"Pak, untuk hari ini saya izin pulang lebih awal, ya. Karena saya akan ada acara keluarga," kata Sueny. Ia kini tengah menghadap Kevin di ruangannya.
"Acara apa?"
"Ya, hanya, ada sebuah pesta." Ucap Sueny gugup.
"Penting?"
"Saya benar-benar tidak ingin melewatkan acara ini."
"Bagaimana dengan pekerjaanmu?"
"Saya akan mengerjakannya di rumah."
"Aku pegang ucapanmu." Ucap Kevin. Ia pun kembali fokus kepada pekerjaannya.
Sueny keluar ruangan. Di luar, dilihatnya Bram sudah menanti. Bram kini tengah duduk di kursi yang biasa Sueny duduki.
"Ada apa?" tanya Sueny.
"Pulang kerja, mau ke kafé ngak? Aku tahu kafe yang nyaman."
"Aku pulang sekarang, nanti sore aku ada acara."
"Sekalian aku antar saja, ya. Tapi kita ke kafe dulu."
Sueny nenimbang-nimbang pilihannya sesaat, "Tapi ini belum jam pulang kerja, Bram."
"Ah, santai saja. Siapa yang mau memarahiku jika aku pulang duluan? Lagipula aku sedang tidak ada kerjaan."
"Kamu serius tidak apa?"
"Iya, ayo."
Sueny nengikuti langkah kaki Bram yang berjalan menuju ke parkiran. Tentu saja orang-orang di kantor menatapnya. Ia gugup, matanya menangkap seseorang yang tengah menatapnya intens, namun ia tidak kenal siapa itu. Oh tidak, berjalan seperti ini, aku mau dibenci ya. Harusnya aku menunggu saja di luar.
"Masuk." Pinta Bram. Ia sudah duduk di kursi supir. Sueny pun duduk di kursi depan, di samping Bram.
Bram memarkirkan mobil hitamnya dan kemudian melesatkannya keluar dari parkiran kantor. Ia menyalakan musik-musik yang terdengar merdu. Rata-rata berisi lagu dari Westlife, Bruno Mars, Ed Sheeran, serta penyanyi western lainnya.
"Bram, dari tadi aku tidak liat Mbak Henny. Dia absen kerja, ya?" tanya Sueny membuka pembicaraan mereka di mobil.
"Iya. Dia ada acara penting. Tapi dia tidak memberi tahu aku acara apa itu."
"Sebelumnya, aku pikir kalian dekat lho."
"Kami ridak dekat, aku aja yang terus mendekatinya." Bram tertawa sementara tetap fokus menyetir.
"Kamu menyukai Mbak Henny ya?"
"Kelihatannya?" Lagi-lagi Bramtertawa, yang membuat Sueny lama-kelamaan kesal.
"Serius!"
"Iya aku serius."
"Ya sudah kalo begitu, tapi—" Sueny menggantungkan kata-katanya sesaat, membuat Bram menoleh sekejap ke arahnya.
"Tapi apa?"
"Beberapa hari lalu aku melihat Mbak Henny tergesa-gesa, dia seperti sedang menunggu siapa gitu. Dan tidak lama, aku lihat dia dijemput laki-laki, tapi, aku tidak lihat jelas wajahnya. Aku hanya lihat badannya."
Bram tertawa, "Oh, itu pacarnya Henny." Ia berhenti tertawa sessat, "Namanya Septhio, tapi entah, aku tidak tahu wajahnya." Jelas Bram, ia kembali tertawa.
Sueny mengerutkan keningnya. Bagaimana bisa Bram tetap tertawa bahkan saat Sueny bercerita seperti itu. "Kamu tidak cemburu, Bram? tidak ingin lihat mereka putus gitu?"
Lagi-lagi Bram tersenyum, "Munafik kalau aku bilang tidak cemburu, tapi—" Bram menarik napasnya perlahan, "tapi aku tidak akan mengganggu hubungan mereka."
"Kalau mereka ternyata tidak juga putus?" Sueny bertanya hati-hati. Ia khawatir melukai hati Bram.
"Ya berarti jalan aku bukan dengan Henny, tapi aku tidak semudah itu menyerah menunggu Henny."
"Jangan begitu dong!" tegas Sueny, "harusnya kamu berusaha lebih keras."
"Lalu kamu? Usaha apa yang sudah kamu lakukan agar Kevin suka menyukaimu?"
"Bicara apa kamu ini," jawab Sueny gelagapan. Ia tak menyangka Bram akan berkata seperti itu, "siapa juga yang menyukai Pak Kevin."
"Ya kamu lah. Mungkin sekarang kamu belum mengaku. Tapi tidak akan lama lagi aku yakin."
Mereka terdiam. Larut dalam pemikirannya masing-masing. Sueny masih memikirkan kata-kata Bram barusan, benarkah itu?
Ternyata jarak Lumiren Caffe dari kantor tidak terlalu jauh, kini mereka sudah tiba. Bram memarkirkan mobilnya di halaman kafe yang cukup luas. Kafe itu belun terlalu ramai, karena waktu pulang anak sekolah dan pekerja kantoran belum tiba.
Saat mereka hendak membuka pintu kafe, Sueny melihat Henny dan sepasang suami istri tengah bercada bersama. "Bram."
"Iya," sahut Bram. Ia tengah sibuk mencari dompetnya.
"Itu Mbak Henny kan? Dengan orang tuanya? Acaranya di kafe ini, ya?"
"Mana?" tanya Bram sembari mengedarkan pandangannya.
"Itu!" Sueny menunjuk ke arah Henny.
"Oh iya, tapi, aku yakin betul itu bukan orang tua Henny."
"Kalo bukan, terus si—"
Omongan Sueny terpotong tatkala melihat seorang pria muda datang ke meja Henny sembari membawa sebuah nampan berisi minuman. Lelaki itu kemudian duduk di samping Sueny, merekka tampak dekkat dan hangat.
"Pria itu sekilas mirip dengan orang yang menjemput Mbak Henny." Jelas Sueny.
Bram melihatnya, senyumannya mendadak memudar. "Aku yakin dia pasti Septhio dan orang tuanya."
"Bram?" tanya Sueny lirih.
"Sebaiknya kita cari kafe lain saja."
"Kenapa?"
"Kalau Henny sampai tahu aku ada di sini juga, ia pasti akan merasa tidak nyaman. Ia hampir tidak pernah merasa nyaman dengan kehadiranku," kata Bram. Suaranya memelan. Sueny menatapnya, raut wajah Bram seketika berubah, ia merasa kikuk sendiri.
Mereka pun pergi dan memutuskan mencari kafe lain. Bram masih terdiam. Sueny merasa tidak enak entah mengapa. Bram, hatinya pasti sakit.