CHAPTER TWO

1622 Words
"Dua langkah. Hanya dua langkah aku harus menghampirimu, sampai akhirnya aku terjatuh di dalam jurang yang memisahkan dunia kita.” . . Alfaro melepaskan jaketnya dan menggantungnya dekat pintu. Ia menghempaskan tubuhnya ke kasur. Matanya terpejam, mencoba untuk tidur. Namun, baru beberapa detik ia terpejam, sekelibat api muncul dalam mimipinya. Alfaro berdiri menatap bangunan yang sudah habis termakan api. Mamahnya ada di dalam sana, sendirian dan ketakutan. Ia berusaha menerobos masuk untuk menolong, namun dicegah oleh beberapa orang. Ia mencoba memberontak, dan berteriak. "Mamaaaaa." Alfaro membuka matanya. Napasnya memburu, tubuhnya berkeringat. Ia memegangi dadanya yang terasa sesak. Sudah sejak kejadian itu, Alfaro sama sekali tidak bisa tidur. Ia mengalami insomnia. Alfaro mengusap wajahnya kasar, kemudian menoleh ke arah jaket cokelat yang ada di atas mejanya. Ia mengambil jaket itu dan langsung menghirup aroma parfum yang manis dari jaket itu. Alfaro berbaring lagi. Ia terus menghirup parfum itu. Entah mengapa, aroma itu membuatnya tenang dan mulai mengantuk. "Parfum ini ...." Alfaro bergumam dengan matanya yang mulai menutup, "kenapa dia punya parfum ini?" mata Alfaro menutup sempurna. Untuk pertama kalinya, Alfaro bisa memejamkan matanya dengan tenang. Sungguh ajaib dan luar biasa. Bi Asih mengetuk pintu kamar Alfaro, namun tidak ada jawaban. Bi Asih membuka pintu itu perlahan dan benar-benar terkejut melihat Alfaro tertidur pulas. Sejak dua tahun terakhir, Alfaro tidak pernah tidur sepulas itu. Paling tidak hanya 15 menit saja, kemudian dia akan bermain PS di kamar. Namun, yang Bi Asih temukan adalah Alfaro yang tidur sambil memeluk jaketnya. Itu adalah sebuah keajaiban. Bi Asih tidak jadi membangunkan Alfaro dan lebih memilih membiarkan cowok itu tertidur lagi. *** Cia membuka tasnya, mengeluarkan pulpen dan buku untuk mencatat materi yang diberikan oleh guru matematika. Setelah selsai mencatat, Cia izin ke toilet. Setelah selesai dengan urusannya di toilet, Cia kembali menuju kelas. Saat perjalanan menuju kelas, ia melihat seseorang yang mencoba turun dari gerbang taman. Sepertinya, dia sedang kesulitan karena kakinya tidak bisa meraih pijakan yang ada di dekat pohon. Cia berlari kecil menghampirinya. "Sini tasnya. Aku pegangin," tawar Cia. Awalnya Alfaro ragu-ragu, namun sedetik kemudian ia melepas tasnya dan melemparnya. Cia menangkap tas itu dengan tangkapan sempurna. Alfaro melompat dari atas, namun lompatannya tidak semulus rencana awal. Cia harus ikut terjatuh karena tangan cowok itu memegang tangannya. Mereka terkapar dirumput. Cia memegangi bokongnya yang sakit dan mengusapnya kasar. "Sakit," gumamnya. Alfaro bangkit dan mengulurkan tangannya, membantu Cia berdiri. Cia meraih tangan cowok itu dan berdiri. Namun, seorang satpam sedang berjalan ke arah mereka. Alfaro menarik Cia ke belakang pohon. Tangannya menutup mulut Cia yang sedang protes karena perlakuan Alfaro yang tiba-tiba. Cia tidak bisa melihat wajah cowok dihadapannya karena tubuh mereka terlalu dekat. Cia menggerutu dalam hati. Alfaro mengerutkan dahinya. Ia mencium aroma parfum yang sama dengan yang ada di jaketnya. Cowok itu menatap Cia. Yang ditatap malah menunduk. Alfaro mendekatkan wajahnya, berniat memastikan apakah parfum itu sama dengan yang ada di jaketnya, namun Cia langsung mendorong tubuh Alfaro agar menjauh. Alfaro sadar dengan pikiran gilanya. Ia menoleh ke arah kiri-kanan, memastikan satpam tadi sudah menghilang. Setelah dirasa cukup aman, Alfaro menarik lengan Cia, mengajaknya pergi. Cia hanya bisa pasrah mengikuti ke mana ia dibawa. "Kelas lo di mana?" tanya Alfaro masih fokus ke depan. "A ... 3A." "Oh, anak A. Pantesan," katanya menggantung. "Kenapa?" "Enggak ada. Ayo ke kelas, sebelum semua satpam keliling-liling nyari mangsa." Mereka berhenti di lorong yang tersambung dengan kelas A. Cia baru saja ingin mengucapkan terima kasih, Alfaro sudah melenggang pergi. Cia benar-benar tidak sempat melihat cowok tadi. Kenapa akhir-akhir ini ia jadi sering menemui cowok dengan wajah yang sama sekali tidak diketahuinya. Aneh sekali. Cia memutuskan kembali ke kelas. Alfaro terdiam di mejanya. Ia masih memegang jaket yang semalam membuatnya tertidur pulas. Bukan, lebih tepatnya parfum yang ada di jaket itu. Jarinya mengetuk-ngetuk meja. Nampak dia sedang berpikir. "Gak mungkin. Ini pasti parfum yang beda. Gak ada yang punya parfum ini." Alfaro mengusap wajahnya. Ia menghela napas berat. Bagas dan Galih datang menghampiri Alfaro, "Tumben telat, Bro." "Kesiangan gue," jawab Alfaro seadanya. "Eh, gue denger ada anak pindahan di kelas A. Cantik ... Gimana, Al? Mau lihat?" Bagas menjitak kepala Galih, "Bodoh! Alfaro gak suka cewek cantik." "Ah, iya. Gue lupa. Sorry ... Sorry." Galih melihat jaket cokelat yang kemarin dipakai Alfaro. Ia ingat Alfaro sampai berteriak meminta agar jaket itu tidak dicuci. "Tuh jaket belom lo cuci juga, Al?" Alfaro memandang jaket itu lagi beberapa detik. Kemudian, ia bangkit dari kursinya. Ia tidak bisa terus berdiam diri saja, sedangkan ada seseorang yang memiliki sesuatu yang harusnya tidak dimiliki siapapun. Alfaro melangkah pergi meninggalkan kelas. "Bocah ngapa, sih?" Galih mengangkat bahunya sambil menggelangkan kepalanya, kemudian ikut menyusul Alfaro dari belakang. Cia, Ana dan Katie sedang berjalan menuju kantor. Mereka membawa beberapa kotak kue yang dipesan oleh guru-guru. Saat sedang asik mengobrol, Ana melihat Alfaro yang sedang berjalan bersama kedua temannya Bagas dan Galih. Ana menyenggol lengan Cia, hingga gadis itu menoleh. "Cia ... Lihat, deh!" "Lihat apa?" "Itu Alfaro ..." bisik Ana sambil mengarahkan pandangannya pada Alfaro. Mau tak mau, Cia ikut menoleh. Ia bisa melihat seorang cowok dengan postur tubuh tinggi dan sedikit kurus, namun berotot. Rambut hitamnya rapi dan wajahnya memang setampan yang Ana ceritakan. Seperti blasteran Eropa-Asia. "Kamu gak pernah cari masalah sama dia, kan?" tanya Ana. "Ya enggak, lah. Aku aja baru tahu kalo dia Alfaro. Aku baru lihat dia. Jadi, gak mungkin aku punya urusan sama dia," sahut Cia, santai. Mereka mencoba bersikap normal saat berpapasan dengan Alfaro. Namun, saat mereka berpapasan, Alfaro langsung menarik tangan Cia, membuatnya membulatkan matanya. Bagaimana tidak? Ia bahkan tidak punya urusan apapun dengan Alfaro. Ana dan Katie baru ingin mengejar mereka, namun Bagas dan Galih langsung mencegahnya. "Eits, mau ke mana?" "Gue mau samperin temen gue. Cia itu gak ada salah apa-apa sama Alfaro. Dia aja baru kenal Alfaro pas tadi gue kasih tahu. Mana mungkin dia cari masalah?" kata Katie dengan nada marah. "Masalahnya adalah ... Temen lo berdua itu CANTIK. Lo kan tahu, Alfaro gak suka cewek cantik," kata Galih. "Tapi Alfaro gak akan berurusan sama cewek cantik kalo cewek itu gak cari masalah. Gimana sih kalian berdua. Temennya bukan?" Galih menggaruk alisnya, "Iya juga, sih. Gua aja baru ketemu sama cewek tadi. Lah, kenapa si Alfaro malah ngajak cewek itu pergi, Gas?" Bagas menyilangkan kedua tangannya, kemudian berlagak sok seperti sedang berpikir. Ana, Katie, dan Galih sedang menunggu apa yang akan dikatakan Bagas. Cowok itu menganggukkan kepalanya. "Lo tahu, Gas?" "Kaga." Galih memukul lengan cowok itu dengan sebal. Ana dan Katie tidak mengurusi kedua cowok itu dan langsung pergi menyusul Cia dan Alfaro. Bagas dan Galih pun memutuskan untuk mengikuti Katie dan Cia. Mereka juga penasaran. Kenapa Alfaro mau berurusan dengan cewek yang sama sekali tidak ada urusan dengannya. Aneh bukan? Ya, itu Alfaro. *** Cia mencoba melepaskan genggaman Alfaro, namun tenaga cowok itu bukanlah tandingan Cia. Cia bisa menebak pergelangan tangannya pasti sudah memerah karena cengkraman Alfaro yang sangat kuat. Alfaro berhenti di lapangan belakang. Alfaro melepas genggaman itu. Cia mengusap pergelangan tangannya yang sudah sangat memerah. Rasanya begitu perih, apalagi saat terkena keringatnya. Cia sampai meringis kesakitan. "Kalo tadi lo gak coba buat ngelepas, pergelangan tangan lo gak akan kaya gitu," kata Alfaro datar. "Kamu mau apa?" tanya Cia memberanikan diri. Ia tidak tahu salah apa sampai Alfaro memperlakukannya begini. Ia sama sekali tidak tahu apa masalahnya. Alfaro mendekatkan dirinya ke arah Cia. Ia bisa mencium parfum itu bahkan dari jarak 2 meter. Sungguh membuatnya gila. "Dari mana lo dapet parfum itu?" Cia tidak mengerti ucapan Alfaro. Ia melangkah mundur, mencoba menjauhi cowok bermata biru itu. "Parfum apa?" "Parfum yang lo pake. Dari mana lo dapat parfum itu?" "Emangnya apa urusannya sama kamu? Ini kan parfum aku!" Alfaro mencengkram bahu Cia, membuat gadis itu tersentak. "Tinggal jawab apa susahnya, sih?!" bentak Alfaro. Cia memejamkan matanya. Ia benar-benar takut sekarang. Tidak ada yang pernah membentaknya selama ini. Tubuh Cia bergetar hebat. Matanya memanas, cairan bening itu terjun bebas membasahi pipi pucatnya. "Gue gak suka cewek cengeng!" Alfaro menghela napasnya kasar. Ia melepaskan dasinya, kemudian menghapus air mata Cia menggunakan dasi itu. "Gue cuma nanya lo dapat dari mana parfum ini. Kalo lo jawab, gue gak akan ganggu lagi," kata Alfaro lebih tenang, tapi masih terkesan dingin. Cia mulai berhenti menangis. Ia menyeka air matanya dengan tangan. Baru saja ia ingin bicara, tangannya sudah ditarik oleh Ana. Ana dan Katie menghampiri Alfaro dan Cia. Ana sudah khawatir karena ia tahu Alfaro itu picik. Meskipun, sejujurnya Ana dan Katie tidak berani dengan Alfaro. Tapi demi sahabat mereka Cia, mereka mencoba memberanikan diri. "Jauhin Cia! Dia gak salah apa-apa sama lo!" ujar Katie. "Gue emang gak nyalahin dia. Gue cuma ada pertanyaan yang harus gue tanyain ke dia. Temen lo aja yang berlebihan. Pake nangis segala," kata Alfaro, sinis. Bagas dan Galih datang menghampiri mereka berempat. "Udah-udah. Ayo, Al. Lagian lo ngapain pake narik-narik nih anak pindahan, sih? Bikin nangis lagi. Ayo ah, balik ke kelas. Udah mau masuk!" Bagas menarik tangan Alfaro, agar cowok itu menjauh dari ketiga cewek itu. Sebelum pergi, Alfaro mendekati Cia, mendekati telinga Cia dan berbisik, "Lo hutang jawaban sama gue." Cia bergedik ngeri, kemudian memalingkan wajahnya dari Alfaro. Bagas menarik paksa Alfaro dan akhirnya ketiga cowok itu pergi dari lapangan. Katie dan Ana langsung memerhatikan Cia dari atas hingga bawah. "Kamu gak diapa-apain sama dia, kan? Kok kamu nangis? Dia nyakitin kamu? Dia main kasar? Iya? Kita harus laporin ke kantor!" "Gak usah, An. Aku gapapa. Alfaro gak apa-apain aku, kok. Tadi aku kaget aja, makanya aku nangis," jelas Cia. "Kalo Alfaro nemuin kamu lagi, bilang sama aku. Aku bakal remes-remes dia sampe gak ganteng lagi," ujar Katie. "Emang kamu berani?" "Ya, enggak juga, sih." Katie menunjukkan cengiran kudanya, kemudian mereka kembali ke kelas karena sebentar lagi bel masuk berbunyi. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD