bab 9. Kabar pernikahan

1203 Words
“Indonesia 7890, climb to 3,000 feet.” (ATC) “3,000! 3,000 set!” (Dave) “Indonesia 7890 continue climb FL 230” (ATC) “Climb Fl 230.” “230 set! 230 blue. Open Climb alt blue!” (Dave) “Thrust Derated climb” (Dave) “Okay, sekarang kita melakukan after take off climb checklist ya.” ucap Dave menoleh sekilas pada first Officer nya. “Siap capt.” jawab sang co pilot. Lantas mengambil log checklist nya. Setelah melewati airborne, dan meninggalkan landasan pacu bandara internasional Kingsford Smith. pesawat mulai mendaki pada ketinggian jelajah, yaitu pada ketinggian tiga ribu kaki di atas paras laut. waktunya Dave dan first officer nya melakukan after take off climb checklist. “After take off climb checklist is completed.” ucap Dave dengan nada lega. Bersiul kecil. Terlihat jelas sekali jika mode euforia sedang mengambil alih dirinya. “Wah! Keren Capt, senang sekali saya bisa sekali lagi dalam penerbangan yang sama dengan kapten.” ucap sang co-pilot. Dave menoleh sekilas lantas melemparkan senyuman. “Semua kapten sama saja.” ucapnya. “Iya sih capt, tetapi lebih enak kalau bisa kerja sama sama kapten David McLaren. Hahaha.” co-pilot itu tertawa di hujung kalimatnya. Menit kemudian, pintu di belakang terbuka, dan muncullah seorang pramugari dengan senyuman ramahnya. “Kapten, anda mau kopi?” tanya wanita cantik itu. “No, it's okay. tidak papa. Kalau saya mau nanti saya tinggal request saja.” jawab Dave. “Kamu mau?” Dave menoleh dan bertanya pada co-pilotnya. “Tidak capt, masih kenyang nih soalnya.” jawab co-pilot itu. “Kalau begitu, saya permisi, nanti jika butuh apa-apa tinggal request saja kapt.” ucap pramugari itu, kemudian melenggang pergi meninggalkan kokpit pesawat. “Okay miss, jangan lupa di tutup pintunya.” ucap Dave separuh bercanda. Entah mengapa, moodnya Dave saat ini sangat baik sekali dan bawaannya ingin senyum dan bercanda mulu. Itu semua tidak lepas dari penglihatan first officernya dan juga insinyur yang turut berada di dalam kokpit. Tepatnya di belakang tempat duduk kapten. “Kapt, ada kabar baik nih?” tanya sang insinyur yang mencoba mengajak Dave bicara. “Ada dong.” jawab Dave singkat. “Aseekk.. Kabar apa dahulu capt?” sekali lagi pertanyaan dilontarkan. “Rahasia! Mau tahu saja kalian. Ayok fokus.” Dave pilih untuk tidak meladeni pertanyaan dari sang insinyur, bukan tanpa alasan. Karena Dave sendiri juga tidak mengerti mengapa dirinya bisa berubah seperti saat ini. Antusias nya ingin kembali secepatnya ke Indonesia kali ini beda sekali. “Capt! Tuh kumulonimbus nya gede amat.” sang Co pilot menunjukkan pada gumpalan awan yang menjulang tinggi di atas langit sydney, lewat jendela sisi di sampingnya. “Eh, iya ya. Untung saja bukan di rutenya kita.” bicara Dave, juga ikut menatap ke samping. Melihat sang musuh utama para pilot di seluruh dunia itu. “Kalau tidak..” “Menjadi pekerjaan lagi buat kita untuk avoid si jamur itu.” ucap Dave sambil bercanda, memotong cepat ucapan sang co-pilotnya. Disambut tawa oleh dua orang lagi pria dewasa yang turut berada di dalam kokpit. Setelah hampir tiga jam berada di udara, Dave akhirnya memutuskan untuk istirahat barang sejenak. “Aku istirahat dulu ya, ntar setelah itu gantian kamu lagi yang istirahat sebelum kita landing di Jakarta.” bicara Dave memecahkan jeda panjang yang terjadi antara dirinya dengan sang co-pilot. “Siap capt! Selamat istirahat.” ucap sang co-pilot, ramah. Namun masih tetap menghormati Dave sebagai seorang kapten, sekaligus atasannya dalam penerbangan kali ini. “Okay, berdoa saja. Semoga tidak ada berlakunya turbulensi ya.” ucap Dave sebelum menghilang di balik pintu yang memisahkan pemandangan kokpit dengan kabin kelas pertama. Menuju kamar istirahat pilot. … Setelah hampir delapan jam berada di udara, pesawat yang di kemudi Dave, akhirnya tiba juga di Jakarta dengan selamatnya. “Terima kasih semuanya, senang bisa kerja sama sama kalian semua. Sukses selalu ya.” ucap Dave pada crew cabinnya dan seluruh awak kapal yang bertugas dalam penerbangannya kali ini. Drrt…! Drrt…! Ponsel Dave bergetar, menandakan ada panggilan masuk. Dengan cepat Dave Menggeser tombol hijau ke samping, sebelum melekapkan alat pipih itu di telinganya. “Halo.” sapa Dave. “Tuan muda, saya sudah menunggu di area penjemputan.” ucap satu suara dari hujung sana. “Okay, saya kesana sekarang.” bicara Dave. kemudian mematikan talian secara sepihak. Kembali mengantongi ponselnya. Sebelum memulai langkah besar, menuju area penjemputan. Di mana sang sopir, merangkap asisten pribadinya sedang menanti. “Bagaimana hasilnya? Apakah pekerjaan yang saya kasih ke kamu berjalan lancar?” tanya Dave tanpa basa basi setelah melesat masuk ke dalam mobil. Di samping tempat pengemudi. “Sepertinya saya harus ke Edinburgh tuan muda. Karena di sini saya tidak menemukan apa-apa petunjuk.” jawab Ryan, sang asistennya Dave. “Tahan dahulu Yan, kita diemin saja dulu, kamu fokus saja bantu mama sama Alin mengurus perusahaan.” ucap Dave. tidak mau gegabah. Pria itu kembali melanjutkan ucapannya “yang saya minta kamu kerjakan, sebelum saya berangkat ke Sydney, apakah sudah kelar?” Tanya Dave. “Sudah tuan muda. Nona Fiona juga sudah saya kabari untuk langsung ke kantor catatan Sipil besok jam sepuluh pagi.” jawab Ryan cepat. “Bagus.” ucap Dave sambil mengangguk kecil. “Tuan muda, bagaimana dengan nona Lifia?” tanya Ryan tiba-tiba. “Tiada hubungannya dengan saya, selama ini juga, saya tidak pernah memberi harapan pada wanita manja itu.” jawab Dave. “Maksud saya, pasti kantornya nona Fiona, sekali lagi akan di acak-acak sama pak Budi dan Pak Wahyu.” Ryan menyatakan kekhawatirannya. “Itu sudah pasti Yan, bukan itu saja. Malah perusahaan kita juga pasti bakalan di tekan terus oleh tua bangka Budi itu.” jelas Dave. sepertinya pria itu bisa merasakan, jika perusahaan keluarganya bakalan di terjang badai setelah kabar pernikahannya dengan Fiona menyebar nantinya. “Lalu apa rencana tuan muda?” tanya Ryan dengan gurat khawatir jelas terpampang pada wajahnya. Dave hanya menoleh ke samping, sambil melemparkan sebuah senyuman. Tidak merasa khawatir sama sekali. Jelas dari air wajahnya yang cukup tenang. Sementara itu, di rumah mewah keluarga besar Prayoga. “Kalian bohong!!! Dasar penipu kalian semua!” Lifia menjerit histeris. Melemparkan ponselnya ke lantai. Sehingga alat canggih itu hancur dan tidak terbentuk lagi. “Apa-apaan ini Lifia?” Wahyu mendekati sang putri yang menangis sesenggukan. Lantas merangkulnya erat. “Pa, mereka bilang sama aku kalau Dave sama Fiona itu bakal daftarkan pernikahan mereka besok.” lapor Lifia pada sang papa. “Kamu dapat info dari siapa?” tanya Wahyu pada putrinya. Sambil tangannya mengelus lembut surai panjang sang putri yang acak-acakan. “Dari orang-orang suruhannya papa.” jawab Lifia cepat. “Kurang ajar sekali mereka! Apa sih kurangnya putri papa di bandingkan sama perempuan murahan itu.” Wahyu menggeram kesal. Berusaha menenangkan putrinya, Lifia. Yang makin menjadi-jadi tangisnya. “Kamu tenang saja, papa bakal bikin perhitungan sama mereka. Ingat, Dave cuma bisa jadi milik kamu. Bukan Fiona dan juga bukan wanita lainnya di luar sana.” Janji Wahyu pada sang putri. ‘Jangan salahkan aku Bella, salahkan saja putrimu yang telah membuat sedih putriku seperti ini.’ batin Wahyu. Seringai jahat terbit dari wajah pria paruh baya itu. Menyeramkan sekali. Pertanyaannya, apakah Wahyu, Budi dan Bella sudah saling kenal sebelumnya? Jika mereka saling kenal. Lalu seperti apakah hubungan mereka sebelumnya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD