Golden Smart School
11. 57 am
_________
“Apa kau mau masuk ke tim golden talent?” tanya Ms. Thania.
Sambil tersenyum, Park Yiseo pun menjawab, “Boleh.”
Seketika wajah Ms. Thania menjadi lebih sumringah dari sebelumnya. Wanita muda itu menepuk tangannya antusias.
“Tidak!” seru Lucy. Gadis itu bangkit dari tempat duduknya. Suara lantangnya membuat semua orang secara serentak memusatkan atensi mereka pada si gadis blonde yang terlihat geram itu. “Aku tidak setuju!” Lanjutnya.
Napas gadis itu berembus kasar. Ia melayangkan tatapan penuh kebencian kepada Ms. Thania, lantas melanjutkannya pada si gadis Korea yang berdiri di samping Ms. Thania.
“Aku tidak setuju dia masuk ke dalam klub musik,” kata Lucy dengan lantang dan tegas sembari menunjuk Park Yiseo dengan telunjuknya yang bergetar.
“Stop acting like a dork, Lucy!”
“Diam kau!”
Nick mengernyit. Mendapat teriakan dari Lucy. Lelaki muda itu mendengkus, lantas memalingkan wajah dan melayangkan satu tangannya ke udara.
Sementara itu Ms. Thania hanya bisa menanggapi sikap Lucy dengan tenang. Wanita muda itu tersenyum. “Lucy, kumohon.”
“Ms. Thania, kurasa Lucy terlalu takut jika posisinya sebagai pianis utama digantikan oleh Park Yiseo,” ujar salah satu murid lelaki.
“Ya. Mengingat dia juga belum terlalu lancar memainkan Beethoven,” timpal murid yang lain.
“Tidak. Kurasa Lucy bahkan tidak sanggup memainkan Beethoven selain fur elise yang anak kecil pun bisa memainkannya dengan mulus.” Nick ikut menambahkan setelah berdiam selama beberapa menit.
Terdengar kekehan masal dari seluruh siswa yang membuat Lucy Banett makin kesal. Wajahnya menjadi merah padam dan napasnya makin bergemuruh. Tangan Lucy mengepal pada kedua sisi tubuhnya.
“Ms. Thania, sebaiknya kau mengingat posisimu. Kau tahu konsekuen-“
“Oh … ayolah!” Ucapan Lucy terhenti saat Nick kembali bersuara. Lelaki muda itu memutar pandangannya kembali pada Lucy. “Kau pikir sekolah ini milik ayahmu?” tantang pria itu.
Tak tahan lagi, Nick pun berdiri. Perlahan mengangkat dagunya naik ketika ia menaruh kedua tangan ke dalam saku celananya. Lelaki Hamilton itu berjalan dengan langkah pelan menghampiri Lucy Banett.
“Posisi kepala sekolah tidak bisa melewati posisi ketua yayasan, haruskah kuingatkan itu berulang kali?”
“Nick!” bentak Lucy. Wajah Lucy terlihat bergetar dengan tatapan tajam yang menikam mata Nick. “Aku tidak sedang ingin berurusan denganmu. Kembali ke tempatmu,” desisnya.
Dua murid dengan julukan King and Queen di sekolah ini kembali terlibat selisih paham. Ya. Keduanya memang memiliki kedudukan tertinggi di antara para murid. Mereka disebut siswa elit. Tidak ada satu pun murid yang berani menentang Lucy Banett atau pun Nicholas Hamilton. Keduanya memegang kendali penuh di dalam sekolah ini. Ayah Lucy adalah kepala sekolah sedangkan ayah Nicholas adalah ketua yayasan. Sehingga keduanya seringkali diistimewakan oleh semua guru.
Jika para guru ingin terus berkarir di sekolah ini, maka mereka harus rela mengikuti semua kemauan Lucy maupun Nick. Tidak pernah ada yang berani mentang kedua murid tersebut, tetapi sekarang Ms. Thania mencoba melewati garis berbahaya hanya untuk memasukkan seorang gadis berbakat ke dalam timnya.
“Hei,” panggil Nick. Seketika suaranya berubah begitu pelan. Matanya menyipit memberikan pandangan sinis pada Lucy. “Aku mulai bosan dengan sikapmu yang selalu memerintah itu. Ms. Thania adalah guru terbaik di sekolah ini dan dia masuk ke dalam daftar guru terfavorite. Jangan kau pikir kau selalu bisa mendiskriminasi semua guru dengan sikapmu yang kekanak-kanakkan itu-“
“Kekanak-kanakkan?” Suara Lucy melengking. Dia menatap Nick dengan kening yang mengerut dan tatapan tidak suka itu seperti ingin menerkam Nick saat ini juga.
“Ya!” bentak Nick. Matanya tak kalah nyalang dengan mata Lucy. Nick mendengkus lalu memalingkan wajahnya ke depan. “Aku ingin gadis itu di tim musik dan jika ada yang keberatan silahkan berhadapan denganku.”
Seluruh siswa bergumam sambil mendelikkan alis ke atas. Inilah dia. Yang paling berkuasa di sekolah ini si bungsu dari keluarga Hamilton. Tidak ada yang pernah berani menentang keputusannya. Sikap yang ditunjukan Nick membuat Park Yiseo menyeringai.
‘Hemm … tidak salah aku memilihmu. Kau benar-benar akan sangat membantuku, Nick. Kau adalah emasku di sekolah ini. Terima kasih sudah mendukungku, Silly boy.’ Park Yiseo membatin.
Sementara di tempatnya berdiri, Lucy Banett semakin mengepalkan kedua tangan. Rahangnya mengencang memberikan tatapan membunuh pada Park Yiseo yang hanya menanggapinya dengan sangat santai. Sesantai ia menunggingkan seringaian sembari mengangkat setengah bahunya.
Mulut Lucy mengatup membentuk garis keras. “Awas kau!” desisnya.
Gadis itu sudah tidak bisa berbuat apa pun lagi jika Nicholas Hamilton telah mengambil alih dan menjadi ditaktor yang tak bisa terbantahkan. Sehingga Lucy kembali membanting tubuhnya ke kursi. Melipat tangan di depan da’da dengan kasar. Gadis muda itu hanya bisa mendengkus dengan tatapan mematikan yang terus ia arahkan kepada Park Yiseo. Namun, Park Yiseo tentu akan sangat menikmati semua ini.
Sambil tersenyum, ia pun berjalan menuju tempat duduknya. Park Yiseo memberikan senyum terbaiknya untuk Nick sementara pria itu membalasnya dengan kerlingan mata.
‘Satu tahap berhasil. Aku akan menggunakan Nick sebagai tameng, tetapi gadis itu tetap harus menerima pukulan dariku. Enak saja. Memangnya dia pikir dia siapa, hah? Lucy Banett masih harus membayar perbuatannya padaku dan aku tidak akan melepaskannya,’ batin Park Yiseo.
***
Jam pelajaran telah selesai dan satu per satu dari para siswa mulai keluar dari dalam kelas. Setelah melihat Lucy dan kedua temannya keluar dari dalam kelas, Ms. Thania pun mengambil langkah untuk menghampiri Park Yiseo.
“Yiseo,” panggilnya.
Yiseo pun mendongak. “Ya, Ms. Thania,” ucapnya sopan.
“Apa kau punya waktu untuk latihan di luar jam sekolah? Aku berencana untuk mengusulkan panggung soloist untukmu. Ummm … sebenarnya ini juga jalan terbaik. Ya, aku tidak ingin menyakiti hati Lucy, tapi aku juga ingin kau berpartisipasi pada perayaan ulang tahun sekolah. Akan ada banyak tamu yang datang jadi aku sangat berharap kalau kau bisa tampil di acara peryaan ulang tahun Golden Smart School yang ke-tujuh belas,” ujar Ms. Thania.
“Suatu kehormatan bisa tampil di sana, Ms. Thania. Tentu. Aku bisa meluangkan waktu. Berikan saja alamatmu, atau kau juga bisa main ke apartemenku. Kebetulan aku tinggal sendiri dan kemarin aku baru saja memesan sebuah piano. Hari ini mereka akan mengantarnya ke rumahku,” ujar Yiseo.
Tampak Ms. Thania mengulum bibir. Sudut bibirnya mulai bergerak naik dan ia pun tersenyum menyetujui. “Baiklah,” kata Ms. Thania. Wanita muda itu merogoh ponsel dari dalam jasnya. “Bisa kau berikan nomor teleponmu?”
“Oh, tentu.” Park Yiseo meraih ponsel Ms. Thania dan memasukkan nomornya di dalam kontak. “Kau bisa menghubungi aku kapan saja, Ms. Thania,” ujar Yiseo.
“Terima kasih, Yiseo. Terima kasih sudah membantuku.”
“Oh, tidak, tidak.” Park Yiseo menggerakkan kedua tangannya di depan da’da. “Jangan berkata seperti itu, Ms. Thania, aku murid di sekolah ini dan sudah kewajibanku untuk menuruti apa pun perkataan guruku,” ucapnya.
Wajah Yiseo terlihat sangat manis. Membuat seseorang mendecih halus. Seketika Ms. Thania mengalihkan atensinya kepada seorang pria yang duduk tak jauh dari mereka. Ms. Thania mengerutkan dahi.
“Yong Do?”
Akhirnya Park Yiseo dan seorang murid lagi memutar pandangan pada si pria Korea Selatan yang namanya baru saja disebutkan oleh Ms. Thania.
“Oh ya, apa kau juga mau gabung di timku? Kau bisa main musik?” tanya Ms. Thania.
Dengan wajah datar, Choi Yong Do pun berdiri dari tempat duduknya. “Aku tidak bisa main musik,” ucapnya. Singkat, padat dan mengesalkan.
Ms. Thania mengerjap hingga kedua alisnya mendelik ke atas. “Oh! Tak apa,” katanya. Wanita muda itu mencoba menutupi setitik perasaan kesal dan canggungnya dengan terkekeh. “Tak masalah.” Lanjut Ms. Thania.
Choi Yong Do juga tidak ingin repot-repot memohon maaf. Baginya ia sudah menjelaskan yang sejujurnya. Choi Yong Do memang mengerti musik dan dia tahu bermain piano, tetapi lelaki itu memilih untuk tidak terlibat dengan sesuatu yang merepotkan. Terlebih, saat tahu jika Park Yiseo menguasai semua nada dengan sangat baik, maka akan terjadi peperangan besar apabila Choi Yong Do mengaku kalau dia juga bisa bermain piano walau tak semahir Park Yiseo. Jika saja Ms. Thania menawarkan Choi Yong Do untuk ikut turnamen game online, maka ia akan dengan senang hati menerimanya.
“Permisi,” kata Choi Yong Do. Masih tanpa ekspresi.
“Oh, silahkan,” jawab Ms. Thania. Membiarkan lelaki muda Choi itu keluar dari dalam kelas. Lantas ia kembali membawa atensi penuhnya kepada Park Yiseo. “Kalau begitu aku akan menghubungimu nanti,” ucapnya.
Park Yiseo tersenyum lagi dan menganggukkan kepalanya. “Akan kutunggu,” ucap Yiseo.
Ms. Thania tidak bisa berhenti tersenyum dan dia benar-benar sangat bangga pada si gadis Park di depannya. Hingga Ms. Thania memutar pandangan ke samping. “Terima kasih untukmu, Nick.”
Nicholas menggerakkan jari tengah dan telunjuk bersamaan. Menunjuk dari dahi ke arah Ms.Thania. “Aku selalu di pihakmu, Ms. Thania.”
Sang guru terkekeh. Ms. Thania mengangguk sembari mengangkat jempolnya. “Kalau begitu aku pergi dulu,” kata Ms. Thania.
“Have a nice day, Ms. Thania,” ucap Yiseo.
“Hem,” gumam Ms. Thania. “Kalian juga, ya.” Ms. Thania melambaikan tangan sebelum memutar tubuhnya dan keluar dari dalam kelas.
Nicholas memutar kursi menghadap Park Yiseo. “So, are we friends now?”
Sudut bibir Park Yiseo semakin naik. Dia pun menganggukkan kepalanya. “Tentu,” ucapnya.
‘Mana mungkin aku menyianyiakan orang sepertimu,’ batin Yiseo.
_______________