis itu dan temannya mengangguk. Gadis itu mengangkat tangan, lantas membentuk O lewat telunjuk dan ibu jarinya. Lucy menyeringai. Dia kembali memutar tubuh. Menghadap ke depan.
“Aku Yong Do.”
Sesingkat itu Choi Yong Do memperkenalkan dirinya. Membuat seisi kelas bergumam. “Wuhh ….”
“Oke. Tidak mengapa. Mereka perlu menyesuaikan diri,” kata Ms. Thania dengan senyum sumringah di wajahnya. “Baiklah. Hari ini kita akan latihan untuk pentas musik yang akan dipentaskan pada hari ulang tahun sekolah ini. Seperti yang kalian tahu waktu kita tidak banyak. Untuk Yiseo dan Yongdo apa kalian menguasai salah satu alat musik?” tanya Ms. Thania.
“Aku pemegang piala soloist di sekolahku dulu,” ucap Park Yiseo begitu percaya diri.
Ms. Thania tergaum. “Oh ya?” tanya wanita itu.
“Hem,” jawab Yiseo. “Mau kubukitkan?” Dia bertanya begitu percaya diri. Membuat Ms. Thania mengerjapkan mata. Tak menyangka jika akan ada yang seberani ini di kelasnya.
“Y- ya …,” jawab Ms. Thania. “Sure,” ucapnya sembari menunjuk sebuah piano yang terletak di sampingnya.
Dengan penuh percaya diri Park Yiseo pun berdiri dari tempat duduknya. Menghampiri piano yang terletak di samping Ms. Thania. Sambil tersenyum dia pun mengangguk pelan, seolah meminta izin dan Ms. Thania melakukan hal yang sama.
Gadis itu duduk dengan cara paling sopan dan anggun. Untuk beberapa saat Park Yiseo terdiam. Memandang ‘tuts’ piano di depannya. Seketika ia menghela napas lalu membuangnya dengan cepat.
“Bisakah kau percepat pertunjukanmu?” protes Lucy.
Park Yiseo tidak menggubrisnya sama sekali. Dia memilih untuk menegakkan badan sembari membuang napas panjang. Pandangannya tegak dan jemarinya mulai bergerak. Mengawalinya dengan permainan cepat. Jemari jenjang itu melompat dari sisi kiri ke kanan dengan irama yang tidak gampang. Lalu memelan. Menjadi sangat pelan.
Raut wajah, tubuh dan jemarinya menyatu dalam alunan musik yang indah. Attitude-nya berpardu dan melebur di dalam indahnya permainan jemari. Sesekali tubuhnya membungkuk saat mencapai not tinggi dan ketika jemarinya berlari, ia pun menegakkan badan. Kepalanya menunduk lagi saat nadanya makin meninggi dan wajahnya berubah serius.
Seketika Lucy Banett mencondongkan tubuhnya. “Tidak mungkin,” gumamnya. Gadis muda itu memutar pandangan pada Ms. Thania sehingga dilihatnya bagaimana wajah sang guru berubah pucat dengan pandangan takjub dan mulut yang menganga.
Park Yiseo benar-benar terlihat bak seorang musisi handal. Dengan segala teknik dan pengalaman yang telah dilaluinya selama bertahun-tahun. Bahkan permainannya benar-benar menyerupai seorang pianist terkenal.
Seluruh siswa tampak tercengang. Merasakan pipi mereka berubah bagai balon. Menikmati permanian Park Yiseo yang memilih Beethoven Sonata opus 106–Hammerklavier untuk memperlihatkan kemampuannya. Salah satu permainan piano paling sulit di dunia. Seorang musisi pernah mengaku jika dia menghabiskan separuh hidupnya untuk mempelajari teknik tersebut dan sekarang, duduk di depan tombol-tombol berirama merdu tersebut, seorang gadis berusia kurang dari tujuh belas tahun dan dia sedang memainkan irama bertempo cepat dan tegas diimbangi dengan attitude yang indah. Keselarasan untuk mencapai not tinggi lalu dengan gampang memelankannya dengan tidak keluar dari not asli. Seluruh siswa merinding sambil melebarkan mata. Tak ingin sekalipun mengerjapkan mata agar tidak melewatkan sedetik momen menakjubkan tersebut.
“Wow ….”
Semua orang tak bisa melepaskan atensi mereka padanya. Pada si gadis Korea Selatan yang kini menjelma bak seorang algojo yang mampu mengeksekusi semua nada dengan tingkat tersulit sekalipun. Empat puluh menit pun berlalu begitu cepat. Park Yiseo mengangkat tangannya ke udara sebagai tanda berakhirnya permainan indah itu.
Hening.
Beberapa saat tak ada yang bersuara lalu terdengar tepuk tangan. Pertama datangnya dari Ms. Thania lalu diikuti seluruh siswa sehingga suara riuh itu menggema di dalam ruangan.
“Uwowww ….” Ms. Thania masih bergumam. Bibirnya berdecak kagum sembari menggelengkan kepalanya. Dia berjalan mendekati si gadis yang baru saja membuatnya terpukau.
“Benar-benar menganggumkan,” ucapnya. Ada selapis cairan bening yang menghiasi manik hazel Ms. Thania. Dia benar-benar tersentuh oleh permainan Park Yiseo sampai rasanya dia ingin menangis.
Sementara Park Yiseo memilih untuk diam sebentar. Menghela napas dalam-dalam lantas mengembuskannya perlahan. Bermain musik bagi seorang Park Yiseo bukan hanya tentang keterampilan. Selain untuk meluapkan emosinya pada permainan tadi, tetapi juga menyatukan jiwanya di sana. Sehingga ia pun harus bisa mengatur napasnya untuk menyelaraskan dengan emosi sehingga jiwanya bisa menyatu membuat jemarinya bergerak indah.
“Itu tadi permainan luar biasa, Nona Yiseo. Umurmu masih sangat muda dan kau sudah bisa menguasai Beethoven Sonata opus 106–Hammerklavier.”
Sudut bibir Yiseo bergerak. Wajah yang sebelumnya datar kembali berubah sumringah. Ia memutar pandangannya menatap sang guru.
“Aku bermain piano sejak umur empat tahun dan aku telah menjadi soloist sejak umur sepuluh tahun,” ujarnya.
“Wow …,” gumam Ms. Thania dibalas oleh seluruh murid. Ms. Thania kembali memutar tubuh menghadap seluruh murid kemudian bertepuk tangan.
Seluruh murid ikut memuji kehebatan Park Yiseo tak terkecuali Choi Yong Do. Baru kali ini dia melihat kemampuan Park Yiseo. Walapun ingin menolak, tapi sebagian dirinya tentu tak bisa menahan diri untuk tidak memuji kehebatan seorang gadis Park bernama Yiseo.
Bahkan lelaki muda itu tengah mematri tatapan pada gadis sebangsanya. Dia berdiri dengan anggun. Menaruh tangan pada kedua sisi tubuh lalu membungkukkan badannya. Attitude yang bagus. Andai saja dia juga mempunyai attitude yang sama saat di luar sekolah.
“Sial!”
Attensi Choi Yong Do tiba-tiba teralihkan saat mendengar desisan barusan. Lewat sudut matanya, ia memberikan pandangan kepada si gadis blonde yang barusan mendesis tersebut. Dilihat Choi Yong Do jika sekarang Lucy sedang mendengkus sambil menatap tajam ke depan. Tangannya telah mengepal di atas meja dan itu sanggup memberitahu Choi Yong Do jika ada yang tidak senang dengan kehebatan Yiseo.
“Lucy, ini gawat. Posisimu bisa saja tergantikan.”
Rungu Choi Yong Do cukup peka menangkap bisikan Cardi. Ucapan temannya itu membuat telinga Cardi memerah.
“Tidak akan kubiarkan,” ucap Lucy. Dia memutar pandangannya pada Cardi. “Kita habisi gadis itu hari ini.” Lanjutnya. Cardi membalas dengan anggukkan kepala lalu dia mengirim kode pada temannya si gadis pirang merah.
Kelopak mata Choi Yong Do mengecil. Sebagian dirinya menjadi sangat penasaran dengan rencana Lucy dan teman-temannya sehingga tanpa sadar lelaki muda itu mendengkus. Ia memutar pandangan menatap Park Yiseo yang masih berdiri di depan kelas. Menikmati pujian yang sedang dilontarkan ke arahnya.
‘Ada yang tidak beres di sini, tapi bagaimana caraku memberitahukan ini padanya? Aku tidak ingin melakukan ini, tapi sepertinya aku harus. Ah … sial! Mengapa aku harus terlibat dengan mereka. Lagi pula apa untungnya semua ini bagiku?’
Choi Yong Do bermonolog. Namun, semakin kuat dia bertanya pada dirinya, maka semakin besar rasa khawatirnya kepada Park Yiseo.
______________